Pejabat Kemlu RI Soal Rohingya: "Myanmar Harus Akui Hak Mereka"

Jakarta, IDN Times - Laporan Tim Pencari Fakta yang ditugaskan oleh Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) setebal 444 halaman menyebutkan bahwa militer Myanmar telah melakukan "kejahatan terburuk dalam hukum internasional" atau dengan kata lain genosida terhadap kelompok etnis Myanmar.
Parlemen Kanada menjadi yang pertama secara formal menyatakan dukungannya atas temuan tersebut. Pada 21 September lalu, para anggota parlemen di Ottawa mengumumkan bahwa mereka "mengakui kejahatan terhadap Rohingya itu merupakan genosida".
1. Indonesia sendiri menegaskan tak punya posisi untuk setuju atau menolak laporan itu

Sementara itu, sebagai sesama negara ASEAN, Indonesia sepertinya memilih untuk tidak memperdebatkan temuan Tim Pencari Fakta PBB yang dipimpin oleh Marzuki Darusman tersebut.
Achsanul Habib, Direktur HAM dan Kemanusiaan di Kementerian Luar Negeri Indonesia, mengatakan negara tidak ikut melakukan penyelidikan lapangan sehingga Indonesia tak bisa otomatis sampai pada kesimpulan bahwa sudah terjadi kategori-kategori itu.
"Jadi yang memang kita ikuti adalah bagaimana dinamika dari hasil laporan fact finding mission ke Rohingya tersebut, kemudian jadi report ke Dewan HAM PBB, dari sana kita lihat bagaimana report itu menjadi bagian dari solusi keseluruhan," tutur Habib kepada IDN Times.
2. Indonesia ingin Myanmar kooperatif dengan komunitas internasional

Menurut Habib, pemerintah Myanmar tetap menjadi kunci dari penyelesaian krisis Rohingya yang memaksa hingga 700.000 pengungsi menyeberang ke Bangladesh sejak Agustus 2017 lalu. "Karena yang bisa membuktikan valid atau tidak [laporan itu] adalah pemerintah Myanmar sendiri yang bekerja sama dengan fact finding mission," ujarnya.
Ia menilai "yang paling penting sebenarnya bukan hasil dari fact finding mission itu, bukan conclusion bahwa ada ethnic cleansing, ada genocide" melainkan "penyelesaian masalah itu secara menyeluruh". Habib menambahkan, masalahnya Persoalannya kan fact finding mission gak diterima oleh Myanmar. Sayangnya memang gak ada akses yang diberikan oleh Myanmar."
3. Mekanisme regional, misalnya melalui ASEAN, bisa menjadi alternatif

Habib pun mengatakan Indonesia menawarkan resolusi konflik melalui mekanisme regional. "Contohnya yang paling sederhana ya Myanmar kan bisa mengundang para menteri luar negeri ASEAN untuk datang ke Myanmar, untuk berdiskusi dan sama-sama kita mencari jalan keluarnya bagaimana, yang paling mendesak itu apa."
Hal-hal krusial yang bisa dibicarakan di beberapa level forum ASEAN adalah tentang bantuan kemanusiaan serta penyelesaian konflik. "Sebenarnya sudah ditawarkan [kepada pemerintah Myanmar] berulang kali baik melalui forum-forum maupun tingkat bilateral. Apalagi Indonesia ya sebagai negara yang paling berkepentingan dengan ASEAN—kita selalu angkat," tegasnya.
"Jangan sampai kita punya kaki dan tangan, tapi tetap gak berpola juga penyelesaiannya—terlalu banyak yang ikut campur, masing-masing punya kepentingannya sendiri. Ada yang ingin menghukum para tertuduh, ada yang ingin menyudutkan, naming, shaming. Akhinya yang paling menderita kan penduduk sipil."
4. Indonesia menilai Myanmar harus mengakui hak kelompok Rohingya sebagai warga negara yang sah

Pada akhirnya, kata Habib, Indonesia memandang hasil akhirnya adalah harus ada "rekonsiliasi nasional yang bisa menempatkan para warga etnis Rohingya tersebut ke dalam wilayah Myanmar secara legal dan diatur oleh konstitusi mereka".
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya "hak-hak mereka ditempatkan secara setara sebagai warga negara yang diakui". Habib pun mengaku pemerintah mendukung repatriasi pengungsi dari Bangladesh kembali ke Myanmar "secara sukarela, bermartabat dan aman".
"Yang kita mau ini ayo dong jangan sekadar berkomitmen, tapi gak pernah dikerjakan. Ini yang bolak-balik menjadi komplain Bangladesh. Si Myanmar juga komplain karena data yang diberikan kepada mereka, menurut pemerintah Myanmar, gak valid. Nah ini [pentingnya] kerja sama."
5. Media Bangladesh melaporkan ada kurang lebih 500.000 warga Rohingya segera meninggalkan Myanmar

Sementara itu, Dhaka Tribune melaporkan bahwa sejumlah tokoh Rohingya di pengungsian di Bangladesh mengklaim ada sekitar 500.000 warga Rakhine yang menanti waktu untuk menyeberangi perbatasan.
Menurut informasi yang beredar di kamp pengungsi, militer Myanmar masih melakukan kekerasan kepada warga Rohingya yang tersisa. Salah satu pengungsi yang dikutip informasinya mengatakan, tentara tak mengizinkan mereka pergi ke pasar terdekat.
"Akibatnya, mereka mengalami kelangkaan bahan pangan. Warga Rohingya dipaksa hidup dalam situasi buruk, yang kemudian membuat mereka melarikan diri ke Bangladesh."
Pengungsi lain berujar, "Tentara menyiksa mereka dengan cara taktis sehingga tak ada tanda-tanda anarki di permukaan. Jika ini terus berlangsung, setiap orang Rohingya akan lari dari Rakhine dan menuju Bangladesh."