Nilai Tukar Anjlok Parah, Menteri Ekonomi Iran Dipecat
- Menteri Ekonomi Iran, Abdolnaser Hemmati, dipecat karena ekonomi negara sedang jatuh parah dengan anjloknya nilai tukar dan inflasi yang meningkat.
- Devaluasi rial menyebabkan ketidakpuasan publik karena biaya hidup dan inflasi yang tinggi menjelang Tahun Baru Nowruz bulan ini.
- Hemmati menekankan kesepakatan nuklir Iran 2015 dengan negara-negara besar dunia kini berada di titik kritis, ditambah dengan sanksi AS selama puluhan tahun telah menghantam ekonomi Iran.
Jakarta, IDN Times - Menteri Ekonomi Iran, Abdolnaser Hemmati, dipecat usai parlemen memilih memberhentikannya, lantaran ekonomi negara tersebut sedang jatuh parah dengan anjloknya nilai tukar dan inflasi yang meningkat.
Hemmati dicopot dari jabatannya setelah 182 dari 273 anggota parlemen memberikan suara menentangnya. Pemecatannya diumumkan ketua parlemen konservatif, Mohammad Bagher Ghalibaf.
Hemmati hanya bertahan enam bulan setelah pemerintahan Presiden Masoud Pezeshkian yang moderat mulai menjabat.
Pada 2015, rial Iran bernilai 32.000 terhadap dolar Amerika Serikat. Tetapi pada saat Pezeshkian mulai menjabat pada Juli tahun lalu, nilainya anjlok menjadi sekitar 600.000 terhadap dolar di pasar terbuka.
1. Iran hadapi perang ekonomi

Dengan meningkatnya ketegangan regional baru-baru ini, nilai tukarnya semakin turun, diperdagangkan di toko-toko penukaran mata uang Teheran, dan di jalan-jalannya dengan nilai sekitar 950.000 rial terhadap dolar AS.
Devaluasi rial telah menyebabkan ketidakpuasan publik yang meluas, karena meningkatnya biaya hidup dan inflasi yang tinggi menjelang Tahun Baru Nowruz bulan ini.
Pezeshkian, yang hadir selama sidang Majelis Konsultatif Islam, membela Hemmati yang merupakan mantan gubernur bank sentral dan kandidat presiden. Ia mengatakan kepada anggota parlemen bahwa Iran sedang dalam perang ekonomi skala penuh dengan musuh.
"Masalah ekonomi masyarakat saat ini tidak terkait dengan satu orang, dan kita tidak bisa menyalahkan semuanya pada satu orang," kata Pezeshkian, dilansir dari Al Jazeera, Minggu (2/3/2025).
2. Defisit anggaran berkontribusi pada ketidakstabilan ekonomi

Selama proses pemakzulan, Mohammad Qasim Osmani, seorang anggota parlemen yang mendukung Hemmati, berpendapat meningkatnya inflasi dan nilai tukar bukanlah kesalahan pemerintah saat ini.
Ia menunjuk pada defisit anggaran yang ditinggalkan pemerintahan Presiden garis keras, Ebrahim Raisi, yang menurutnya berkontribusi pada ketidakstabilan ekonomi.
Namun, menurut anggota parlemen garis keras, Hosseinali Hajidaligani berpendapat Hemmati berperan penting dalam ketidakstabilan ekonomi Iran, dan dapat menjadi "berbahaya" bagi negara tersebut jika dibiarkan tetap menjabat.
Hajidaligani menuduh menteri tersebut sengaja mendevaluasi mata uang nasional untuk mengisi kas pemerintah dengan keuntungan jangka pendek, yang akan menutupi defisit anggaran dengan mengorbankan ekonomi dan rakyat Iran pada umumnya.
Hemmati menolak tuduhan tersebut dan menunjuk pada penurunan inflasi sebesar 10 persen. Ia mengakui inflasi masih tetap tinggi, yaitu 35 persen.
Ia memberi tahu anggota parlemen timnya bekerja keras untuk mengatasi masalah tersebut, tetapi memperingatkan bahwa prosesnya akan memakan waktu.
Hemmati menekankan kesepakatan nuklir Iran 2015 dengan negara-negara besar dunia, yang ditinggalkan secara sepihak oleh Presiden AS Donald Trump pada 2018, kini berada di titik kritis. Negara-negara Barat yang terlibat dalam kesepakatan tersebut hanya memiliki waktu hingga Oktober untuk mengaktifkan mekanisme "snapback"-nya, yang dapat mengembalikan semua sanksi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terhadap Iran.
3. Korupsi di Iran merajalela

Kesalahan urus dan korupsi lokal yang merajalela, ditambah dengan sanksi yang dipimpin AS selama puluhan tahun, telah menghantam ekonomi Iran. Di tengah meluasnya dampak perang Israel di Gaza dan pukulan yang dilancarkan terhadap "poros perlawanan" yang dipimpin Iran dalam beberapa bulan terakhir, kekhawatiran publik atas ketidakstabilan ekonomi lebih lanjut terus meningkat.
Selama tiga bulan terakhir, Iran terpaksa menutup layanan utama di seluruh negeri, karena krisis energi yang berkepanjangan.
Pejabat AS dan Israel, termasuk Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, terus mengancam akan mengebom Iran dan fasilitas nuklir serta energinya, atas kemajuan program nuklir Teheran.