Ini Profil Andry Rajoelina, Presiden Madagaskar yang Dimakzulkan

- Andry Rajoelina, mantan DJ yang naik ke panggung politik sebagai wali kota Antananarivo pada 2007.
- Rajoelina naik ke tampuk kekuasaan nasional melalui kudeta pada 2009 setelah konflik dengan Presiden Marc Ravalomanana.
- Rajoelina kembali jadi presiden pada 2019 setelah memimpin pemerintahan transisi dan melakukan manuver politik.
Jakarta, IDN Times - Majelis Rendah Parlemen Madagaskar memutuskan untuk memakzulkan Presiden Andry Rajoelina. Sebelumnya, ia telah melarikan diri dari negaranya di tengah krisis politik. Situasi di negara kepulauan tersebut kini berada di bawah kendali pemerintahan transisi militer.
Krisis ini dipicu oleh unjuk rasa yang dipimpin oleh kelompok Gen Z Madagaskar sejak September 2025. Protes yang awalnya menyoroti kegagalan layanan publik seperti pemadaman listrik dan krisis air, dengan cepat meluas menjadi seruan agar Rajoelina mundur di tengah kemarahan atas kemiskinan dan korupsi. Gerakan ini terinspirasi dari unjuk rasa anak muda di berbagai negara, termasuk Kenya dan Sri Lanka.
Kejatuhan ini menjadi babak akhir dari perjalanan politik Andry Rajoelina yang fenomenal. Sosok ini meroket dari panggung hiburan ke puncak kekuasaan sebagai salah satu pemimpin termuda di Afrika. Berikut profil, perjalanan politik, hingga kisah tumbangnya Andry Rajoelina.
1. Mantan DJ yang masuk ke panggung politik

Jauh sebelum dikenal sebagai politisi, Rajoelina membangun namanya sebagai figur yang energik dan dekat dengan anak muda di ibu kota. Rajoelina memulai karier profesionalnya sebagai seorang disc jockey (DJ) dan promotor acara di Antananarivo saat masih remaja.
Ia kemudian mendirikan perusahaan produksi acara, percetakan digital, dan akhirnya mengakuisisi stasiun radio serta televisi yang ia beri nama Viva Radio dan Viva TV. Melalui kerajaan media inilah popularitasnya di kalangan masyarakat urban semakin menguat.
Panggung politik pertamanya adalah saat ia mencalonkan diri sebagai wali kota Antananarivo pada 2007. Secara mengejutkan, ia berhasil memenangkan pemilihan dengan perolehan suara signifikan, mengalahkan kandidat dari partai yang berkuasa saat itu, milik Presiden Marc Ravalomanana. Kemenangannya ini menandai kemunculannya sebagai tokoh oposisi utama di Madagaskar.
Dilansir The Guardian, ia dikenal dengan julukan "TGV," akronim dari partai politiknya, Tanora malaGasy Vonona (Pemuda Malagasi yang Bertekad). Julukan ini juga merujuk pada kereta cepat Prancis, mencerminkan karakternya yang tak terbendung dan penuh semangat serta retorikanya yang cepat.
Citra ini membuatnya sangat menarik bagi kaum muda yang mendambakan perubahan. Namun, kesuksesannya sebagai wali kota yang populer membuatnya berbenturan dengan pemerintah pusat di bawah Ravalomanana.
2. Naik ke tampuk kekuasaan pada kudeta 2009

Langkah Rajoelina dari kursi wali kota menuju tampuk kekuasaan nasional tidak terjadi melalui pemilihan umum. Sebaliknya, ia naik ke puncak melalui sebuah krisis politik besar yang mengubah lanskap Madagaskar secara drastis.
Ketegangan antara Rajoelina dan Ravalomanana mencapai puncaknya setelah pemerintah menutup stasiun Viva TV milik Rajoelina pada akhir 2008. Penutupan ini memicu serangkaian protes massa yang dipimpin langsung oleh Rajoelina, yang menuduh Ravalomanana sebagai seorang diktator. Eskalasi konflik ini dengan cepat melumpuhkan politik Madagaskar.
Pada Maret 2009, militer termasuk unit elite CAPSAT, mulai menunjukkan dukungannya kepada Rajoelina. Merasa posisinya melemah, Ravalomanana menyerahkan kekuasaan kepada militer dengan tujuan agar rezim transisi militer dibentuk. Namun, beberapa jam kemudian, para pemimpin militer justru menyerahkan kekuasaan kepada Rajoelina.
Pengambilalihan kekuasaan ini dikecam oleh komunitas internasional sebagai sebuah kudeta. Akibatnya, Madagaskar sempat mengalami isolasi diplomatik dan berbagai bantuan finansial internasional pun ditangguhkan. Rajoelina kemudian memimpin negara sebagai kepala Otoritas Transisi Tinggi selama periode yang penuh gejolak.
3. Kembali jadi presiden pada 2019

