Temukan 167 Undangan Pemilih Tak Didistribusikan, RIDO Desak PSU

- Lembaga advokasi hukum DPP Partai Gerindra menemukan 167 kasus formulir C6 tidak diterima calon pemilih jelang Pilkada Jakarta.
- Tim RIDO mengaitkan rendahnya partisipasi publik di Pilkada Jakarta dengan banyaknya yang tak mendapat formulir C-6.
- Ketua KPU Provinsi Jakarta menyatakan PSU baru bisa dilaksanakan jika ada rekomendasi dari Bawaslu dan memenuhi unsur PSU.
Jakarta, IDN Times - Lembaga advokasi hukum DPP Partai Gerindra mengklaim menemukan 167 kasus di mana formulir C6 tidak diterima oleh calon pemilih jelang Pilkada Jakarta. Atas temuan itu, tim Gerindra mendesak seharusnya bisa dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU). Namun, ketika hal itu diadukan, panitia pengawas atau Bawaslu tidak melakukan PSU.
"Ternyata sampai saat ini, panitia pengawas kecamatan (Panwascam) atau Bawaslu DKI tidak melakukan PSU di beberapa TPS (Tempat Pemungutan Suara) yang C-6 nya tidak terdistribusi dengan benar," ujar Sekretaris Lembaga advokasi hukum DPP Partai Gerindra, Munathsir Mustaman ketika memberikan keterangan pers di Menteng, Jakarta Pusat pada Sabtu (7/12/2024).
Ia mengatakan formulir C-6 yang tidak didistribusikan merupakan obyek PSU. Hal itu tertuang di putusan MK nomor 247-01-04-04/PHPU-DPRD-XXII/2024.
Formulir C-6 adalah surat pemberitahuan yang diberikan kepada pemilih untuk mengikuti pemilihan umum (pemilu). Formulir itu perlu dibawa ke TPS pada hari pencoblosan.
1. Tim RIDO kaitkan tingkat partisipasi Pilkada Jakarta rendah karena minim formulir C-6

Sementara, Sekretaris Pemenangan Tim RIDO, Basri Baco mengaitkan rendahnya tingkat partisipasi publik di Pilkada Jakarta lantaran banyak yang tak mendapat formulir C-6. Menurutnya, peristiwa itu terjadi massif di semua TPS.
"Ini menjadi pilkada terendah tingkat partisipasi masyarakatnya sepanjang sejarah di Pilkada Jakarta," ujar Baco ketika memberikan keterangan pers di gedung DPD Golkar, Jakarta Pusat pada Sabtu (7/12/2024).
Ujungnya, menurut dia, membuat Pilkada Jakarta tidak memiliki legitimasi kuat. Hal tersebut, kata Baco, merupakan kesalahan dari KPUD Jakarta.
"Kemarin kami sudah laporkan KPUD Jakarta ke DKPP. Kami anggap KPUD tidak profesional dalam melaksanakan Pilkada Jakarta kemarin," tutur dia.
2. Tim RIDO klaim kecurangan di Pilkada Jakarta terstruktur, sistematis dan massif

Baco juga menyebut dugaan pelanggaran yang ditemukan di Pilkada Jakarta bersifat TSM (Terstruktur, Sistematis dan Massif). Dugaan pelanggaran tersebut, kata Baco, akan dibawa oleh tim hukum sebagai bahan gugatan di Mahkamah Konstitusi (MK).
"Harapannya adalah di MK, kami bisa dapatkan keadilan. Di MK nanti bisa terkuak upaya kecurangan yang tertangkap di Pinang Ranti. Karena kami yakin itu pasti ada dalang dan upaya pergerakan massif," kata politikus Partai Golkar itu.
Ia pun menggarisbawahi dengan mengajukan gugatan ke MK bukan berarti tim paslon RIDO tak bisa menerima kekalahan. "Tetapi, ini hak yang diberikan oleh negara kepada paslon untuk melakukan upaya hukum dan membuktikan beberapa kecurangan," tutur dia.
Sebab, bila dibiarkan maka gubernur yang terpilih dan dilantik nanti bisa tak memiliki legitimasi yang kuat. "DPT kita ini ada 8 juta. Yang datang ke TPS berjumlah 4 juta. Kalau diberlakukan ketentuan 50 persen plus satu, maka yang memilih pemenang mencapai 2 juta. Dua juta dari 8 juta artinya seperempat atau 25 persen," ujarnya.
Dalam penghitungannya sebanyak 3/4 atau 75 persen tidak memilih gubernur tersebut. Itu lah, kata Baco, yang dimaksud gubernur terpilih tak memiliki legitimasi.
"Bagaimana dia mau menjalankan pembangunan Jakarta kalau yang mendukung dia hanya 25 persen," imbuhnya.
3. PSU baru bisa dilakukan bila ada rekomendasi dari Bawaslu

Sementara, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Jakarta Wahyu Dinata mengatakan pihaknya baru bisa melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) jika ada rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu).
"Saya rasa sesuai dengan peraturan KPU yang ada. Karena kalau memang memenuhi unsur PSU, kami menerima rekomendasi dari Bawaslu," ujar Wahyu di Petojo, Gambir, Jakarta Pusat pada 4 Desember 2024 lalu.
Wahyu menjelaskan, PSU bisa dilaksanakan jika memang ada alasan yang kuat. Beberapa di antaranya, karena ada temuan satu pemilih menggunakan hak pilihnya lebih dari sekali di TPS yang sama. Kemudian, karena ada bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara terkendala.
Wahyu mengatakan PSU tidak bisa dilakukan karena ada ada warga yang mengaku tidak menerima surat pemberitahuan pemungutan suara atau formulir C6.
"Tidak ada unsur di dalamnya itu, misalnya tidak dibagikan pemberitahuan," imbuhnya.