Brasil Perkuat UU Perlindungan Perempuan dari Kekerasan Berbasis Gender

- Hakim bisa menerapkan langkah darurat bagi korban
- Pelaku wajib memasang gelang kaki pengawas elektronik
- Sementara korban mendapat alat keamanan yang memberi peringatan jika pelaku mendekat.
Jakarta, IDN Times - Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva, menandatangani undang-undang yang memperkuat perlindungan bagi korban kekerasan berbasis gender terhadap perempuan, pada Selasa (9/12/2025). Langkah ini diterbitkan di lembaran resmi negara tersebut.
Undang-undang baru ini mendapat sambutan positif dari aktivis feminis, meskipun mereka menuntut tambahan dana untuk pencegahan. Penerbitan undang-undang dilakukan di tengah meningkatnya kasus kekerasan terhadap perempuan di Brasil.
1. Hakim bisa menerapkan langkah darurat bagi korban
Undang-undang tersebut memperluas wewenang hakim untuk menerapkan langkah-langkah darurat bagi korban kekerasan berbasis gender. Langkah-langkah itu mencakup penangguhan atau pembatasan kepemilikan senjata, pengusiran pelaku dari rumah korban, serta larangan kontak dengan korban.
Pelaku wajib memasang gelang kaki pengawas elektronik, sementara korban mendapat alat keamanan yang memberi peringatan jika pelaku mendekat.
Rancangan undang-undang ini digagas oleh mantan Senator Margareth Buzetti dari Partai Progressives sayap kanan tengah, yang disetujui Senat pada November 2025 lalu. Undang-undang ini melengkapi Lei Maria da Penha tahun 2006 yang menjadi dasar perlindungan korban kekerasan domestik di Brasil.
2. Penerbitan UU didorong kemarahan publik atas kasus kekerasan perempuan
Penerbitan undang-undang ini dipicu kemarahan publik atas rekor kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk insiden kejam yang memicu demonstrasi di 90 kota pada Minggu lalu. Contohnya, seorang perempuan dipukuli lebih dari 60 kali oleh pacarnya di lift hingga butuh rekonstruksi wajah, serta kasus lain di mana korban ditabrak dan diseret mobil hingga kehilangan kedua kakinya.
Rachel Ripani, koordinator protes, menyambut baik undang-undang ini. Aktivis juga menekankan kebutuhan dana lebih besar untuk pencegahan.
"Ini adalah perkembangan sangat positif, tapi juga pengingat penting bahwa undang-undang semacam itu bisa diabaikan tanpa advokasi publik yang gigih," ujar Ripani, dilansir Associated Press.
3. Pentingnya langkah pencegahan kekerasan gender sejak dini
Isadora Vianna, sosiolog dari Universitas Negara Rio de Janeiro, menjelaskan bahwa hukuman yang sangat berat bagi pelaku kekerasan seksual memang populer dan banyak didukung oleh kelompok progresif maupun konservatif. Namun, menurutnya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa pengetatan hukuman saja tidak cukup efektif untuk mencegah terjadinya kejahatan tersebut.
Ia menekankan pentingnya langkah pencegahan sejak dini, antara lain melalui pendidikan seks yang komprehensif di sekolah dan penyediaan ruang aman bagi anak-anak untuk menyampaikan kekhawatiran atau pengalaman mereka. Dengan cara itu, kekerasan dapat dideteksi lebih awal, korban lebih berani berbicara, dan lingkungan sosial menjadi lebih sadar serta responsif terhadap kasus kekerasan seksual.
"Tidak ada perubahan pidana yang berhasil, karena di baliknya masih ada struktur seksis, misoginis, rasis yang merugikan, melanggar, dan membunuh kami," kata Vianna, dilansir The Independent.
Pada Oktober 2024, Lula juga menandatangani undang-undang yang menetapkan hukuman minimal 20 tahun dan maksimal 40 tahun bagi pelaku femisida, naik dari sebelumnya 12-30 tahun.


















