Mali, Burkina Faso, dan Niger Sepakat Keluar dari ICC

- Tiga negara Afrika Barat sepakat keluar dari ICC
- Mengikuti jejak beberapa negara Afrika lainnya yang menuding ICC melakukan standar ganda
- Prancis tangguhkan kerja sama anti-teroris dengan Mali sebagai respons atas penangkapan staf Kedutaan Besar Prancis di Bamako
Jakarta, IDN Times - Negara pimpinan junta militer di Afrika Barat, Mali, Burkina Faso, dan Niger, pada Senin (22/9/2025), menyepakati untuk keluar dari anggota Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Ketiganya menuding ICC tidak netral dan menjadi alat neo-kolonialisme.
“ICC sudah terbukti tidak mampu dalam menangani dan mempersekusi berbagai kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, tindak kriminalitas terhadap genosida, dan kriminalitas agresi militer,” ungkapnya.
Pada awal 2025, Mali, Burkina Faso, dan Niger sudah menyatakan keluar dari Economic Community of West African States (ECOWAS). Keputusan dari negara anggota Alliance of Sahel States (AES) itu menimbulkan perpecahan di kawasan Afrika Barat.
1. Mengikuti jejak beberapa negara Afrika lainnya

Ketiga negara Afrika Barat tersebut menuding bawah ICC melakukan standar ganda. Mereka menyebut, ICC hanya berfokus pada kasus-kasus kriminalitas dan kejahatan yang ada di Afrika, tapi tidak menindak kejahatan yang dilakukan negara-negara kuat dan besar.
Dilansir Business Insider Africa, sudah ada beberapa negara Afrika yang memutuskan keluar dari ICC. Pada 2016, Burundi resmi keluar dari ICC dan diikuti oleh pernyataan Afrika Selatan (Afsel) dan Gambia. Namun, Afsel dan Gambia akhirnya tidak jadi keluar.
Sementara itu, keluar dari keanggotaan ICC tidak bisa dilakukan dengan cepat. Penarikan diri dari ICC membutuhkan waktu setidaknya 1 tahun setelah negara tersebut memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB.
2. Turunkan pengawasan terhadap tindak kekerasan di Afrika Barat
Organisasi sipil di Afrika memperingatkan bahwa keluarya Mali, Burkina Faso, dan Niger dari keanggotaan ICC akan menurunkan pengawasan terhadap perlindungan warga sipil. Sebab, ketiga negara tersebut terdampak oleh kekerasan yang didorong oleh kelompok jihadis.
Tentara Burkina Faso, Mali, dan Niger dituding terlibat kasus kekerasan terhadap warga sipil saat melawan kelompok militan. Pengumuman ini dilakukan bersamaan 2 tahun penetapan Presiden Rusia, Vladimir Putin sebagai buronan ICC. Langkah ini menunjukkan bahwa ketiganya semakin mendekat ke Rusia.
Di sisi lain, ketiga negara pimpinan junta militer itu berencana untuk mendirikan mekanisme hukumnya sendiri. Pengadilan itu diklaim akan menjamin perdamaian dan keadilan di dalam perbatasan ketiga negara.
3. Prancis tangguhkan kerja sama anti-teroris dengan Mali

Prancis memutuskan untuk menangguhkan kerja sama anti-teroris dengan Mali. Keputusan ini sebagai respons atas penangkapan staf Kedutaan Besar Prancis di Bamako sebulan lalu.
“Tindakan Mali jelas sebuah pelanggaran terhadap salah satu aturan dasar dari hukum internasional. Diplomat tersebut ditugaskan di Bamako untuk melawan teroris, tapi malah ditangkap secara paksa. Respons lanjutan akan diberlakukan jika dia tidak dibebaskan secepatnya,” ujarnya, dikutip dari RFI.
Alih-alih menenangkan situasi, militer Mali justru menetapkan persona non-grata kepada lima diplomat Prancis di negaranya. Kelima diplomat tersebut dikabarkan sudah meninggalkan Mali sejak Minggu (21/9/2025).