Warren Xie, Remaja 17 Tahun yang Gunakan AI dan Madu untuk Lawan Deforestasi

- Warren Xie, remaja 17 tahun, mendorong pertanian berkelanjutan dan mengatasi kebakaran hutan di Jambi melalui inovasi Nektar Emas dan OctaHive.
- Nektar Emas membeli madu dari petani di Jambi lalu menjualnya ke pasar premium, meningkatkan pendapatan petani hingga Rp5 juta per bulan per orang.
- OctaHive, sarang lebah pintar yang dilengkapi teknologi AI, membantu mengurangi tenaga kerja manual hingga 70 persen dan meraih sambutan internasional.
Warren Xie mungkin baru berusia 17 tahun, tapi inisiatifnya dalam mendorong pertanian berkelanjutan dan mengatasi kebakaran hutan sudah memberikan dampak nyata. Melalui dua inovasinya, Nektar Emas dan OctaHive, ia menggabungkan teknologi dan pemberdayaan ekonomi untuk membantu petani di Jambi keluar dari siklus praktik pembakaran lahan.
Nektar Emas: Ubah Madu Jadi Solusi Ekonomi dan Lingkungan

Saat kembali ke Indonesia, Warren mendengar langsung kekhawatiran masyarakat soal kabut asap akibat pembakaran lahan. “Banyak orang bilang, kalau dengar Indonesia, mereka langsung ingat kabut asap tahun 2015. Saya tahu itu bukan citra yang kita inginkan,” ujar Warren.
Melihat potensi dari budidaya lebah, yang mendorong petani menjauhi praktik pembakaran karena lebah sangat sensitif terhadap asap, ia pun mendirikan Nektar Emas. Inisiatif ini membeli madu langsung dari petani di Jambi, lalu menjualnya ke pasar premium di Jakarta dan Singapura. “Sebelumnya, petani cuma bisa jual madu sekitar Rp12 ribu per botol. Padahal di supermarket bisa lebih dari Rp200 ribu,” katanya.
Kini, pendapatan petani meningkat hingga Rp5 juta per bulan per orang. Nektar Emas sendiri mencatat pendapatan sekitar USD 15 ribu per bulan, yang seluruhnya diinvestasikan kembali ke pengembangan pertanian ramah iklim. “Yang paling penting buat saya adalah mereka tetap bisa punya penghasilan, tanpa harus merusak hutan,” jelas Warren.
OctaHive: Teknologi AI untuk Kurangi Tenaga Manual hingga 70 Persen

Masalah lain yang Warren temukan saat kunjungan ke lapangan adalah soal jarak. Banyak petani harus menempuh perjalanan hingga dua jam hanya untuk mengecek kondisi sarang lebah. Dari situ, lahirlah OctaHive, sarang lebah pintar yang dilengkapi kamera, sensor suhu, kelembapan, serta deteksi hama, dan terhubung ke aplikasi.
“Kalau sebelumnya mereka datang setiap minggu, sekarang bisa sekali sebulan. Cukup cek lewat aplikasi, baru datang kalau ada masalah,” jelasnya. Teknologi ini membantu mengurangi tenaga kerja manual hingga 50–70 persen dan menekan biaya operasional hingga 70 persen. Warren menekankan bahwa efisiensi bukan segalanya, namun aksesibilitas bagi petani skala kecil tetap prioritas. “Saya ingin teknologi seperti OctaHive tetap bisa diakses petani, bukan cuma jadi alat mahal yang hanya bisa dipakai korporasi besar,” tegasnya.
Proyek ini mendapat sambutan internasional. Selain didukung oleh East Ventures, AC Ventures, dan Sunova Capital Management, OctaHive juga meraih Medali Perunggu di ajang International Exhibition of Inventions Geneva 2025.
Langkah Selanjutnya: Energi Surya dan Ekspansi ke Wilayah Lain

Ke depan, Warren ingin memperluas Nektar Emas dan OctaHive ke wilayah lain di Indonesia maupun negara dengan tantangan pertanian serupa. Ia juga tengah mengembangkan versi OctaHive berbasis energi surya agar lebih ringan, efisien, dan ramah lingkungan.
“Buat saya, sustainability itu bukan hanya soal teknologi, tapi soal keberpihakan. Kalau kita bisa bantu satu komunitas lewat teknologi, itu sudah langkah besar,” ungkap Warren.
Ketika ditanya pesan untuk anak muda lainnya, Warren menjawab dengan singkat tapi mengena: “Mulai aja dulu dari masalah yang paling dekat. Nggak harus tunggu jadi ahli buat bikin perubahan.”