Veronica Tan: Sunat Perempuan Hambatan Serius Masa Depan Perempuan

- Veronica Tan, Wakil Menteri PPPA, menegaskan bahwa sunat perempuan adalah bentuk diskriminasi yang menghambat kesejahteraan dan potensi perempuan.
- Indonesia berkomitmen mempercepat penghapusan FGM/C karena dianggap sebagai hambatan mendasar bagi kesetaraan gender.
- Data terbaru menunjukkan tren penurunan praktik FGM/C, namun bentuk dengan tingkat perlukaan lebih berat masih dominan, sehingga diperlukan aksi sistematis dan berkelanjutan.
Jakarta, IDN Times – Wakil Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Veronica Tan, menegaskan praktik sunat perempuan atau Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) merupakan bentuk diskriminasi yang menghambat kesejahteraan dan potensi perempuan. Indonesia, kata dia, berkomitmen mempercepat penghapusan praktik yang dinilai membahayakan tersebut.
“FGM/C bukan hanya isu kesehatan publik, tetapi merupakan hambatan mendasar bagi kesetaraan gender. Praktik ini mencerminkan norma diskriminatif yang sudah berlangsung lama dan membatasi kesejahteraan serta potensi perempuan dan anak perempuan,” ujar Veronica Tan dalam kegiatan yang diselenggarakan Asian-Pacific Resource & Research Centre for Women (ARROW), dikutip Selasa (9/12/2025).
Komitmen pemerintah semakin menguat seiring meningkatnya pemahaman tentang risiko kesehatan dan dampak sosial jangka panjang dari praktik ini. Pemerintah menilai percepatan penghapusan FGM/C harus menjadi agenda nasional, bukan sekadar isu sektoral.
1. Indonesia jadi negara satu-satunya di Asia Selatan yang punya data resmi

Veronica menyampaikan, Indonesia telah mengambil langkah penting dengan memperkuat basis data nasional. Melalui Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Selatan yang memiliki data resmi dan komprehensif mengenai prevalensi FGM/C.
Data terbaru menunjukkan tren penurunan, namun bentuk FGM/C dengan tingkat perlukaan lebih berat masih dominan.
“Data SPHPN 2024 menunjukkan praktik FGM dengan tingkat perlukaan yang lebih berat mencapai 50 persen, lebih tinggi dibandingkan pemotongan simbolik yang berada di angka 40,3 persen. Temuan ini menegaskan urgensi aksi atau tindak lanjut yang sistematis dan berkelanjutan,” ujarnya.
2. Penghapusan sunat perempuan sudah masuk RPJMN 2025–2029

Pemerintah juga memasukkan agenda penghapusan FGM/C ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029. Upaya ini diperkuat dengan regulasi turunan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023, yang mewajibkan eliminasi berbagai praktik berbahaya, termasuk sunat perempuan.
Langkah ini menandai keseriusan pemerintah memastikan perlindungan menyeluruh bagi perempuan dan anak perempuan, sekaligus mendorong harmonisasi kebijakan di tingkat nasional dan daerah.
3. Pentingnya edukasi sensitif pada konteks budaya dan agama

Selain regulasi, transformasi norma sosial menjadi tantangan utama. Veronica menekankan perlunya pendekatan edukatif yang peka terhadap konteks budaya dan agama. Strategi yang tidak sensitif, katanya, justru dapat memicu resistensi di tingkat komunitas.
Ia menegaskan, kolaborasi lintas sektor, yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, tokoh agama, media, dan lembaga internasional, sangat penting untuk mempercepat eliminasi FGM/C.
“Bersama-sama, kita dapat membangun masa depan di mana setiap perempuan dan anak perempuan bebas dari kekerasan dan praktik berbahaya,” kata dia.
Dengan keberadaan data nasional, kerangka kebijakan yang kuat, serta dukungan berbagai pemangku kepentingan, Indonesia disebut semakin siap mempercepat penghapusan sunat perempuan secara menyeluruh.


















