Anggota Geng Bantai 110 Lansia di Daerah Kumuh Haiti

Jakarta, IDNTimes - Kelompok hak asasi manusia, pada Minggu (8/12/2024), melaporkan bahwa sedikitnya 110 orang dibantai di daerah kumuh Cite Soleil, Haiti, pada akhir pekan. Para korban, yang semuanya lansia, dituduh mengguna-guna anak seorang pemimpin geng di daerah tersebut.
Dilansir dari Reuters, Jaringan Pertahanan Hak Asasi Manusia Nasional (RNDDH) mengatakan bahwa pembantaian tersebut diperintahkan oleh pemimpin geng Wharf Jeremie, Monel "Mikano" Felix, setelah anaknya jatuh sakit.
Seorang pendeta Voodoo, yang dimintai nasihat oleh Felix, menuduh para lansia di daerah tersebut telah menggunakan ilmu sihir terhadap anaknya.
1. Korban dibantai dengan parang dan pisau
Menurut RNDDH, anggota geng membunuh sedikitnya 60 orang pada Jumat (6/12/2024) dan 50 orang lagi pada Sabtu (7/12/2024) dengan menggunakan parang dan pisau. Semua korban berusia di atas 60 tahun. Sementara itu, anak Felix meninggal pada Sabtu sore.
Cite Soleil, daerah kumuh yang terletak di dekat pelabuhan ibu kota Port-au-Prince, merupakan salah satu kawasan termiskin dan paling rawan kekerasan di Haiti. Kontrol geng yang ketat, termasuk pembatasan penggunaan ponsel, telah menghalangi warga untuk membagikan informasi tentang pembantaian tersebut.
Felix sendiri dilarang memasuki negara tetangga, Republik Dominika, pada 2022.
2. Geng Wharf Jeremie diperkirakan memiliki sekitar 300 anggota
Pada Oktober 2024, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memperkirakan bahwa geng Wharf Jeremie beranggotakan sekitar 300 orang dan juga beroperasi di sekitar Fort Dimanche dan La Saline. Pada November 2018, sedikitnya 71 warga sipil dibantai dan ratusan rumah dibakar di La Saline.
Jimmy "Barbecue" Cherizier, tokoh utama aliansi geng Viv Ansanm yang beroperasi di Port-au-Prince, telah dijatuhi sanksi oleh PBB atas tuduhan merencanakan pembantaian di La Saline saat ia masih menjabat sebagai polisi dan berbagai kejahatan lainnya.
Sedikitnya 115 orang juga dibantai di kota Pont-Sonde pada Oktober 2024. Geng Gran Grif disebut melakukan pembunuhan tersebut sebagai balasan terhadap penduduk yang bekerja sama dengan kelompok pertahanan diri yang menghalangi operasi jalan tol mereka.
3. Pemerintah Haiti kesulitan mengendalikan geng bersenjata
Pemerintah Haiti, yang dilanda perpecahan politik, telah kesulitan mengendalikan kekuatan geng bersenjata yang semakin berkembang di dalam dan sekitar ibu kota.
Pihak berwenang meminta dukungan keamanan internasional untuk polisi lokal pada 2022, namun misi yang disetujui oleh PBB pada 2023 hanya sebagian yang dikerahkan dan sangat kekurangan sumber daya.
Sejak itu, para pemimpin Haiti telah meminta agar misi tersebut diubah menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB untuk memastikan pasokan yang lebih memadai. Namun, rencana ini terhambat akibat penolakan dari China dan Rusia di Dewan Keamanan.