Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mantan Diktator Guinea Divonis 20 Tahun Penjara atas Pembantaian 

ilustrasi bendera Guinea. (unsplash.com/engin akyurt)
Intinya sih...
  • Mantan diktator Moussa Dadis Camara dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas pembantaian di stadion Guinea tahun 2009.
  • Delapan pejabat militer lainnya juga divonis bersalah, termasuk mantan kepala polisi dan kepala pengawal presiden.
  • Persidangan ini menjadi tonggak penting dalam upaya mewujudkan keadilan bagi korban dan keluarga mereka setelah lebih dari satu dekade menunggu.

Jakarta, IDN Times - Pengadilan Guinea menjatuhkan vonis bersalah kepada mantan diktator Moussa Dadis Camara atas kejahatan kemanusiaan terkait pembantaian di sebuah stadion pada 2009. Camara dijatuhi hukuman 20 tahun penjara pada Rabu (31/7/2024), atas perannya dalam tragedi berdarah tersebut.

Pembantaian terjadi pada 28 September 2009 di "Stadion 28 September", Conakry, saat demonstran memprotes rencana Camara untuk mencalonkan diri sebagai presiden. Setidaknya 157 orang tewas dan puluhan wanita diperkosa dalam insiden tersebut.

Pengadilan Kriminal Guinea menggolongkan kembali dakwaan awal yang mencakup pembunuhan, pemerkosaan, dan penculikan sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan". Keputusan ini menjadi tonggak penting dalam upaya mewujudkan keadilan bagi para korban dan keluarga mereka yang telah menunggu selama lebih dari satu dekade.

1. Tujuh pejabat lainnya dinyatakan bersalah

Melansir dari The Guardian, selain Camara, pengadilan juga menjatuhkan vonis bersalah kepada tujuh pejabat militer tinggi lainnya atas peran mereka dalam pembantaian tersebut.

Mantan kepala polisi Moussa Tiegboro Camara juga dijatuhi hukuman 20 tahun penjara.  Sementara, Aboubacar "Toumba" Diakité, mantan kepala pengawal presiden Camara, dijatuhi hukuman 10 tahun penjara.

Claude Pivi, salah satu terdakwa yang melarikan diri, dijatuhi hukuman penjara seumur hidup secara in absentia.

Meski demikian, terdapat empat terdakwa lainnya dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan. Keputusan ini menimbulkan reaksi beragam di kalangan keluarga korban dan aktivis hak asasi manusia.

2. Latar belakang pembantaian

Pembantaian terjadi ketika ribuan demonstran berkumpul di stadion untuk memprotes rencana Camara mencalonkan diri sebagai presiden dalam pemilihan umum yang akan digelar tahun berikutnya. Tentara membuka tembakan dan memperkosa puluhan wanita saat demonstrasi berlangsung.

Junta militer yang berkuasa saat itu mengklaim adanya elemen "tidak terkendali" dari angkatan bersenjata yang melakukan pembunuhan dan pemerkosaan. Namun, laporan Human Rights Watch menyebutkan bahwa pejabat tinggi Camara berada di stadion dan tidak melakukan apa pun untuk menghentikan pembantaian.

"Persidangan ini simbolis, menandai era baru yang tanpa diragukan lagi memutus sistem impunitas," ujar Halimatou Camara, pengacara yang mewakili salah satu korban selamat, dilansir dari The Guardian.

Lebih dari 100 korban selamat dan keluarga korban bersaksi dalam persidangan yang dimulai pada November 2022.

3. Tanggapan keluarga korban atas putusan pengadilan

Vonis terhadap Camara dan para pejabat tinggi lainnya menuai beragam tanggapan. Beberapa keluarga korban menganggap hukuman tidak sebanding dengan kejahatan yang dilakukan.

"Hukuman tidak sesuai dengan kejahatan. Saudari kami diperkosa, saudara kami dibantai, mayat dilaporkan hilang," kata Safiatou Baldé, 25, kerabat salah satu korban.

Meskipun demikian, persidangan ini dianggap sebagai momen penting dalam sejarah Guinea yang memiliki riwayat panjang otoritarianisme. Human Rights Watch menyebut vonis ini sebagai pesan jelas bahwa keadilan bisa ditegakkan bagi pelaku kejahatan serius.

Camara sendiri sempat melarikan diri ke pengasingan setelah selamat dari upaya pembunuhan beberapa bulan pasca pembantaian. Ia kembali ke Guinea lebih dari satu dekade kemudian untuk menghadapi persidangan. 

"Jika saya di sini di hadapan Anda, itu karena patriotisme saya, jika tidak saya tidak akan setuju untuk datang," ujarnya pada hari pertama persidangan, seraya mengklaim bahwa dia sedang tidur saat pembantaian terjadi.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us