Setelah memimpin pemerintahan transisi, Rajoelina melakukan berbagai manuver politik untuk kembali ke tampuk kekuasaan melalui jalur konstitusional. Sebuah kesepakatan tercapai pada 2013 di mana Rajoelina dan rivalnya, Ravalomanana, setuju untuk tidak maju dalam pemilihan presiden demi stabilitas negara.
Namun, Rajoelina sempat mengingkari janji tersebut setelah istri Ravalomanana mengumumkan pencalonannya. Ia akhirnya menarik diri setelah pengadilan pemilu melarang pencalonan keduanya.
Rajoelina secara resmi kembali ke panggung politik pada pemilihan presiden tahun 2018. Dalam kontestasi tersebut, ia kembali berhadapan langsung dengan saingan lamanya, Marc Ravalomanana. Rajoelina berhasil keluar sebagai pemenang dalam pemilu putaran kedua yang sengit.
Setelah dilantik pada 2019, ia memperkenalkan rencana ambisius bernama "Plan Emergence Madagascar". Inisiatif ini bertujuan untuk menghidupkan kembali ekonomi negara yang telah lama menghadapi berbagai masalah struktural. Rencana tersebut menjadi salah satu janji utama dalam kampanyenya.
4. Dilanda sederet kontroversi selama menjabat

Meskipun kembali berkuasa melalui jalur demokrasi, pemerintahan Rajoelina diwarnai serangkaian kebijakan dan skandal kontroversial. Persoalan-persoalan ini menjadi sorotan dan mengikis dukungan politiknya.
Dilansir Reuters, salah satu kontroversi terbesar terjadi selama pandemi COVID-19. Saat itu, Rajoelina mempromosikan minuman herbal yang ia klaim dapat mencegah dan menyembuhkan virus tersebut. Promosi gencar ini dilakukan meskipun produk itu belum melalui uji klinis yang memadai.
Skandal lain yang mengguncang pemerintahannya terjadi pada Juni 2023. Terungkap bahwa Rajoelina ternyata telah memiliki kewarganegaraan Prancis sejak 2014. Berita ini memicu kemarahan pihak oposisi, yang berargumen bahwa Rajoelina tidak lagi memenuhi syarat untuk menjabat sebagai presiden Madagaskar.
Puncak kontroversi terjadi pada pemilu 2023 yang mengantarkannya memenangkan masa jabatan ketiga. Pemilu tersebut diwarnai aksi boikot dari 10 kandidat oposisi utama sebagai bentuk protes atas kredibilitas prosesnya. Akibatnya, tingkat partisipasi pemilih tercatat sebagai yang terendah dalam sejarah Madagaskar, meski Rajoelina tetap dinyatakan menang dengan 59 persen suara.
5. Puncak kemarahan rakyat dan kejatuhan rezim Rajoelina
Masalah kehidupan sehari-hari menjadi percikan api yang menyulut ketidakpuasan rakyat terhadap rezim Rajoelina. Isu-isu seperti pemadaman listrik yang berkepanjangan dan krisis pasokan air bersih menjadi simbol kegagalan pemerintahannya.
Protes yang dimotori oleh kelompok Gen Z Madagaskar pecah pada September 2025. Tuntutan awal mereka yang fokus pada layanan dasar dengan cepat berkembang menjadi isu yang lebih luas. Para demonstran menyerukan pengunduran diri Rajoelina sembari menyuarakan kemarahan atas korupsi, kemiskinan, dan kondisi hidup yang memburuk.
Setelah berminggu-minggu protes, pada Oktober 2025, unit militer elite CAPSAT membuat pengumuman mengejutkan. Unit yang sama yang memainkan peran kunci dalam kudeta yang membawa Rajoelina ke tampuk kekuasaan pada 2009, kini berbalik mendukung para pengunjuk rasa.
Menurut Al Jazeera, akhir dari kekuasaan Andry Rajoelina berlangsung dengan cepat setelah kehilangan dukungan militer. Ia melarikan diri dari negara itu, sementara parlemen memilih untuk memakzulkannya dari jabatan presiden. Tak lama kemudian, militer di bawah pimpinan Kolonel Michael Randrianirina mengumumkan pengambilalihan kekuasaan untuk memimpin masa transisi.
Perjalanan politik Andry Rajoelina pun berakhir dalam sebuah siklus yang ironis. Ia naik ke kekuasaan melalui gerakan massa yang didukung unit militer elite, dan dijatuhkan oleh gerakan serupa yang didukung oleh unit yang sama belasan tahun kemudian.