CIA: Negosiasi Pembebasan Sandera Israel Kian Menjanjikan

Jakarta, IDN Times - Amerika Serikat (AS) sedang mempercepat pembicaraan untuk mencapai kesepakatan pembebasan sandera antara Israel dan Hamas sebelum pelantikan Donald Trump.
Direktur CIA, William Burns, menyebut negosiasi ini cukup menjanjikan dan berpeluang rampung dalam waktu dekat.
“Pembicaraan yang berlangsung saat ini sangat serius dan memberikan peluang untuk menyelesaikannya dalam beberapa pekan mendatang,” kata Burns dalam wawancara dengan National Public Radio (NPR), Jumat (10/1/2025).
Ia menambahkan bahwa koordinasi dengan administrasi Trump telah berjalan baik sejauh ini.
1. AS berupaya genjot proses negosiasi

Negosiasi tersebut melibatkan mediator dari AS, Mesir, dan Qatar untuk mencapai kesepakatan gencatan senjata sekaligus pembebasan sandera. Pada Senin (6/1/2025), Hamas mengklaim telah menyerahkan daftar 34 sandera Israel yang meliputi perempuan, anak-anak, serta orang tua kepada pihak mediator.
Namun, Israel menyebut belum ada konfirmasi dari Hamas terkait kondisi sandera tersebut, apakah mereka masih hidup atau tidak.
“Saya belajar untuk tidak terlalu berharap pada proses ini, tetapi celah perbedaan antara kedua belah pihak sudah mulai menyempit,” ujar Burns.
Sementara itu, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, mengumumkan bahwa ia telah memerintahkan militer untuk menyusun rencana penghancuran total Hamas di Gaza.
“Jika kesepakatan pembebasan sandera tidak terwujud sebelum Presiden Trump dilantik, harus ada penghancuran total Hamas di Gaza,” kata Katz dalam pernyataan resmi dari kantornya, melansir Times of Israel, Jumat (10/1/2025).
2. Perselisihan tuntutan masih jadi hambatan utama

Di tengah upaya mencapai kesepakatan, kedua pihak tetap bersikeras pada syarat masing-masing. Hamas meminta pembebasan sandera menjadi bagian dari perjanjian komprehensif untuk mengakhiri konflik, sementara Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menginginkan kesepakatan bertahap.
Menurut laporan Haaretz, Netanyahu berharap tekanan dari Presiden Trump dapat memperkuat posisi Israel dalam negosiasi. Namun, para pengamat menilai pendekatan ini belum menunjukkan hasil signifikan.
Kobi Michael, seorang peneliti dari Misgav Institute for National Security and Zionist Strategy, mengatakan bahwa tidak akan ada kemajuan besar hingga Trump resmi menjabat.
Namun, kritik datang dari berbagai pihak. Oposisi Israel dan keluarga para sandera menuduh Netanyahu menghalangi kesepakatan demi melindungi posisinya secara politik.
Melansir Anadolu Agency, menteri-menteri garis keras dalam koalisi Netanyahu, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir dan Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, bahkan mengancam akan keluar dari pemerintahan dan menjatuhkannya jika gencatan senjata disetujui.
3. Krisis di Gaza semakin parah

Sementara negosiasi berlangsung, kondisi di Gaza terus memburuk. Hampir seluruh dari 2,3 juta penduduknya kini hidup dalam situasi darurat, terutama akibat musim dingin yang memicu banjir dan memperburuk krisis kemanusiaan.
Di tengah kemelut, Israel meningkatkan serangan udara, menewaskan sedikitnya 100 orang pekan lalu, menurut pejabat kesehatan setempat.
Kementerian Kesehatan Palestina mencatat bahwa sejak konflik dimulai pada 7 Oktober 2023, sebanyak 46.537 warga Palestina telah tewas, sementara 109.571 lainnya mengalami luka-luka.
Hamas memulai konflik ini dengan serangan besar-besaran yang menewaskan sekitar 1.200 warga Israel dan menculik 250 orang. Hingga kini, upaya pembebasan sandera masih menjadi prioritas utama negosiasi.
Sementara itu, Qatar terus berperan sebagai mediator kunci. Pada Jumat lalu, Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani bertemu dengan utusan Trump untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, untuk membahas perkembangan pembicaraan gencatan senjata di Gaza.
Trump sebelumnya menegaskan bahwa Hamas harus membebaskan sandera sebelum hari pelantikannya.
“Akan ada konsekuensi besar jika mereka gagal melakukannya,” katanya dalam pernyataan yang dikutip The Guardian.