UU Tipikor Digugat ke MK, Pihak Hasto Singgung Pasal Karet

- Pasal 21 UU Tipikor ditafsirkan tidak proporsional dan menimbulkan ketidakpastian hukum.
- Pasal ini digunakan untuk mengancam pihak lain yang bukan pelaku korupsi, menyebabkan disparitas yang tidak adil.
- Hasto Kristiyanto memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.
Jakarta, IDN Times – Sekretaris Jenderal PDIP periode 2014-2025, Hasto Kristiyanto mengajukan uji materiil terhadap Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Ia mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) karena menganggap materi muatan dalam pasal yang diuji bertentangan dengan hak asasi Pemohon sebagaimana dijamin UUD 1945.
Pemohon telah ditetapkan sebagai tersangka dan didakwa melakukan perbuatan pidana melanggar Pasal 21 UU Tipikor juncto Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
1. Soroti soal pasal karet

Pemohon menganggap Pasal 21 UU Tipikor dalam praktiknya ditafsirkan secara tidak proporsional bahkan menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga bertentangan dengan prinsip negara hukum yang adil.
“Hukum pidana secara umum termasuk dan tidak terbatas pada Pasal 21 UU Tipikor, selalu dan dapat digunakan untuk merampas kebebasan orang, bahkan dapat digunakan untuk menghilangkan nyawa manusia, sehingga tidak dapat ditafsirkan dengan tafsiran yang luas yang tidak sesuai dengan kehendak pembentuk undang-undang,” ujar kuasa hukum Pemohon, Erna Ratnaningsih dalam sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 136/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang MK, Jakarta, pada Rabu (13/8/2025).
2. Digunakan untuk mengancam pihak lain

Erna mengatakan, Pasal 21 UU Tipikor seharusnya tidak ditafsirkan dan kemudian dipraktikkan sesuai kebutuhan aparat penegak hukum, sehingga pembatasan terhadap makna yang terkandung dalam pasal tersebut harus dikembalikan pada bunyi dan makna teksnya agar menciptakan akuntabilitas demokratis. Menurut Pemohon, Pasal 21 UU Tipikor tidak termasuk norma pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi kerap kali pasal ini digunakan untuk mengancam pihak lain yang tidak merupakan bagian dari pelaku tindak pidana korupsi.
Pasal 21 UU Tipikor menyatakan, “Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000.00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000.00 (enam ratus juta rupiah).”
Pemohon melanjutkan, menurut bunyinya, Pasal 21 UU Tipikor hanya dapat dipersangkakan atau didakwakan kepada setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. Sehingga pasal ini seharusnya tidak dapat digunakan dalam menetapkan tersangka atau mendakwa seseorang yang melakukan tindak pidana korupsi.
Dengan adanya perbedaan ancaman hukum antara perbuatan substantif dan perbuatan ikutannya, maka sesungguhnya pasal ini menyebabkan terjadinya disparitas yang tidak adil. Menurut Pemohon, keliru jika seseorang diduga melakukan tindak pidana korupsi, kemudian pada saat yang sama juga diduga melakukan perintangan penyidikan atau penuntutan karena ada komunikasi atau konfirmasi itu diduga berhubungan dengan perkara pidananya.
Pemohon melanjutkan, sifat dari perbuatan pidana yang dapat dipersangkakan atau didakwakan melanggar Pasal 21 UU Tipikor adalah bersifat kumulatif, sehingga perbuatan yang harus dibuktikan yaitu tidak bisa dilakukan penyidikan, penuntutan, dan harus juga ada akibat lain yaitu terhadap perkara itu tidak ada pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa. Dengan kata lain, dalam memberikan pemaknaan adanya pelanggaran terhadap Pasal 21 UU Tipikor karena telah terbukti adanya perbuatan yang berakibat tidak bisa dilakukan penyidikan, penuntutan, dan tidak ada pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa.
Menurut Pemohon, agar Pasal 21 UU Tipikor tidak menjadi sebagai pasal pembalasan berlebihan karena ancaman hukuman yang lebih tinggi dari pasal substantif sebagai bagian dari perbuatan yang dilarang dan termasuk sebagai perbuatan korupsi yaitu Pasal 13 UU Tipikor, maka ancaman hukuman minimal yang dijatuhkan karena adanya pelanggaran terhadap Pasal 21 UU Tipikor seharusnya paling kurang sama dengan ancaman Pasal 13 UU Tipikor. Mengingat Pasal 21 UU Tipikor ini tidak termasuk dalam kategori perbuatan korupsi, sehingga terhadap pasal tersebut harus diberi pemaknaan yang benar, masuk akal dan menurut hukum agar menjadi konstitusional.
“Oleh karena itu, ancaman hukuman yang layak terhadap pelanggaran Pasal 21 UU Tipikor harus dimaknai sama dengan ancaman hukuman terendah dari UU Tipikor yaitu Pasal 13 UU Tipikor, yakni dengan ancaman hukuman paling lama tiga tahun,” kata Erna.
3. Petitum yang dimohonkan kepada MK

Dalam petitumnya Pemohon memohon kepada MK untuk menyatakan Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai "Setiap orang yang dengan sengaja secara melawan hukum mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun maupun para saksi dalam perkara korupsi melalui penggunaan kekerasan fisik, ancaman, intimidasi, intervensi, dan/atau janji untuk memberikan keuntungan yang tidak pantas dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling sedikit Rp150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Serta menyatakan frasa “penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan" dalam Pasal 21 UU Tipikor bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunya kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai bahwa frasa tersebut memiliki arti kumulatif, dalam arti tindakan mencegah, merintangi atau menggagalkan harus dilakukan dalam semua tahap penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan.