NASA Percepat Rencana Bangun Reaktor Nuklir di Bulan

- NASA mempercepat rencana pembangunan reaktor nuklir di Bulan untuk membangun pangkalan manusia permanen di sana.
- Reaktor nuklir NASA ditargetkan menghasilkan minimal 100 kilowatt energi, namun NASA menghadapi tantangan keamanan dan pemangkasan anggaran.
- Pembangunan fasilitas seperti reaktor nuklir dapat memicu ketegangan global di Bulan, terutama berkaitan dengan Artemis Accords.
Jakarta, IDN Times – Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) mempercepat rencana pembangunan reaktor nuklir di Bulan yang ditargetkan rampung pada 2030. Langkah ini merupakan bagian dari ambisi Amerika Serikat (AS) untuk membangun pangkalan manusia permanen di permukaan bulan. Upaya ini semakin mendesak karena meningkatnya persaingan dengan China dalam proyek luar angkasa.
Penjabat kepala NASA yang juga Menteri Perhubungan AS, Sean Duffy, menyoroti pentingnya proyek ini dalam perlombaan ke Bulan.
“Kita sedang dalam perlombaan ke bulan, dalam perlombaan dengan China ke bulan. Dan untuk memiliki pangkalan di bulan, kita membutuhkan energi. Dan di beberapa lokasi kunci di bulan, kita akan mendapatkan tenaga surya, tetapi teknologi fisi ini sangat penting, dan oleh karena itu kita telah menghabiskan ratusan juta dolar untuk mempelajarinya,” ujar Duffy pada Selasa (5/8/2025), dikutip dari The Hill.
1. Teknologi nuklir dinilai layak dan sangat dibutuhkan
Reaktor nuklir yang dirancang NASA ditargetkan menghasilkan minimal 100 kilowatt energi. Duffy menjelaskan bahwa daya sebesar ini setara dengan kebutuhan rumah seluas 2 ribu kaki persegi dalam waktu tiga setengah hari. Ia juga menegaskan bahwa reaktor tersebut bukanlah teknologi besar dan tidak akan diluncurkan dalam kondisi aktif.
Ahli eksplorasi dan aplikasi luar angkasa dari University of Surrey, Dr. Sungwoo Lim, mengatakan bahwa tenaga nuklir sangat diperlukan untuk membangun habitat di Bulan.
“Membangun bahkan habitat bulan sederhana untuk menampung kru kecil akan membutuhkan pembangkit listrik skala megawatt. Panel surya dan baterai saja tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut secara andal,” ujarnya, dikutip dari BBC.
Profesor ilmu bumi dan planet di Lancaster University, Lionel Wilson, menyebut pembangunan reaktor pada 2030 sangat mungkin dilakukan secara teknis. Ia menilai hal ini bergantung pada pendanaan dan jumlah peluncuran program Artemis yang mencukupi. NASA sebelumnya telah menggelontorkan kontrak senilai 5 juta dolar AS (setara Rp81 miliar)pada 2022 untuk pengembangan sistem daya fisi 40 kilowatt.
2. NASA hadapi tantangan keamanan dan pemangkasan anggaran

Beberapa pakar memperingatkan risiko keselamatan terkait peluncuran material radioaktif ke luar angkasa. Dr. Simeon Barber dari Open University mengatakan bahwa proses ini memerlukan lisensi khusus dan bukan hal yang tidak bisa diatasi.
“Meluncurkan material radioaktif melalui atmosfer Bumi membawa kekhawatiran keselamatan. Anda harus memiliki lisensi khusus untuk melakukan itu, tetapi itu bukanlah hal yang tidak dapat diatasi,” ucapnya.
Namun di sisi lain, NASA kini menghadapi pemangkasan anggaran sebesar 24 persen untuk tahun 2026. Pemotongan ini berdampak pada sejumlah proyek penting, termasuk misi Mars Sample Return yang bertujuan membawa sampel dari Mars ke Bumi. Misi Artemis 3 yang ditargetkan mendaratkan manusia di Bulan pada 2027 juga terdampak, baik dari sisi waktu maupun pendanaan.
Dr. Barber menilai bahwa ketidakseimbangan antara pembangunan reaktor dan kemampuan pengiriman kru bisa menjadi hambatan.
“Jika Anda memiliki tenaga nuklir untuk pangkalan, tetapi tidak memiliki cara untuk membawa orang dan peralatan ke sana, maka itu tidak banyak berguna,” katanya.
3. Reaktor NASA picu ketegangan global di bulan

Pernyataan Duffy yang menyinggung potensi zona larangan oleh China dan Rusia berkaitan dengan Artemis Accords. Perjanjian ini ditandatangani tujuh negara pada 2020 untuk mengatur kerja sama eksplorasi Bulan, termasuk zona aman di sekitar operasi dan peralatan. Ketentuan ini memungkinkan negara penandatangan untuk menetapkan area terbatas di sekitar instalasi mereka.
Dr. Barber menjelaskan bahwa pembangunan fasilitas seperti reaktor nuklir dapat dijadikan dasar untuk mengklaim zona aman.
“Jika Anda membangun reaktor nuklir atau pangkalan apa pun di bulan, Anda kemudian bisa mengklaim bahwa Anda memiliki zona aman di sekitarnya, karena Anda memiliki peralatan di sana,” katanya.
Hal ini bisa menimbulkan interpretasi bahwa negara tersebut memiliki wilayah tertentu di Bulan.
Ia juga menyoroti atmosfer kompetitif dalam proyek ini yang mengingatkan pada era perlombaan luar angkasa pertama.
“Sepertinya kita kembali ke masa perlombaan luar angkasa pertama yang penuh kompetisi, yang, dari perspektif ilmiah, sedikit mengecewakan dan mengkhawatirkan,” ujar Dr. Barber.