Iran Was-Was Kemenangan Trump di Pilpres AS Akan Bawa Masalah Besar

Jakarta, IDN Times - Iran dan sekutunya was-was dengan kemungkinan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih. Iran menilai hal ini dapat membawa dampak serius bagi stabilitas kawasan dan kelangsungan pemerintahan mereka.
Dilansir Reuters pada Sabtu (2/11/2024), kekhawatiran utama Iran adalah Trump memberikan keleluasaan kepada Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, untuk menyerang fasilitas nuklir Iran. Selain itu, Teheran juga mengantisipasi kemungkinan operasi pembunuhan AS dan penerapan kembali sanksi yang lebih keras terhadap industri minyak mereka.
Para pejabat Iran dan sekutu-sekutunya di Lebanon, Irak, dan Yeman memandang kemenangan Trump akan membawa lebih banyak masalah. Mereka khawatir Trump akan menekan Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, untuk menerima kesepakatan nuklir dengan persyaratan yang ditetapkan AS dan Israel.
1. Rekam jejak kebijakan Trump terhadap Iran
Catatan sejarah menunjukkan Trump memiliki kebijakan yang sangat keras terhadap Iran. Ketika menjabat sebagai presiden pada 2017-2021, Trump secara sepihak menarik AS dari kesepakatan nuklir Iran tahun 2015.
Trump juga memerintahkan pembunuhan Qassem Soleimani, tangan kanan Pemimpin Tertinggi Iran dan otak di balik serangan terhadap kepentingan AS. Sanksi pemerintahan Trump sebelumnya juga telah menyebabkan kesulitan ekonomi ekstrem di Iran. Sanksi ini berhasil memperburuk ketidakpuasan publik di Republik Islam tersebut.
"Ini akan menjadi mimpi buruk. Dia (Trump) akan meningkatkan tekanan terhadap Iran untuk menyenangkan Israel. Dia akan memastikan sanksi minyak ditegakkan sepenuhnya. Jika demikian, pemerintah akan lumpuh secara ekonomi," ujar seorang pejabat Iran kepada Reuters.
Dalam pidato kampanyenya pada Oktober lalu, Trump menyatakan tidak ingin berperang dengan Iran. Namun, dia juga mendukung Israel untuk membalas serangan rudal Iran pada 1 Oktober 2024.
2. Posisi Iran di kawasan dinilai semakin melemah
Para analis berpendapat baik di bawah kepemimpinan Kamala Harris maupun Trump, Iran kini kurang memiliki pengaruh dibanding sebelumnya. Hal ini disebabkan serangan Israel selama setahun terakhir yang dinilai melemahkan sekutu-sekutu Iran.
"Teheran tidak lagi dapat memamerkan pengaruhnya melalui proksi bersenjatanya," ujar seorang pejabat keamanan Arab senior.
Meski demikian, Iran telah meningkatkan pengayaan uraniumnya hingga 60 persen dengan sentrifugal IR-6 canggih. Angka ini jauh dari batas 3,67 persen saat akhir masa pemerintahan Trump.
Tantangan lain bagi Iran adalah pakta pertahanan AS-Saudi yang terkait normalisasi hubungan Riyadh dengan Tel Aviv. Aliansi ini, yang kini dalam tahap negosiasi akhir, berisiko menggeser keseimbangan kekuatan regional. Pakta ini dapat menciptakan front yang lebih bersatu melawan Iran.
3. Perkembangan nuklir Iran akan jadi pertimbangan AS dan Israel

Seorang penasihat pemerintah Arab mencatat, meski Trump memiliki retorika keras, dia akan tetap memilih menjalin kesepakatan dengan Iran. Hal ini mengingat program pengayaan uranium Iran yang semakin maju.
"Trump mungkin akan membuat kesepakatan nuklir baru yang lebih komprehensif untuk menggantikan perjanjian 2015 yang dia robek," ujar penasihat tersebut.
Harris dalam kampanyenya juga menyebut Iran sebagai kekuatan berbahaya dan mengancam stabilitas di Timur Tengah. Dia menyatakan, AS berkomitmen pada keamanan Israel dan akan bekerja dengan sekutu untuk mengganggu perilaku agresif Iran.
Mantan Duta Besar Iran untuk Inggris, Jalal Sadatian, menyatakan bahwa baik Trump maupun Harris tidak mungkin mencari perang dengan Iran. Dilansir Iran International, menurut Sadatin, meski Israel terus mendorong konflik AS-Iran, AS sejauh ini menolak terlibat dalam perang semacam itu.
Para pengamat memperingatkan, semakin Iran mendekati pengembangan bom atom, semakin mereka memancing Israel untuk menyerang.
"Jika Trump kembali berkuasa, dia akan mendukung rencana Israel untuk menyerang fasilitas nuklir Iran," ujar seorang pejabat Barat.