COP26 Berakhir, Batubara Masih Dikompromikan

Jakarta, IDN Times - Hampir 200 negara ikut dalam acara KTT Iklim PBB yang disebut COP26 di Glasgow, Inggris. Dari pertemuan tersebut, akhirnya disepakati Glasgow Climate Pact.
Salah satu poin penting dari kesepakatan tersebut yang dinilai mengecewakan adalah, batubara yang menjadi bahan bakar fosil paling kotor tetap dikompromikan. Hal yang menggembirakan yakni, negara-negara sepakat untuk menjaga agar pemanasan global tidak naik 1,5 derajat Celcius pada pertengahan abad.
1. Komitmen untuk mencegah kenaikan suhu bumi tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius
Inti utama dari KTT iklim di Glasgow adalah bagaimana para pemimpin dunia bersikap dan melangkah untuk memperbaiki bumi. Pemanasan global yang berakibat pada krisis iklim, telah merugikan banyak orang di berbagai belahan dunia.
Selama lebih dari dua minggu, para pemimpin dunia tersebut berkumpul dan bernegosiasi untuk mencapai kesepakatan. Pada hari Sabtu (13/11/21), hampir 200 negara yang ikut akhirnya setuju mengadopsi Glasgow Climate Pact (Pakta Iklim Glasgow).
Dilansir Reuters, di dalam pakta tersebut diakui bahwa upaya negara-negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca yang memanaskan bumi belumlah cukup.
Oleh sebab itu, pemerintah semua negara diminta untuk memperkuat target batas kenaikan suhu global tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius pada akhir tahun depan. Ini menegasikan rencana awal dalam Kesepakatan Paris yang biasanya dilakukan setiap lima tahun.
Semua negara yang ikut COP26, akan kembali hadir tahun depan di Mesir untuk memberikan revisi peta pengurangan emisi karbon yang lebih cepat.
Alok Sharma, Presiden COP26 mengatakan "Saya rasa hari ini kita dapat mengatakan dengan kredibilitas bahwa kita telah menjaga 1,5 (derajat Celcius) dalam jangkauan. Tapi denyut nadinya lemah, dan kita hanya akan bertahan jika kita menepati janji."
Jika para pemimpin dunia gagal mencegah pemanasan suhu bumi, para ilmuwan berpendapat akan terjadi kenaikan permukaan air laut yang ekstrem dan berbagai bencana termasuk kekeringan, badai dahsyat, serta kebakaran hutan yang lebih buruk.
2. Drama batubara

Dalam COP26, untuk pertama kalinya disebutkan bahwa negara-negara diminta untuk mengurangi ketergantungan terhadap batubara dan mengurangi subsidi bahan bakar fosil lainnya.
Batubara sendiri adalah bahan bakar fosil paling kotor dan Badan Energi Internasional telah menjelaskan jika energi ini tidak dihapus, maka dunia kehilangan kesempatan untuk menekan kenaikan suhu pada batas 1,5 derajat celcius.
Untuk mencapai target batas kenaikan suhu global, 40 persen dari 8500 pembangkit listrik barubara harus ditutup pada tahun 2030 mendatang, dan sekaligus tidak ada pembangkit listrik baru yang dibangun.
Menurut The Guardian, dalam Pakta Iklim Glasgow, sebenarnya sudah disusun bahasa untuk "menghapus" energi batubara. Tapi sebelum pakta tersebut disetujui oleh semua negara, India datang dan bersikeras mengubahnya menjadi "menghentikan secara bertahap."
Namun Menteri Lingkungan Hidup India, Bhupender Yadav, beralasan bahwa negaranya sulit untuk menghentikan penghapusan batubara dan mencabut subsidi bahan bakar fosil ketika sedang berusaha mencoba mengatasi kemiskinan.
Dilansir Reuters, perubahan yang terjadi di detik-detik akhir sebelum pakta disetujui, disambut dengan kekecewaan oleh negara-negara kaya di Eropa dan negara-negara pulau kecil bersama dengan negara-negara lain yang masih berkembang.
3. Menggandakan bantuan untuk negara miskin dan rentan
Salah satu poin penting yang dibahas dalam Pakta Iklim Glasgow adalah pendanaan untuk adaptasi iklim. Negara-negara berpenghasilan rendah dan rentan akan mendapatkan dana dalam upaya transisi menuju negara yang menghasilkan rendah emisi.
Pendanaan itu bersumber dari publik dan swasta di negara-negara kaya kepada negara berpenghasilan rendah. Pada tahun 2009, disepakati negara berpenghasilan rendah akan menerima setidaknya 100 miliar dolar (sekitar Rp1.419 triliun) pertahun mulai 2020.
The Guardian malporkan, tetapi pada tahun 2019, hanya 80 miliar dolar (sekitar Rp1.135 triliun) saja yang mengalir.
Banyak negara berkembang marah dengan hal ini. Kemarahan itu muncul, selain jumlah dana yang dijanjikan tidak ditepati, dana yang mengalir lebih banyak digunakan pengurangan emisi dari pada adaptasi iklim.
Negara-negara berkembang berpendapat proyek pengurangan emisi seringkali dapat didanai dengan mudah tanpa bantuan karena itu merupakan proyek yang dapat menghasilkan keuntungan jangka panjang.
Dana yang paling dibutuhkan adalah untuk beradaptasi akibat dampak cuaca ekstrem, yang semakin tahun bencana alam semakin destruktif.
Menurut Al Jazeera, dalam kesepakatan Glasgow, negara-negara maju didesak untuk menggandakan penyediaan dana iklim kolektif untuk negara-negara berkembang.