Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

FBI-CIA Dituduh Berkonspirasi Bunuh Malcolm X, Keluarga Gugat Rp1,5 T

Malcolm X. (unsplash.com/unseenhistories)

Jakarta, IDN Times - Keluarga Malcolm X mengajukan gugatan senilai 100 juta dolar AS (sekitar Rp1,5 triliun) terhadap FBI, CIA, dan Kepolisian New York (NYPD) pada Kamis (15/11/2024). Malcolm X merupakan tokoh pergerakan hak sipil kulit hitam Amerika Serikat (AS) yang terbunuh pada 1965.

Gugatan diajukan di pengadilan federal Manhattan. Keluarga menuduh para penegak hukum mengetahui rencana pembunuhan Malcolm X, namun sengaja tidak mencegahnya, dilansir dari The Guardian. 

Ilyasah Shabazz, putri Malcolm X, bersama anggota keluarga lainnya mengajukan gugatan melalui pengacara Ben Crump. Mereka menuduh adanya hubungan tidak sah antara penegak hukum dengan para pembunuh. Hubungan ini berlangsung selama bertahun-tahun dan sengaja ditutupi oleh pihak berwenang.

Betty Shabazz, istri Malcolm X, menyaksikan langsung pembunuhan suaminya dalam keadaan hamil bersama anak-anaknya. Ia telah meninggal dunia pada 1997.

"Ibuku sedang hamil ketika datang ke sini untuk melihat suaminya berbicara, seseorang yang dia kagumi sepenuhnya, dan menyaksikan pembunuhan mengerikan suaminya," ujar Ilyasah Shabazz, dikutip dari ABC News. 

1. Saksi mata ungkap NYPD bantu pelaku pembunuhan kabur

Dilansir dari AP,  peristiwa tersebut terjadi pada 21 Februari 1965 di Audubon Ballroom, kawasan Washington Heights, Manhattan. Malcolm X, yang saat itu berusia 39 tahun, ditembak sebanyak 21 kali oleh sekelompok pria di depan istri dan anak-anaknya saat hendak berpidato.

Saksi mata bernama Mustafa Hassan mengaku bahwa dia dan beberapa orang mencoba menangkap salah satu penembak. Namun, petugas NYPD justru terlihat membantu pelaku melarikan diri. Anehnya, pihak berwenang tidak pernah mengambil pernyataan dari Hassan meski ia hadir saat kejadian.

Muhammad Abdul Aziz dan Khalil Islam, dua dari tiga orang yang awalnya dinyatakan bersalah, akhirnya dibebaskan pada 2021. Penyidik menyatakan bahwa bukti-bukti yang tersedia kurang kuat. Penyelidikan juga mengungkap adanya informasi penting yang sengaja disembunyikan pihak berwenang.

Malcolm X lahir dengan nama Malcolm Little di Omaha, Nebraska. Sebelum pembunuhannya, ia menjabat sebagai juru bicara nasional Nation of Islam.

Malcolm X memutuskan keluar dari Nation of Islam pada 1964 dan mengubah pandangannya tentang pemisahan ras. Keputusan ini memicu kemarahan sebagian anggota kelompok hingga melontarkan ancaman pembunuhan.

2. FBI dan NYPD diduga jebak pengawal Malcolm X sebelum pembunuhan

Tim pengacara keluarga mengungkap fakta dari dua mantan petugas keamanan pribadi Malcolm X. Kedua mantan petugas keamanan Malcolm X mengaku dijebak oleh petugas NYPD yang menyamar. Mereka dipenjara seminggu sebelum pembunuhan untuk memastikan rencana pembunuhan berjalan lancar.

Bukti lain menunjukkan adanya surat dari agen khusus FBI New York kepada J. Edgar Hoover pada Desember 1964. Surat tersebut meminta pengawasan tambahan terhadap Malcolm X yang berencana membawa isu penindasan warga kulit hitam AS ke PBB. Dua bulan setelah surat itu, Malcolm X tewas.

Pengacara keluarga tersebut juga mengklaim ada sembilan informan FBI di lokasi pembunuhan. Lebih mencurigakan lagi, salah satu penembak diduga memiliki hubungan erat dengan FBI dan menerima bantuan dari pihak berwenang setelah kejadian.

Melansir The Hill, di bawah arahan J. Edgar Hoover, badan-badan tersebut diduga tidak sekadar melakukan pengawasan ilegal. Mereka secara aktif berkonspirasi mengurangi perlindungan Malcolm X dan membiarkannya rentan terhadap serangan yang telah mereka ketahui akan terjadi.

3. Tuntutan keluarga Malcolm X

Keluarga Malcolm X mengajukan sembilan poin tuntutan dalam gugatan mereka. Tuntutan tersebut meliputi tuduhan kekerasan berlebihan, pembiaran bahaya, kelalaian dalam perlindungan, dan upaya menghalangi keluarga mendapat keadilan. Mereka juga menuntut atas dugaan konspirasi, manipulasi fakta, dan pembunuhan.

FBI diketahui memiliki program rahasia bernama COINTELPRO yang mengawasi organisasi dan individu yang dianggap mengancam kepentingan Amerika. Program ini juga menjadikan tokoh hak sipil lain seperti Martin Luther King Jr. dan mantan Wakil Ketua Partai Black Panther Illinois, Fred Hampton, sebagai target.

Raymond Wood, mantan petugas NYPD, mengungkap bahwa ia diperintahkan menjebak tim keamanan Malcolm X. Mereka dipaksa melakukan kejahatan federal agar bisa ditangkap FBI dan dijauhkan dari tugas pengamanan pada hari nahas tersebut.

Ben Crump selaku pengacara keluarga menyatakan, penyembunyian fakta ini telah berlangsung puluhan tahun.

"Kami membuat sejarah dengan berdiri di sini untuk menghadapi kesalahan-kesalahan itu dan mencari pertanggungjawaban di pengadilan," ujar dia.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us