Keanggotaan BRICS Dinilai Tak Banyak Manfaat, Indonesia Harus Gimana?

- Keanggotaan Indonesia di BRICS masih dipertanyakan, dengan mantan Menlu RI Hassan Wirajudha menyatakan bahwa keanggotaan tersebut tidak sepenuhnya menguntungkan bagi Indonesia.
- Hassan Wirajudha menilai bahwa BRICS tidak memberikan bantuan kepada anggotanya yang sedang terpuruk secara ekonomi, sementara negara lain seperti China dan India terus membaik tanpa ketergantungan pada BRICS.
- Meskipun demikian, Hassan Wirajudha menilai bahwa keanggotaan Indonesia di OECD lebih bermanfaat daripada di BRICS karena OECD masih menghargai dan melihat prospek ekonomi Indonesia ke depannya.
Jakarta, IDN Times - Keanggotaan Indonesia di BRICS masih menjadi perdebatan hingga kini. Perlukah? Apa keuntungannya? Hal ini juga yang dipertanyakan mantan Menteri Luar Negeri RI Hassan Wirajudha.
Dalam program Real Talk with Uni Lubis by IDN Times, Hassan blak-blakan mengungkapkan penilaiannya terhadap politik luar negeri saat ini, termasuk masuknya Indonesia sebagai anggota BRICS. BRICS merupakan kelompok negara berkembang yang memiliki peran besar dalam perekonomian global, yang anggota awalnya adalah Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Menurut Hassan, keanggotaan di BRICS tidak sepenuhnya menguntungkan bagi Indonesia. Ia melihat beberapa hal yang kurang, termasuk kemunduran dari negara anggota ekonomi.
"Saya lihat, Brasil yang sudah menjadi anggota BRICS sejak awal, saat ini ekonominya jatuh pada masa Presiden Luiz Inacio Lula da Silva. Terakhir juga dengan Afrika Selatan, anggota BRICS yang bukan hanya ekonominya yang jatuh, tapi juga politiknya," terang Hassan.
Ia menambahkan, sebaliknya China dan India ekonominya terus membaik. "Tapi bukan karena BRICS," tegasnya.
1. BRICS tidak memberikan bantuan ekonomi

Hassan melihat, walaupun negara anggotanya sedang terpuruk secara ekonomi, China dan India hanya diam saja. BRICS, ucap Hassan, tidak memberikan bantuan.
Padahal, kata Hassan, Indonesia memiliki MIKTA. Seharusnya, jika Indonesia mau, MIKTA lebih memiliki prospek karena semua negara di dalamnya merupakan anggota G20. "Lebih mapan dari banyak negara lainnya," ujar dia.
Sayangnya, Hassan mengungkapkan, sepengalamannya ia tidak pernah yakin dengan kerja sama transregional. MIKTA pun tidak berjalan sebagaimana visinya.
"Jadi saya tidak tahu persis pertimbangan kenapa kita segera masuk BRICS," sambungnya.
Ia kembali melihat beberapa negara baru yang juga jadi anggota, seperti Uni Emirat Arab, Mesir, dan Ethiopia. Menurutnya, Uni Emirat Arab sudah terkenal sebagai negara maju.
Namun, Mesir ekonomi dan politiknya mengalami kemunduran. Terlebih, kata dia, Ethiopia, yang dilanda konflik dan bahkan sebagian warganya kelaparan.
2. Kompetisi kepemimpinan BRICS dan manfaat OECD

Menurut Hassan, ia juga tidak paham dengan kegiatan BRICS. Yang ia tahu, ada kompetisi kepemimpinan di sana.
"Sama dengan Belt and Road Initiative yang aktif berhubungan dengan dunia yang mereka sebut Global South, begitupun dengan India dan Rusia. Ketiganya berkompetisi, memperebutkan pengaruh di wilayah ini. Terutama dalam konteks persaingan global mereka dengan AS," sambung mantan Menlu era dua presiden ini.
Meski demikian, menurut Hassan, ketiga negara itu bersaing dengan AS secara individual. Bukan sebagai kolektif bekerja sama dalam konteks anggota BRICS.
Hal tersebut dinilai cukup berbeda dengan OECD atau Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. Forum internasional yang berfokus pada penyusunan kebijakan guna meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan sosial di seluruh dunia ini, menurut Hassan, masih menghargai Indonesia ke depannya.
Ia menceritakan, Sekretaris Jenderal OECD mendatanginya saat ke Indonesia. Hassan menanyakan, kenapa OECD ingin Indonesia masuk padahal saat itu pendapatan per kapita Indonesia masih mengapung.
"Dia bilang, kita tahu tapi kita menghitung prospek ekonomi Indonesia ke depan. Dalam arti itu positif karena mereka melihat kita, menghargai kita, dan bagaimana kita ke depannya," kata Hassan.
Menurutnya, Indonesia perlu belajar dari keanggotaan OECD sebagai proses untuk lebih baik. Ia mencontohkan adanya kovensi OECD mengenai anti-korupsi. "Jadi sebetulnya, dengan kita punya status tertentu, misalnya jadi observer dulu, kita bisa memanfaatkan dalam pengembangan aturan dan norma untuk berkaca dari pencapaian mereka (OECD)," terang Hassan.
Sehingga, menurutnya lebih bermanfaat OECD dibanding BRICS.
3. Indonesia harus menegaskan peran di BRICS

Meski demikian, kata Hassan, ia melihat tidak masalah jika Indonesia menjadi bagian dari OECD namun masih peduli pada hubungan dengan negara berkembang. Justru, ucapnya, Indonesia adalah pelopor.
Namun, jika kembali ke BRICS, Indonesia tidak memiliki status apapun. "Kita sudah terlanjur masuk BRICS, kita harus menunjukkan negara ini bisa berperan dan harus berperan," ucapnya.
Pasalnya, Indonesia sudah memiliki banyak peran di Asia-Afrika, juga di PBB. Indonesia dinilai bukan bangsa egois yang hanya memikirkan kemerdekaan sendiri di Asia-Afrika. "Itulah perjuangan kita, salah satunya Asia Afrika sebagai tonggak," tegas Hassan.
Karena itu, Hassan kembali menegaskan, pemerintahan Presiden Prabowo Subianto harus menunjukkan peran Indonesia di BRICS.
"Karena sudah bergabung, tunjukkan peran kita. We are leading dari sejak merdeka dan terbentuk Konferensi Asia Afrika. Kita menjadi pemimpin," pungkas Hassan.