Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mencari Kepingan Sejarah Tragedi Mei 1998

Menbud Fadli Zon
Talkshow sejarah dan fakta tragedi Mei 1998, tantangan penyangkalan dan kelembagaan Komnas Perempuan dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)
Intinya sih...
  • Kekerasan seksual Mei 1998 sudah sampai ke PBB dan dibahas dalam forum internasional, dengan laporan rinci yang menjadi rujukan penting bagi Komnas Perempuan.
  • Minimnya riset akademik membuat tragedi Mei 1998 terus diperdebatkan tanpa arah. Ia menekankan pentingnya membuka ruang aman bagi saksi untuk berbicara tanpa intimidasi.
  • Penulisan ulang sejarah Mei 1998 harus berpihak pada korban dan keadilan transisi, bukan menjadi alat manipulasi yang mengaburkan kebenaran dan menghapus memori kekerasan perempuan.
  • Tragedi Mei 1998 bagian penting dari sejarah perempuan Indonesia. Manipulasi atas peristiwa itu adalah kejahatan kemanusiaan dan ancaman bagi pengetahuan sejarah bangsa.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN Times - Tim Relawan Kemanusiaan Mei 1998, Ita Fatia Nadia, mengatakan kasus kekerasan seksual massal terhadap perempuan Tionghoa pada peristiwa Mei 1998, bukan hanya menjadi perhatian nasional, tetapi sudah sampai ke tingkat global, termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Ita menyebut laporan tentang kekerasan seksual tersebut pernah dibawa langsung ke Komisi Tinggi PBB untuk Kekerasan Terhadap Perempuan. Dia menemui pelapor khusus Kekerasan Perempuan PBB, Radhika Coomaraswary.

“Bahwa Mei 98 sudah sampai ke PBB, jadi bukan hanya di nasional. Waktu itu Special Rapporteur-nya adalah Radhika Coomaraswamy. Radhika kemudian datang ke Indonesia Oktober, dan menyatakan terjadi perkosaan massal,” ujar Ita dalam talkshow peringatan 27 tahun Komnas Perempuan, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (15/10/2025).

Sebagaimana diketahui, pernyataan Menteri Kebudayaan, Fadli Zon, telah menuai kemarahan publik, terutama para korban tragedi Mei 1998. Politikus Partai Gerindra itu melontarkan pernyataan yang menyangkal adanya perkosaan massal saat tragedi itu.

Dalam wawancara Real Talk by IDN Times pada 10 Juni 2025, Fadli Zon meragukan kebenaran atau cenderung menyangkal terjadinya perkosaan massal pada Mei 1998. Kini, ucapan Fadli Zon menuai kontroversial.

1. Jadi rujukan penting bagi Komnas Perempuan

Menteri Kebudayaan, Fadli Zon
Menteri Kebudayaan, Fadli Zon setelah menghadiri diskusi publik draf penulisan buku sejarah Indonesia

Menurut Ita, persoalan Mei 1998 juga sempat menjadi pembahasan dalam sejumlah forum internasional, termasuk di Jenewa.

“Jadi perkosaan massal tidak hanya dibicarakan di tingkat nasional, tapi juga sampai ke PBB. Nanti Maret, Tati Krisnawati pergi ke PBB dan dia menyaksikan bagaimana itu diperdebatkan. Kemudian Juni saya pergi ke Jenewa untuk melihat perdebatan tentang Mei 98,” katanya.

Ita menjelaskan, laporan-laporan resmi PBB terkait peristiwa tersebut memuat temuan rinci, dan menjadi salah satu rujukan penting bagi Komnas Perempuan.

“Kalau anda melihat dan membuka kembali laporan-laporan khusus PBB, laporannya rinci, jelas, dan nanti diterjemahkan oleh Komnas Perempuan menjadi seri kunci dari Komnas Perempuan,” katanya.

2. Saksi Tragedi Mei 1998 perlu ruang bicara tanpa intimidasi

Tragedi Mei 1998
Talkshow sejarah dan fakta tragedi Mei 1998, tantangan penyangkalan dan kelembagaan Komnas Perempuan dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Pada kesempatan sama, aktivis dan peneliti Institut Kajian Krisis dan Strategi Pembangunan Alternatif (Inkrispena), Ruth Indiah Rahayu, menilai penelitian akademik menjadi kunci untuk membuka kembali tabir kekerasan seksual terhadap perempuan Tionghoa dalam Tragedi Mei 1998.

Ruth menegaskan, hingga kini belum ada riset ilmiah baru yang menambah data, selain yang pernah dikumpulkan untuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan Komnas Perempuan. Dia mengkritik minimnya pendekatan ilmiah terhadap tragedi Mei 1998.

