PBB: Dua Pertiga Penduduk Sudan Selatan akan Kelaparan pada 2023

Jakarta, IDN Times - WFP dan UNICEF, salah dua organisasi yang dinaungi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), melaporkan bahwa 7,7 juta penduduk Sudan Selatan, sekitar dua pertiga populasi, akan menderita krisis pangan tahun depan.
Beberapa di antara penyebabnya adalah banjir, kekeringan, dan konflik internal yang tak kunjung berakhir.
Di sisi lain, ada pengurangan dana program kemanusiaan, meski sebenarnya kebutuhan bantuan terus mengalami peningkatan.
1. Musim depan diprediksi akan suram

Sejak mendeklarasikan kememerdekaan dari Sudan pada 2011, Sudan Selatan kerap dilanda perang saudara. Konflik itu sulit untuk diselesaikan sampai saat ini, meski perjanjian damai telah ditandatangani oleh sebagian besar kelompok.
Konflik diperparah dengan kondisi iklim yang memburuk seperti banjir, kekeringan, dan harga pangan yang melonjak akibat invasi Rusia ke Ukraina.
Melansir Reuters, organisasi-organisasi PBB mengatakan, dua pertiga dari penduduk Sudan Selatan kemungkinan menghadapi kekurangan parah tahun depan. Tepatnya pada musim paceklik pada April-Juni.
Kekurangan pangan dinilai akan lebih buruk dari puncak perang saudara 2013 dan 2016.
2. Krisis iklim memperparah kondisi
Selain konflik yang berkepanjangan, ada kombinasi faktor penyebab yang membuat kemungkinan kelaparan parah itu bakal terjadi di Sudan Selatan. Faktor tersebut adalah kekerasan, kondisi makro ekonomi yang buruk, peristiwa iklim ekstrem, dan biaya makanan serta bahan bakar yang melonjak.
"Kami telah berada dalam mode pencegahan kelaparan sepanjang tahun dan telah mencegah hasil terburuk, tetapi ini tidak cukup," kata Makena Walker, Penjabat Direktur Negara WFP, dikutip Africa News.
Dia menjelaskan bahwa Sudan Selatan berada di garis depan krisis iklim. Keluarga kehilangan rumah, ternak, ladang dan harapan hidup karena cuaca ekstrem.
Walker juga menegaskan, tanpa bantuan kemanusiaan, maka jutaan penduduk Sudan Selatan lainnya berada dalam situasi yang semakin mengerikan. Mereka ditakutkan tidak mampu menyediakan bahan pangan paling dasar untuk keluarga.
3. Banjir tanpa henti dan krisis nutrisi

Sudan Selatan adalah salah satu negara termuda di dunia. Tapi negara itu telah menghadapi cobaan yang tiada henti. Krisis iklim memperparah kondisi kehidupan masyarakatnya.
Melansir laman resmi PBB, Sudan Selatan menghadapi banjir multi-tahun yang telah memperburuk tingkat kelaparan. Banjir khususnya berdampak pada wilayah tengah negara tersebut.
FAO, badan pertanian dan pangan dunia, mengatakan bahwa Sudan Selatan memiliki potensi menghasilkan sekitar 840 ribu ton sereal pada 2021. Namun banjir telah merusaknya.
Selain itu, Sudan Selatan juga dilanda kekurangan nutrisi yang mendalam. Sudan mengalami defisit pangan, khususnya sereal. Meski ada beberapa perbaikan, tapi krisis gizi disebut semakin dalam.
Dari semua wilayah Sudan Selatan, hanya satu yang tidak menunjukkan situasi kekurangan nutrisi. Selain itu, semuanya berada dalam situasi kritis.