AS Sebut Presiden Venezuela Gembong Narkoba Dunia

- Hadiah sayembara penangkapan Maduro telah ada sejak 2020.
- Maduro didakwa atas konspirasi terorisme-narkotika di pengadilan federal AS pada 2020.
- Venezuela kecam tindakan AS sebagai pengalihan isu.
Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS) baru-baru ini mengumumkan hadiah sayembara untuk informasi yang mengarah pada penangkapan Presiden Venezuela, Nicolás Maduro. Hadiah tersebut kini mencapai 50 juta dolar AS atau sekitar Rp814 miliar dan diumumkan oleh Jaksa Agung AS Pam Bondi, pada Kamis (7/8/2025) waktu setempat.
Pemerintah AS menuduh Maduro menjadi ancaman bagi keamanan nasional karena perannya dalam perdagangan narkoba internasional. Bondi juga menyatakan Maduro tidak akan lolos dari jerat hukum.
"Dia adalah salah satu gembong narkoba terbesar di dunia dan menjadi ancaman bagi keamanan nasional kita. Oleh karena itu, kami menggandakan hadiahnya menjadi 50 juta dolar AS. Di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump, Maduro tidak akan lolos dari keadilan, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kejahatannya yang tercela," kata Bondi, dikutip dari Al Jazeera.
1. Hadiah sayembara telah ada sejak 2020
Kenaikan hadiah ini merupakan eskalasi terbaru dari tekanan AS terhadap Maduro. Sebelumnya, hadiah sayembara ditetapkan sebesar 15 juta dolar AS (sekitar Rp244 miliar) pada 2020 saat periode pertama pemerintahan Trump. Kemudian, mantan Presiden Joe Biden menaikkannya menjadi 25 juta dolar AS (sekitar Rp407 miliar), jumlah yang sama dengan hadiah untuk penangkapan Osama bin Laden.
Maduro didakwa atas konspirasi terorisme-narkotika di pengadilan federal AS pada 2020. Kementerian Kehakiman AS menuding Maduro memimpin kartel narkoba bernama "Cartel of the Suns" yang bekerja sama dengan kelompok pemberontak Kolombia, FARC.
AS juga mengklaim Maduro berkolaborasi dengan geng kriminal berbahaya seperti Tren de Aragua dan Kartel Sinaloa dari Meksiko untuk membanjiri AS dengan kokain. Pihak berwenang AS menyatakan telah menyita lebih dari 700 juta dolar AS (sekitar Rp11,3 triliun) aset Maduro serta 30 ton kokain yang terhubung dengan jaringannya.
Washington juga menolak mengakui kemenangan Maduro dalam pemilu 2018 dan 2024. AS bersama Uni Eropa dan sejumlah negara Amerika Latin menganggap proses pemilu tersebut penuh dengan kecurangan dan tidak sah.
2. Venezuela kecam tindakan AS sebagai pengalihan isu
Menteri Luar Negeri Venezuela Yvan Gil, mengecam pengumuman AS. Ia menyebutnya sebagai propaganda politik yang kasar dan konyol.
Gil menuding pengumuman itu bertujuan untuk mengalihkan perhatian publik AS dari kasus Jeffrey Epstein. Ia juga menyatakan bahwa martabat negaranya tidak dapat dibeli dengan uang.
"Kami tidak terkejut, ini datang dari siapa. Orang yang sama yang menjanjikan 'daftar rahasia' Epstein yang tidak pernah ada dan yang berkubang dalam skandal politik. Pertunjukannya adalah lelucon, sebuah pengalihan perhatian yang putus asa dari kesengsaraannya sendiri. Martabat tanah air kami tidak untuk dijual," ujar Gil.
Sebelumnya, Menteri Dalam Negeri Venezuela, Diosdado Cabello, juga menuduh AS dan oposisi merencanakan pengeboman di ibu kota Caracas. Serangan tersebut diklaim berhasil digagalkan oleh aparat keamanan.
3. Perkembangan hubungan AS-Venezuela
Tuduhan AS terhadap Maduro dinilai mendapat momentum baru setelah mantan kepala intelijen militer Venezuela, Hugo Carvajal, mengaku bersalah di pengadilan AS. Carvajal, yang pernah menjadi orang kepercayaan mendiang mantan Presiden Venezuela, Hugo Chavez, didakwa atas kasus perdagangan narkoba dan terorisme pada Juni lalu.
Pengakuan bersalah Carvajal ini memicu spekulasi bahwa ia mungkin telah membuat kesepakatan dengan jaksa AS. Beberapa pihak menduga ia akan memberikan kesaksian dan bukti yang memberatkan Maduro demi mendapatkan hukuman yang lebih ringan, dilansir BBC.
Akan tetapi, hubungan AS-Venezuela terlihat sangat dinamis. Bulan lalu, pemerintahan Trump justru menyetujui kesepakatan pertukaran tahanan yang berhasil membebaskan 10 warga AS dari penjara di Venezuela, dilansir The Guardian.
Tidak lama setelah itu, Gedung Putih bahkan melunakkan sanksi dengan mengizinkan raksasa minyak AS, Chevron, untuk kembali beroperasi di Venezuela. Di tengah semua tekanan ini, Nicolás Maduro sendiri masih memegang tampuk kekuasaan di Venezuela.