PBB: 16,5 Juta Warga Suriah Sangat Butuh Bantuan

Jakarta, IDN Times - Koordinator Kemanusiaan PBB untuk Suriah, Adam Abdelmoula, mengatakan bahwa krisis kemanusiaan Suriah masih menjadi salah satu yang terbesar di dunia, dengan 16,5 juta orang membutuhkan bantuan mendesak.
"Meskipun ada harapan menyusul penggulingan rezim (Bashar al) Assad pada Desember lalu, situasi terus memburuk," ujarnya pada 20 Maret 2025, seraya menyoroti kondisi-kondisi mengerikan yang masih dihadapi negara tersebut, dikutip dari Anadolu Agency pada Jumat (21/3/2025).
Ahmed al-Sharaa dinyatakan sebagai presiden untuk masa transisi pada akhir Januari. Ia sebelumnya memimpin pasukan anti-rezim untuk menggulingkan Assad yang telah memimpin Suriah selama hampir 25 tahun.
Dia melarikan diri ke Rusia pada 8 Desember 2024, yang mengakhiri kekuasaan rezim Partai Baath sejak 1963.
1. UNHCR perkirakan 3,5 juta pengungsi akan kembali ke Suriah tahun ini
Sekitar 1,2 juta orang telah kembali ke rumah mereka sejak Desember tahun lalu. Jumlah tersebut termasuk 885 ribu pengungsi internal (IDP) dan 302 ribu pengungsi lainnya.
Badan Pengungsi PBB (UNHCR) memperkirakan bahwa hingga 3,5 juta pengungsi dan IDP akan kembali tahun ini. Namun, kepulangan mereka terhambat oleh kurangnya layanan dasar, risiko keamanan yang berkelanjutan, dan kurangnya dokumentasi hukum.
Selain itu, pembekuan dana kemanusiaan pada Januari telah menimbulkan dampak yang sangat buruk terhadap operasi di Suriah timur laut, khususnya di kamp-kamp IDP dan pemukiman informal.
Meskipun ada upaya pemulihan, namun permusuhan terus berlanjut di wilayah utara, selatan, dan pesisir. Hal ini menyebabkan ribuan orang mengungsi dan mempersulit bantuan kemanusiaan untuk menjangkau mereka yang membutuhkan.
Eskalasi terkini di wilayah pesisir telah mengakibatkan ratusan korban jiwa dan kerusakan besar pada infrastruktur, termasuk fasilitas kesehatan. Merespons hal ini, PBB telah menyerukan bahwa semua pihak harus berkomitmen melakukan deeskalasi dan memastikan akses bantuan tanpa hambatan.
2. Militan pro Assad menolak pemerintahan baru

Setelah runtuhnya rezim Assad, otoritas Suriah yang baru meluncurkan sebuah inisiatif untuk menyelesaikan status mantan anggota rezim di militer dan pasukan keamanan. Ini dengan syarat mereka harus menyerahkan senjata mereka dan tidak ada pertumpahan darah.
Sementara puluhan ribu orang menerima inisiatif tersebut, namun ada pula yang menolaknya. Mereka adalah beberapa kelompok bersenjata yang terdiri dari sisa-sisa rezim, terutama di wilayah pesisir tempat para perwira tinggi Assad ditempatkan.
Seiring berjalannya waktu, kelompok-kelompok tersebut melarikan diri ke daerah pegunungan, memicu ketegangan, mengganggu stabilitas wilayah, dan melancarkan serangan sporadis terhadap pasukan pemerintah dalam beberapa minggu terakhir.
3. Israel lancarkan serangan ke Suriah

Di tengah upaya Suriah untuk membangun kembali negaranya di bawah pemerintahan baru, Israel kerap melakukan pelanggaran berulang kali terhadap kedaulatan Suriah. Baru-baru ini, Israel telah melakukan serangan udara terhadap aset militer strategis di Suriah tengah.
"Beberapa saat yang lalu, tentara Israel melancarkan serangan yang menargetkan kemampuan militer strategis yang masih ada di pangkalan militer Suriah di Palmyra dan pangkalan udara T-4," kata militer Israel dalam sebuah pernyataan pada 21 Maret, tanpa memberikan rincian.
Tel Aviv telah melancarkan serangan udara hampir setiap hari di Suriah selama berbulan-bulan. Tindakan tersebut mengakibatkan jatuhnya korban sipil dan hancurnya lokasi militer, peralatan, dan amunisi milik tentara Suriah.
Sejak 1967, Israel telah menduduki sebagian besar Dataran Tinggi Golan. Namun, sejak runtuhnya rezim Assad, Israel mengambil alih kendali zona penyangga Suriah itu dan menyatakan pembatalan atas perjanjian pelepasan antara kedua belah pihak yang ditandatangani pada 1974.