Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

PBB: Nonton Drakor Bisa Berujung Hukuman Mati di Korea Utara

logo Netflix (pexels.com/John-Mark Smith)
logo Netflix (pexels.com/John-Mark Smith)
Intinya sih...
  • Undang-undang di Korut membuat penyebaran media asing, terutama drama Korea Selatan, berujung hukuman mati.
  • Pengawasan massal melalui teknologi canggih mengontrol kehidupan sehari-hari warga.
  • Pelanggaran hak asasi manusia, termasuk pekerja paksa dan kelaparan yang terus dilanggar.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Jakarta, IDN TimesKorea Utara, yang secara resmi bernama Republik Rakyat Demokratik Korea (DPRK), disebut semakin keras menekan rakyatnya selama sepuluh tahun terakhir. Laporan utama Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat (12/9/2025), menyebutkan eksekusi dijatuhkan pada individu yang menyebarkan drama televisi asing. Kantor Hak Asasi Manusia PBB menilai teknologi pengawasan canggih membuat negara itu menjadi salah satu rezim paling represif di dunia.

Seorang pelarian Korut, yang tidak disebutkan namanya, menuturkan langkah rezim dalam memutus akses rakyat terhadap dunia luar.

“Untuk memblokir mata dan telinga rakyat, mereka memperketat tindakan keras. Itu adalah bentuk kontrol yang bertujuan untuk menghilangkan tanda-tanda ketidakpuasan atau keluhan sekecil apa pun,” ujarnya dikutip dari Al Jazeera.

Di bawah kepemimpinan Kim Jong-un, dinasti yang telah berkuasa lebih dari tujuh dekade memperkuat cengkeraman melalui undang-undang sejak 2014. UU tersebut mengatur sejumlah ancaman hukuman, termasuk hukuman mati bagi penyebar media asing, terutama drama Korea Selatan (K-Drama) populer.

1. Eksekusi publik untuk penyebaran media asing

Undang-undang baru yang berlaku sejak 2020 membuat banyak orang dieksekusi karena menonton atau menyebarkan media asing. Beberapa kasus mencatat eksekusi dilakukan di depan umum dengan regu tembak sebagai efek jera bagi warga lain.

James Heenan, kepala Kantor Hak Asasi Manusia PBB untuk Korea Utara, melaporkan dari Seoul bahwa eksekusi meningkat tajam setelah pembatasan era COVID-19. Heenan menambahkan, hukuman mati diterapkan tidak hanya untuk kasus politik tetapi juga kejahatan biasa.

Praktik eksekusi publik itu disebut PBB sebagai pesan keras agar masyarakat tunduk. Laporan tersebut menilai rezim Kim menggunakan rasa takut sebagai alat utama untuk mengendalikan rakyatnya.

2. Pengawasan massal dominasi kehidupan sehari-hari

ilustrasi pengawasan (pexels.com/Pixabay)
ilustrasi pengawasan (pexels.com/Pixabay)

PBB menemukan sistem pengawasan massal yang diperluas lewat teknologi mutakhir semakin menjerat warga Korea Utara dalam dekade terakhir. Mekanisme itu memberi ruang bagi pemerintah untuk mengontrol dan menekan semua bentuk perbedaan pendapat. Dengan kondisi seperti ini, hampir mustahil bagi warga mengakses informasi dari luar tanpa risiko hukuman berat.

Laporan itu menegaskan, pengawasan yang meliputi seluruh aspek kehidupan menciptakan atmosfer ketakutan permanen. Setiap percakapan, pergerakan, hingga aktivitas sosial warga bisa dipantau ketat. Kontrol tersebut membuat kebebasan individu semakin terkikis dan ruang demokrasi praktis lenyap.

3. Pelanggaran hak asasi dan harapan perubahan

Kim Jong Un dan Menteri Pertahanan Rusia berpartisipasi dalam serangkaian upacara resmi untuk merayakan peringatan 70 tahun Hari Kemenangan dalam Perang Pembebasan Tanah Air Besar. (Mil.ru, CC BY 4.0, via Wikimedia Commons)
Kim Jong Un dan Menteri Pertahanan Rusia berpartisipasi dalam serangkaian upacara resmi untuk merayakan peringatan 70 tahun Hari Kemenangan dalam Perang Pembebasan Tanah Air Besar. (Mil.ru, CC BY 4.0, via Wikimedia Commons)

PBB mencatat maraknya pekerja paksa di Korea Utara, termasuk anak-anak yang dipaksa bekerja di tambang batu bara dan proyek konstruksi. James Heenan menjelaskan kondisi anak-anak dari keluarga miskin yang paling rentan.

“Mereka sering kali anak-anak dari lapisan masyarakat bawah, karena merekalah yang tidak bisa menyuap untuk keluar dari situasi itu, dan brigade kejut ini terlibat dalam pekerjaan yang sering kali sangat berbahaya dan penuh risiko,” ujarnya.

Kepala Hak Asasi Manusia PBB, Volker Türk, menyuarakan kekhawatiran atas penderitaan rakyat Korea Utara.

“Dan menyakitkan bagi saya untuk mengatakan bahwa jika DPRK melanjutkan lintasan saat ini, rakyat akan mengalami lebih banyak penderitaan, penindasan brutal, dan ketakutan yang telah mereka tanggung begitu lama,” katanya, dikutip dari Euro News.

PBB juga menyebut hak rakyat atas pangan terus dilanggar, memicu kelaparan dan memperburuk krisis kemanusiaan yang sudah lama terjadi.

Meski begitu, laporan menyebut ada sedikit perbaikan, seperti berkurangnya kekerasan penjaga penjara dan aturan baru yang memperkuat jaminan pengadilan adil. Namun, perbaikan ini jauh lebih kecil dibanding memburuknya kondisi hak asasi secara keseluruhan. Temuan tersebut konsisten dengan laporan PBB tahun 2014 yang mendokumentasikan eksekusi, penyiksaan, hingga kelaparan yang disengaja, dilansir dari The Guardian.

Türk juga menyinggung keinginan rakyat untuk perubahan di tengah represi.

“Ratusan wawancara yang dilakukan selama laporan ini menunjukkan keinginan yang jelas dan kuat untuk perubahan, terutama di kalangan anak muda,” ujarnya.

Hingga kini, misi diplomatik Korea Utara di Jenewa dan kedutaan di London belum memberikan tanggapan, meski DPRK sebelumnya menolak resolusi Dewan HAM PBB yang melandasi penyelidikan ini. Laporan terbaru menutup dengan catatan bahwa propaganda negara terus membentuk kehidupan rakyat Korea Utara, semakin memutus mereka dari dunia luar.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us

Latest in News

See More

Rano Karno: Kami Ingin Warga Jakarta Cinta Literasi

13 Sep 2025, 08:35 WIBNews