Usai Dilantik, Donald Trump Tarik AS dari Perjanjian Paris

Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang menarik negaranya dari Perjanjian Paris pada Senin (20/1/2025). Keputusan tersebut menjadi salah satu kebijakan pertamanya setelah dilantik sebagai presiden AS periode kedua.
Trump juga mengirimkan surat resmi ke Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang menyatakan niat penarikan AS dari perjanjian tahun 2015 tersebut. Perjanjian Paris sendiri merupakan kesepakatan 196 negara yang bertujuan membatasi kenaikan suhu global maksimal 1,5 derajat Celcius di atas level praindustri.
Penarikan AS dari perjanjian tersebut akan efektif satu tahun setelah pemberitahuan ke PBB. Penarikan kali ini menjadi yang kedua setelah sebelumnya Trump melakukan hal serupa pada 2017. Saat itu, kebijakan Trump dibatalkan Presiden Joe Biden.
"Saya langsung menarik AS dari Perjanjian Paris yang tidak adil dan merugikan ini. AS tidak akan mengorbankan industrinya sementara China mencemari alam dengan bebas," kata Trump sebelum menandatangani perintah eksekutif tersebut, dilansir Reuters.
1. Trump sebut Perjanjian Paris tidak sesuai nilai AS
Trump berargumen bahwa Perjanjian Paris tidak mencerminkan nilai-nilai AS dan merugikan warga negaranya. Trump mengklaim Washington memiliki catatan kesuksesan memajukan ekonomi dan lingkungan yang seharusnya menjadi model bagi negara lain.
"Perjanjian-perjanjian ini juga mengarahkan uang pembayar pajak AS ke negara-negara yang tidak membutuhkan atau tidak pantas mendapat bantuan keuangan demi kepentingan rakyat AS," bunyi pernyataan Gedung Putih, dilansir dari NBC News.
AS akan bergabung dengan Libya, Yaman, dan Iran sebagai negara-negara yang berada di luar Perjanjian Paris. Keputusan Trump ini mendapat penolakan dari sekitar setengah warga AS menurut jajak pendapat AP-NORC Center for Public Affairs Research.
Bahkan di kalangan Partai Republik sendiri dukungan terhadap penarikan dari perjanjian iklim ini tidak terlalu kuat. Kurang dari setengah pendukung Partai Republik menyatakan setuju AS keluar dari Perjanjian Paris, sementara sekitar 20 persen menentangnya.
2. Posisi AS dalam emisi karbon global
AS saat ini menjadi penghasil emisi karbon terbesar kedua di dunia setelah China. Data Global Carbon Project menunjukkan AS mengeluarkan 4,9 miliar metrik ton karbon dioksida pada 2023, turun 11 persen dari satu dekade sebelumnya.
Karbon dioksida bisa bertahan di atmosfer selama berabad-abad. AS telah menyumbang hampir 22 persen dari total emisi karbon global sejak 1950. Angka ini menjadi yang terbesar dibandingkan negara lain dalam periode tersebut, dilansir AP.
Tahun lalu tercatat sebagai tahun terpanas dalam sejarah dan pertama kalinya melampaui target Perjanjian Paris 1,5 derajat Celcius. Laporan PBB terbaru memproyeksikan bumi mengarah pada peningkatan suhu lebih dari 3 derajat Celcius pada akhir abad ini.
Para ilmuwan memperingatkan kenaikan suhu sebesar itu akan memicu dampak berantai seperti naiknya permukaan laut, gelombang panas, dan badai dahsyat. Saat ini berbagai negara masih kesulitan memenuhi target pengurangan emisi karena perang, ketegangan politik, dan keterbatasan anggaran.
3. Kekhawatiran dan kritik atas keputusan Trump
Para pengamat khawatir negara-negara lain akan mengikuti langkah AS. Salah satunya China yang bisa menggunakannya sebagai alasan melonggarkan upaya pengurangan emisi karbon. Penarikan kedua ini dinilai akan lebih merusak upaya iklim global karena terjadi saat implementasi sedang berjalan.
Trump berjanji akan mengakhiri kebijakan iklim ekstrem Biden dan mendeklarasikan darurat energi nasional. Ia juga menginstruksikan seluruh lembaga federal AS menghapus kebijakan iklim yang dianggap merugikan.
Rachel Cleetus dari Union of Concerned Scientists menyebut penarikan dari Perjanjian Paris adalah kesalahan.
"Ini satu lagi contoh agenda Trump yang antisains dan pro bahan bakar fosil, yang bertujuan meningkatkan keuntungan perusahaan-perusahaan pencemar dengan mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan warga di seluruh negeri," katanya.
Li Shuo, ahli diplomasi iklim dari Asia Society Policy Institute, menilai penarikan AS bisa melemahkan daya saingnya melawan China di pasar energi bersih seperti panel surya dan kendaraan listrik. AS juga bisa kehilangan kesempatan membentuk kebijakan iklim internasional.