Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Dari Rahim Luka Bangsa, Komnas Perempuan 27 Tahun Terus Menjaga Suara

Pameran Komnas Perempuan dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)
Pameran Komnas Perempuan dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)
Intinya sih...
  • Penyangkalan jadi pengingkaran sejarah
  • Komnas Perempuan terus menjaga api perjuangan
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Lahir dan tumbuh dari rahim perjuangan perempuan, Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kini memasuki usia ke-27.

Ketua Komnas Perempuan, Maria Ulfah Anshor, mengatakan, lembaga ini terlahir dari luka sejarah bangsa. Komnas Perempuan lahir dari peristiwa kelam Tragedi Mei 1998. Saat itu, perempuan terutama para Tionghoa mengalami kekerasan seksual di tengah carut-marut konflik sosial dan politik bangsa. Suara publik yang menuntut keadilan pun jadi bimbingan Komnas Perempuan lahir.

"Negara menjawabnya dengan membentuk Komnas Perempuan melalui Keputusan Presiden Nomor 181 Tahun 1998. Mandat itu diperkuat lagi lewat Perpres Nomor 65 Tahun 2005, dan kini diperbaharui dengan Perpres Nomor 8 Tahun 2024. Komnas Perempuan lahir bukan dari ruang kosong, tetapi dari perjuangan dan air mata, Lbahkan darah dan nyawa korban," kata Maria dalam sambutannya pada peringatan Hari lahir Komnas Perempuan, Rabu (15/10/2025).

1. Usia 27 tahun Komnas Perempuan masih menyisakan luka

Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)
Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Maria mengakui, usia 27 tahun masih menyisakan luka hingga perjuangan yang tak ada ujungnya pada kerja-kerja kemanusiaan termasuk soal kekerasan perempuan. Nyatanya, meski reformasi telah ditegakkan, kelamnya pengakuan kekerasan seksual tragedi Mei 1998 masih mendapat penyangkalan.

Penyangkalan kebenaran sejarah, dilontarkan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang dikenal sebagai aktivis pada masa itu. Dia menganggap peristiwa pemerkosaan massal 1998 adalah rumor dan tidak memiliki bukti.

"Pernyataan seperti itu bukan hanya melukai korban, tetapi juga menggerus perjuangan panjang untuk menegakkan kebenaran bahwa peristiwa kekerasan seksual Mei 98 itu nyata ada," kata Maria.

2. Penyangkalan jadi pengingkaran sejarah

Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)
Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Komnas Perempuan mengingatkan kembali soal hasil laporan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) terkait kerusuhan Mei 1998. Laporan itu mengkungkap tabir temuan adanya pelanggaran HAM, yakni peristiwa kekerasan seksual yang terdiri dari 85 kasus, termasuk 52 kasus pemerkosaan.

Temuan itu sudah diberikan langsung kepada Presiden saat itu, BJ Habibie dan menjadi dasar pengakuan resmi negara tentang fakta kekerasan seksual terhadap perempuan pada Tragedi Mei 1998.

"Hal tersebut, ditindaklanjuti Presiden dengan pembentukan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melalui Keputusan Presiden (Keppres Nomor 181 Tahun 1998)," ujar dia.

Bagi Komnas Perempuan, kata Maria, penyangkalan pada fakta kekerasan seksual Tragedi Mei 98 bukanlah sekadar perbedaan tafsir saja, penyangkalan ini jadi pengingkaran sejarah.

"Dan pengingkaran sejarah hanya akan memperpanjang impunitas yang artinya juga semakin menjauhkan para korban pada ruang pemulihan dan akses keadilan bagi mereka," kata dia.

3. Komnas Perempuan terus menjaga api perjuangan.

Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)
Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Maria mengatakan, selama lebih dari dua dekade, Komnas Perempuan bersama komunitas penyintas, pendamping, aktivis, akademisi, seniman, serta organisasi masyarakat sipil, terus menjaga api perjuangan. Mereka menjaga ingatan kolektif bangsa supaya tetap menyala supaya tidak padam.

