Ada Dugaan Korupsi di Balik Banjir yang p

- Kenaikan air laut dan tanah amblas perburuk risiko banjir- Kenaikan permukaan laut dipicu mencairnya es dan penurunan tanah akibat gempa.- Banjir berkepanjangan mengganggu aktivitas pendidikan, pekerjaan, dan kesehatan masyarakat.- Relokasi pencegahan sering memicu kontroversi karena dianggap memutus identitas masyarakat dari wilayah asal.
- Strategi adaptasi lokal di tengah keterbatasan- Masyarakat Filipina mengembangkan solusi lokal sesuai kebutuhan mereka.- Warga Hagonoy menggunakan perahu untuk aktivitas harian dan menciptakan versi "tricycle" yang ditinggikan agar bisa melintasi banjir.- Di Pulau Batasan, rumah-rumah
Jakarta, IDN Times - Komunitas pesisir dan masyarakat pulau di Filipina kini menghadapi perubahan besar dalam kehidupan sehari-hari akibat rumah yang semakin sering terendam, jalan yang tak lagi bisa dilalui, serta kombinasi ancaman iklim yang terus memburuk. Kenaikan permukaan laut dan penurunan muka tanah memaksa warga beradaptasi dengan pola hidup baru demi bertahan.
Di wilayah tengah Filipina, sejumlah barangay di Tubigon terancam tenggelam akibat penurunan tanah yang dipicu gempa besar pada 2013. Sementara itu, Hagonoy, kota pesisir sekitar 50 kilometer di utara Manila, mengalami banjir berkepanjangan yang diperparah oleh ekstraksi air tanah berlebihan dan perubahan lingkungan lainnya.
Secara global, sekitar 40 persen populasi dunia tinggal di wilayah pesisir. UN-Habitat mencatat lebih dari 850 juta orang bermukim di zona pesisir rendah (LECZ) dengan elevasi kurang dari 10 meter di atas permukaan laut, sebagian besar di Asia Timur dan Asia Tenggara.
Pada 2000–2019, UNDRR mencatat lebih dari 1,6 miliar orang terdampak banjir di berbagai wilayah dunia. Dengan tanah yang terus turun dan air laut yang terus naik, banyak komunitas di Filipina dipaksa hidup berdampingan dengan air.
Kondisi ini semakin pelik karena skandal korupsi proyek pengendalian banjir memicu kemarahan publik dan gelombang protes nasional sejak Juli lalu.
1. Kenaikan air laut dan tanah amblas perburuk risiko banjir

Laporan IPCC menyebut kenaikan permukaan laut dipicu oleh mencairnya es dan pemuaian air laut akibat peningkatan suhu. Namun, ancaman ini semakin berat ketika terjadi penurunan tanah akibat pergerakan tektonik maupun eksploitasi air tanah yang berlebihan.
Ahli geologi dari University of the Philippines Los Baños, Decibel Faustino-Eslava, menjelaskan bahwa Asia Tenggara termasuk kawasan dengan laju kenaikan muka laut yang tinggi. Dampaknya terlihat jelas di Pulau Batasan, Bohol, yang mengalami penurunan tanah hingga 0,2–0,7 meter sejak gempa 2013.
Genangan air pasang kini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari sekitar 800 warga pulau tersebut. Barangay Ubay, Pangapasan, dan Bilang-bilangan mengalami kondisi serupa.
Pemerintah sempat mendorong relokasi ke daratan utama, tetapi banyak warga menolak karena alasan mata pencaharian dan keterikatan dengan tanah leluhur. UN-Habitat menilai relokasi pencegahan sering memicu kontroversi karena dianggap memutus identitas masyarakat dari wilayah asal.
Di Hagonoy, banjir berkepanjangan mengganggu aktivitas pendidikan, pekerjaan, hingga kesehatan masyarakat. Guru lokal, Keanu Reyes, mengatakan bahwa pasang surut kini menentukan ritme kehidupan warga.
“Hidup di Hagonoy bergantung pada air,” ujarnya, menyoroti biaya transportasi yang meningkat ketika banjir menutup akses jalan, dikutip dari Mongabay, Selasa (9/12/2025).
Kondisi daerah yang berada di delta sungai rendah alami memperburuk risiko, terutama dengan penurunan tanah yang mencapai 109 milimeter per tahun akibat pengambilan air tanah berlebih.
2. Strategi adaptasi lokal di tengah keterbatasan

Laporan IPCC mencatat bahwa kota-kota besar Asia Tenggara seperti Manila dan Jakarta mencoba berbagai strategi adaptasi, mulai dari pembangunan tanggul laut hingga sistem peringatan dini. Namun di banyak wilayah Filipina, masyarakat memilih mengembangkan solusi lokal yang sesuai kebutuhan mereka.
Di Hagonoy, sebagian warga pindah ke wilayah yang lebih tinggi, tetapi banyak yang tetap bertahan karena faktor ekonomi dan kedekatan komunitas. Warga memodifikasi moda transportasi, menggunakan perahu untuk aktivitas harian, dan menciptakan versi “tricycle” yang ditinggikan agar bisa melintasi banjir.
Di Pulau Batasan, rumah-rumah dibangun di atas panggung atau ditinggikan. Masyarakat juga menanam mangrove sebagai perlindungan alami terhadap gelombang badai dan erosi.
3. Korupsi proyek banjir picu kemarahan publik

Ketika warga berjuang mengadaptasi diri, investigasi pemerintah mengungkap dugaan korupsi besar dalam proyek pengendalian banjir. Temuan ‘proyek siluman’ dan infrastruktur yang tidak sesuai standar memicu kemarahan publik di seluruh negeri.
Peneliti bencana, David Sanderson, menyatakan bahwa korupsi merupakan faktor besar yang memperparah kerentanan masyarakat. “Ketika Anda memotong kualitas konstruksi, Anda meningkatkan risiko dan memperparah kerentanan,” katanya.
Decibel Faustino-Eslava bahkan menyebut, korupsi pada proyek pengendalian banjir setara dengan membahayakan nyawa masyarakat. Menurutnya, perampasan dana yang seharusnya melindungi masyarakat sama saja menempatkan warga dalam ancaman langsung.
Sejak Presiden Ferdinand Marcos Jr. memerintahkan penyelidikan pada Juli, demonstrasi besar terjadi di seluruh Filipina. Aksi ‘Baha sa Luneta’ di Manila dihadiri sekitar 49.000 orang, sementara ‘Trillion Peso March’ menarik sekitar 15.000 peserta. Protes yang dipimpin kelompok Iglesia ni Cristo bahkan mengumpulkan massa hingga sekitar 600.000 orang.
Di Hagonoy, aksi warga dilakukan sambil menyusuri banjir dalam protes bertajuk ‘Tindig Hagonoy’.“Masyarakat berhak menuntut perubahan,” kata inisiatornya, Renato Dela Cruz.
Sanderson menegaskan, bencana bukan hanya fenomena alam, melainkan kegagalan perencanaan dan tata kelola. UN-Habitat menyerukan pergeseran dari pendekatan reaktif menuju strategi ketahanan banjir jangka panjang berbasis ekosistem dan perspektif bentang alam.


















