Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Imbas Tarif AS, Produsen Panel Surya China Kurangi Operasi di Malaysia

Ilustrasi panel surya. (pexels.com/Los Muertos Crew)

Jakarta, IDN Times - Beberapa produsen panel surya milik China telah menutup atau mengurangi operasi mereka di Malaysia. Hal ini dikarenakan kenaikan tarif Amerika Serikat (AS) pada 2024 menekan margin dan kenaikan lebih lanjut diperkirakan akan terjadi.

Produsen tersebut termasuk perusahaan panel surya terbesar di dunia, Jinko Solar Co, Risen Energy Co, dan JA Solar Technology Co, yang secara kolektif menyumbang hampir 40 persen dari total kapasitas produksi surya di Malaysia.

Menurut sumber industri, Risen Energy Co telah mengurangi produksinya dalam 6 bulan terakhir. Perusahaan ini pertama kali memasuki pasar Malaysia pada 2021, dan telah berencana untuk berinvestasi lebih dari 42 miliar ringgit (sekitar Rp153,1 triliun) selama 15 tahun di fasilitas produksinya di Kulim, negara bagian Kedah, dilansir The Straits Times pada Senin (20/1/2025).

1. Malaysia salah satu tujuan perusahaan panel surya China di Asia Tenggara

Menurut firma konsultan Wood Mackenzie, produsen panel surya China mendominasi sektor lokal dengan kontribusi hampir 80 persen atau 18,6 gigawatt (GW) dari total kapasitas produksi surya Malaysia yang berjumlah sebesar 23,6 GW pada 2024.

Sementara, kapasitas produksi yang tersisa diambil oleh produsen surya terbesar di AS, First Solar, dan produsen surya terbesar di Korea Selatan, Hanwha Qcells.

Sebagian besar panel surya ini diproduksi untuk diekspor ke AS dengan kapasitas terpasang panel surya Malaysia hanya 4,2 GW. Tercatat dari Januari-September 2024, Malaysia menjadi pusat utama pembuatan panel surya di Asia Tenggara dengan mengekspor panel surya senilai hampir 1,8 miliar dolar AS (Rp29,3 triliun).

Selama beberapa tahun terakhir, Negeri Jiran bersama dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Vietnam dan Thailand telah menjadi tujuan utama bagi perusahaan panel surya China yang merelokasi operasi mereka, guna menghindari tarif AS atas impor langsung dari China.

2. Tarif baru impor panel surya AS dan dampaknya di Asia Tenggara

Ilustrasi bendera Amerika Serikat. (unsplash.com/Brandon Mowinkel)

Dilansir Reuters, pada November 2024, AS mengumumkan putaran tarif baru pada impor panel surya dari Malaysia, Thailand, Kamboja, dan Vietnam. Ini terjadi setelah produsen AS mengeluh bahwa perusahaan di sana membanjiri pasar dengan barang-barang murah yang tidak adil.

Hal ini merupakan upaya Washington untuk menutup celah yang dieksploitasi oleh perusahaan milik China. Bagi AS, masuknya impor panel surya China yang lebih murah dianggap sebagai ancaman bagi industri energi surya dalam negeri.

Menurut Komite Perdagangan Aliansi Amerika untuk Manufaktur Tenaga Surya, produsen panel surya besar China yang memiliki pabrik di keempat negara di Asia Tenggara tersebut menyebabkan jatuhnya harga global dengan membuang produk ke pasar. 

Berdasarkan keputusan awal yang dipublikasikan di laman resmi Departemen Perdagangan AS pada November, lembaga tersebut menghitung bea dumping antara 21,31 persen dan 271,2 persen, tergantung pada perusahaan, untuk sel surya dari Kamboja, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Departemen tersebut diharapkan akan membuat keputusan akhir pada April tahun ini.

Dumping adalah sebuah praktik dagang yang dilakukan oleh eksportir dengan cara menjual barang di luar negeri dengan harga yang lebih murah, dibandingkan harga di negara asalnya.

Kebanyakan panel surya yang dipasang di AS dibuat di luar negeri, di mana sekitar 80 persen impor berasal dari 4 negara yang menjadi sasaran penyelidikan Departemen Perdagangan.

3. Diperkirakan investasi China di Malaysia akan menurun akibat tarif AS

Ilustrasi suasana Petaling Street di Kuala Lumpur, Malaysia. (unsplash.com/Dave Yap)

Persaingan AS-China yang sedang berlangsung dan diperkirakan akan meningkat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump, dapat mengakibatkan penurunan lebih lanjut dalam investasi Beijing di Malaysia.

Di sisi lain, Malaysia membutuhkan tenaga panel surya untuk memacu transisi negara tersebut menuju energi terbarukan.

Sementara itu, para ekonom mengatakan Beijing kemungkinan akan melakukan diversifikasi untuk memasok pasar-pasar lain yang tumbuh cepat, seperti kawasan Asia Tenggara lainnya dan Afrika dalam jangka panjang sebagai peralihan dari Washington.

"AS tidak akan menjadi pasar utama bagi China lagi. Sementara, Malaysia sebagai basis manufaktur menyediakan akses ke kawasan ASEAN bagi produk-produk China yang dapat dipasoknya ke berbagai industri," kata Jeffrey Sachs, seorang profesor dan direktur Pusat Pembangunan Berkelanjutan di Columbia University.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rama
EditorRama
Follow Us