"Peristiwa perkosaan massal pada Tragedi Mei 98 menjadi memorialisasi sejarah bangsa yang sangat penting untuk diperingati agar tidak boleh terjadi lagi di masa kini maupun masa yang akan datang hingga kapan pun. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang beradab yang menjadi cita-cita para pendahulu negeri ini sebagaimana tercantum dalam sila kedua Pancasila yang menjadi dasar negara Republik Indonesia yaitu Kemanusiaan yang adil dan beradab," kata dia.

4. Angka cerminkan perihnya realitas hidup perempuan

AJI Denpasar kampanye akhiri kekerasan perempuan. (IDN Times/Yuko Utami)
AJI Denpasar kampanye akhiri kekerasan perempuan. (IDN Times/Yuko Utami)

Maria mengatakan, kekuasaan boleh silih berganti, generasi boleh tumbuh dan berubah, tetapi luka sejarah seperti Tragedi Mei 1998 dan berbagai tragedi kemanusiaan lainnya harus menjadi pengingat abadi agar tak terulang.

Komnas Perempuan mencatat, sejak 2021 hingga 2024, sebanyak 2.776.659 kasus kekerasan terhadap perempuan dilaporkan langsung ke lembaga ini. Angka tersebut mencerminkan betapa perihnya realitas hidup perempuan di Indonesia. Dalam lima tahun terakhir, sebagian besar kekerasan terjadi di ranah privat, yaitu rumah tangga, relasi suami-istri, hingga hubungan pacaran.

Bentuk kekerasan yang paling banyak dilaporkan adalah kekerasan psikis (42 persen), disusul kekerasan seksual (25 persen) seperti pemerkosaan, pelecehan, pemaksaan aborsi, hingga kekerasan seksual berbasis siber, dan kekerasan fisik (25 persen). Tak hanya itu, terdapat pula 88 kasus kekerasan di ranah negara yang meningkat hingga 30 persen. Hal ini berkaitan dengan konflik sumber daya alam, agraria, proyek strategis nasional, intoleransi, serta perempuan yang berhadapan dengan hukum.

5. Hadirkan medium untuk merawat ingatan publik

Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)
Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Dalam momentum HUT Komnas Perempuan ke-27, Komnas Perempuan juga menggelar pameran, diskusi publik, serta menghadirkan seni sebagai medium untuk merawat ingatan publik atas peristiwa Mei 1998. Upaya serupa juga didorong di berbagai daerah, seperti Solo, Surabaya, dan Medan, dengan melibatkan pemerintah daerah setempat.

Menurut Maria, menolak penyangkalan bukan berarti menutup ruang dialog. Hal itu justru menegaskan adanya batas yang tegas antara kebenaran dan upaya pengaburan fakta sejarah dan distorsi. Kekerasan seksual pada Mei 1998, kata dia, adalah peristiwa nyata. Maria mengatakan, menyangkalnya sama dengan menghapus suara para penyintas dan mengingkari bagian kelam sejarah bangsa di tengah luka yang belum sepenuhnya pulih.

Oleh karena itu, seluruh pihak, negara, pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, media, serta komunitas budaya, kata dia, memikul tanggung jawab yang sama untuk memastikan suara korban tetap terdengar, tidak tenggelam oleh gelombang penyangkalan.

"Peringatan 27 tahun Komnas Perempuan hari ini adalah momentum strategis. Melalui pameran sejarah, talkshow bersama para tokoh, dan orasi budaya, kita dapat  memperluas advokasi, memperkuat solidaritas, dan mempertegas mandat Komnas Perempuan sebagai lembaga HAM Nasional yang lahir dari perjuangan korban," kata dia.

"Kita ingin mengatakan dengan lantang: kebenaran harus dijaga, keadilan harus diperjuangkan, dan pemulihan bagi korban harus terus menjadi prioritas," ujar Maria

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Deti Mega Purnamasari
EditorDeti Mega Purnamasari
Follow Us

Latest in News

See More

Amar Zoni Dipindah ke Nusakambangan Usai Edarkan Narkoba di Rutan

16 Okt 2025, 10:25 WIBNews