Tanpa riset akademik, menurut Ruth, perdebatan publik hanya akan berputar pada pertanyaan soal ada atau tidak ada korban. Padahal, kata dia, yang jauh lebih penting adalah membuka ruang agar para saksi bisa berbicara tanpa intimidasi.

"Bukan ada atau tidak ada. Tetapi memungkinkan enggak kalian yang di ranah elitr ini membuka, bukan perdebatan, membuka ruang-ruang agar semua orang enggak harus korban, tapi saksi mampu berbicara tanpa intimidasi," kata dia.

Ruth juga menyoroti absennya keterlibatan peneliti dan budayawan Tionghoa dalam menggali trauma kolektif komunitas.

3. Penulisan ulang sejarah Mei 1998 berpotensi manipulasi kebenaran

Tragedi Mei 1998
Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (10/15/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sementara Komisioner Komnas Perempuan, Yuni Asriyanti, menilai polemik penulisan ulang sejarah Tragedi Mei 1998 harus disikapi dengan kritis. Dia mengingatkan, proyek ini tidak bisa dilepaskan dari konteks keadilan transisi, yang menuntut pengungkapan kebenaran dan penghormatan terhadap korban.

Menurut Yuni, dalam kerangka keadilan transisi, ada empat pilar utama: hak atas kebenaran, hak atas keadilan, reparasi, dan jaminan ketidakberulangan. Ia menyebut, penulisan sejarah seharusnya menjadi alat untuk memperkuat hak atas kebenaran, bukan justru mengaburkan.

“Penulisan sejarah menjadi satu komponen yang sangat penting yang semestinya bisa digunakan untuk menjadi tools yang sangat strategis, untuk pengungkapan kebenaran. Tapi kita tahu pada saat yang sama dengan adanya kontroversi, dengan adanya proyek penulisan sejarah ini, dia juga punya potensi yang mungkin lebih besar untuk disalahgunakan atau digunakan untuk memanipulasi sejarah itu sendiri," kata dia.

Yuni mengatakan, Komnas Perempuan secara konsisten menjaga upaya perawatan kebenaran sejarah melalui peringatan Mei 1998, dan kolaborasi dengan berbagai pihak, termasuk guru sejarah. Dia menyebut, momentum ini penting untuk memastikan sejarah kekerasan terhadap perempuan tidak ditulis ulang secara sepihak, melainkan menjadi bagian dari proses keadilan yang berpihak pada korban.

4. Manipulasi sejarah perkosaan Mei 1998 merupakan kejahatan kemanusiaan

Tragedi Mei 98
Pameran dalam agenda 27 Tahun Komnas Perempuan, di Kantor Komnas Perempuan, Jakarta, Rabu (10/15/2025) (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sementara, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Sulistyowati Irianto, menilai peristiwa kekerasan seksual dalam Tragedi Mei 1998 harus dibaca sebagai bagian dari sejarah perempuan Indonesia. Dia menegaskan pentingnya mempertahankan memori kolektif atas tragedi tersebut, agar tidak dimanipulasi atau dihapus dari sejarah bangsa.

Sulistyowati mengatakan, sejarah perempuan memiliki peran penting dalam memahami bagaimana kekuasaan, hukum, dan politik identitas beroperasi terhadap kelompok rentan, khususnya perempuan dari etnis minoritas. Ia menilai, penelitian dan dokumentasi sejarah yang berperspektif feminis menjadi kunci dalam membangun kesadaran dan melawan bias patriarki dalam hukum maupun narasi publik.

“Perkosaan Mei 1998 itu harus dibaca sebagai bagian dari peristiwa sejarah perempuan Indonesia. Jangan pernah lupakan sejarah perempuan, terlebih itu kekerasan perempuan. Dan kalau kita memanipulasi sejarah tentang perkosaan massal Mei 1998, itu adalah suatu kejahatan terhadap kemanusiaan tersendiri," ujar dia.

"Jadi kita memang harus memiliki pengetahuan sejarah secara lengkap, karena kalau kepala kita kosong, tidak ada pengetahuan sejarah, kita tidak bisa membangun bangsa ini, karena kita tidak tahu apa yang pernah terjadi, apa yang buruk dan apa yang bisa dipertahankan untuk selanjutnya," imbuh Sulistyowati.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us

Latest in News

See More

Amar Zoni Dipindah ke Nusakambangan Usai Edarkan Narkoba di Rutan

16 Okt 2025, 10:25 WIBNews