Jepang Alami Penurunan Populasi Tertajam sejak 1968

- Penuaan penduduk Jepang picu krisis sosial dan ekonomi.
- Populasi terpusat di Tokyo, daerah lain terus menyusut.
- Jumlah warga asing di Jepang tembus rekor baru.
Jakarta, IDN Times – Jepang mencatat penurunan populasi terbesar sejak 1968, dengan jumlah kematian hampir satu juta lebih banyak dari kelahiran sepanjang 2024. Data terbaru Kementerian Urusan Dalam Negeri dan Komunikasi (MIC) yang diterbitkan pada Rabu (6/8/2025), mencatat populasi warga negara Jepang turun sebanyak 908.574 menjadi 120,65 juta per 1 Januari 2025. Ini menjadi tahun ke-16 berturut-turut populasi Jepang menurun, dengan hanya 686.061 kelahiran dan hampir 1,6 juta kematian.
Dilansir dari BBC, Perdana Menteri Jepang, Shigeru Ishiba, menyebut krisis demografi ini sebagai darurat senyap dan menjanjikan kebijakan ramah keluarga. Ia menawarkan program seperti penitipan anak gratis dan jam kerja fleksibel bagi orang tua. Namun, para ahli menilai tingkat kesuburan rendah yang sudah berlangsung sejak 1970-an akan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk pulih.
1. Penuaan penduduk Jepang picu krisis sosial dan ekonomi

Populasi total Jepang, termasuk warga asing, turun 0,44 persen dibanding 2023 menjadi sekitar 124,3 juta orang di awal 2025. Hampir 30 persen dari jumlah itu merupakan warga lanjut usia berusia 65 tahun ke atas, tertinggi kedua di dunia setelah Monako. Sementara itu, populasi usia produktif (15–64 tahun) kini tinggal sekitar 60 persen, dan anak-anak hanya 11,28 persen.
Penurunan ini memperparah tekanan terhadap sistem pensiun dan layanan kesehatan negara. Banyak kota dan desa mulai kosong, dengan hampir 4 juta rumah terbengkalai dalam dua dekade terakhir. Pemerintah telah mencoba mendorong angka kelahiran lewat subsidi perumahan dan cuti orang tua berbayar, tapi hasilnya belum signifikan.
Tingginya biaya hidup, gaji stagnan, dan budaya kerja yang kaku membuat banyak anak muda enggan berkeluarga. Perempuan menghadapi tekanan dari peran gender tradisional yang membuat mereka minim dukungan sebagai pengasuh utama. Masalah ini membuat Jepang sulit keluar dari tren demografi negatif yang berkepanjangan.
2. Populasi terpusat di Tokyo, daerah lain terus menyusut

Dilansir dari Japan Times, Tokyo mencatat peningkatan populasi sebesar 90.632 jiwa dalam setahun, menjadikannya prefektur terpadat dengan sekitar 14 juta penduduk. Posisi berikutnya ditempati Prefektur Kanagawa dengan 9,2 juta jiwa dan Osaka dengan 8,77 juta. Saat ini, sekitar 11 persen penduduk Jepang tinggal di ibu kota.
Sebaliknya, 45 prefektur di luar Tokyo dan Chiba mengalami penurunan jumlah penduduk. Prefektur Akita tercatat paling drastis dengan penyusutan 1,84 persen menjadi 907.593 jiwa, diikuti Aomori (1,64 persen) dan Kochi (1,59 persen). Penurunan ini mencerminkan pergerakan besar-besaran penduduk dari daerah ke pusat kota.
Tottori menjadi prefektur dengan jumlah penduduk paling sedikit, yakni 534.003 orang, disusul Shimane (642.590) dan Kochi (664.863). Tren ini menunjukkan konsentrasi ekstrem penduduk di Tokyo, sementara wilayah pedesaan terus ditinggalkan.
3. Jumlah warga asing di Jepang tembus rekor baru

Jumlah penduduk asing di Jepang mencapai rekor tertinggi 3,68 juta jiwa per 1 Januari 2025. Angka ini mewakili 2,96 persen dari populasi total, tertinggi sejak pemerintah mulai mencatat data ini pada 2013. Sepanjang 2024, sebanyak 661.809 warga negara asing pindah ke Jepang, dan peningkatan alami mencapai 13.665 jiwa.
Pertumbuhan tahunan penduduk asing tercatat 10,65 persen, dengan lonjakan besar di Hokkaido (19,57 persen), Miyazaki (18,28 persen), dan Saga (16,39 persen). Imigrasi menjadi elemen penting dalam menghadapi krisis tenaga kerja akibat penuaan penduduk.
Pemerintah Jepang telah meluncurkan visa digital nomad dan program peningkatan keterampilan untuk tenaga kerja asing. Namun, isu ini tetap sensitif secara politik. Disisi lain, adanya partai antiimigrasi baru yang menyalahkan warga asing atas masalah ekonomi, meski faktanya mereka sangat dibutuhkan untuk menjaga roda ekonomi tetap berputar, dilansir dari DW.