Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Pelajaran dari Italia, #DiRumahAja Krusial untuk Hindari Bencana Medis

Seorang pekerja membersihkan Rialto Bridge dengan cairan desinfektan sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di Venesia, Italia, pada 13 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri
Seorang pekerja membersihkan Rialto Bridge dengan cairan desinfektan sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di Venesia, Italia, pada 13 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri

Roma, IDN Times - Di tengah pandemik virus corona atau COVID-19, media sosial diramaikan dengan unggahan tentang pentingnya membatasi aktivitas di luar, bekerja di rumah, sampai benar-benar melakukan karantina diri sendiri mau pun dengan keluarga dekat.

Pada intinya adalah dengan tidak menganggap kita sedang berada di situasi normal di mana menghabiskan waktu di mal atau kafe bersifat aman.

Bahkan, banyak warganet di Amerika Serikat yang mempermalukan secara umum anak-anak muda yang tetap ke bar atau pantai untuk berlibur. Mereka menilai ini tidak bertanggung jawab dan memalukan.

1. #DiRumahAja bukan hanya untuk kepentingan sendiri, tapi juga orang lain

Seorang pekerja membersihkan Rialto Bridge dengan cairan desinfektan sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di Venesia, Italia, pada 13 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri
Seorang pekerja membersihkan Rialto Bridge dengan cairan desinfektan sebagai upaya pencegahan penyebaran COVID-19 di Venesia, Italia, pada 13 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri

Di Indonesia sendiri, tagar #DiRumahAaja sedang banyak sekali dibicarakan. Warganet lokal mempromosikan agar warga memilih tinggal di rumah daripada bepergian. Bukan hanya untuk mencegah kita terinfeksi COVID-19, tapi juga mengurangi risiko kita menularkan virus kepada orang-orang yang rentan.

Apalagi pemerintah Indonesia tidak transparan dalam mengungkap pasien positif COVID-19 pernah berada di mana saja. Tidak ada tes massal gratis juga untuk memastikan kita bebas dari virus. Tidak gesitnya pemerintah dalam merespons COVID-19 digambarkan dengan mengerikan oleh perempuan yang berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP).

Melalui video, ia menjelaskan telah menjadi PDP tapi rumah sakit tempatnya memeriksakan diri tidak bisa berbuat apa pun. Ia dibebaskan pergi. Juru bicara pemerintah untuk penanganan COVID-19, Achmad Yurianto, menceritakan kepada presenter Deddy Corbuzier, rumah sakit itu bukan rujukan, maka tak punya fasilitasnya.

"Artinya kalau aku malas lanjut ke rumah sakit besar yang ditunjuk itu, aku cuma balik ke rumah, lalu aku berhubungan dengan tetangga kanan-kiri, dan I'm fine, aku ngerasa fine tapi ternyata aku positif, itu gak tahu dampaknya kayak apa," kata perempuan tersebut yang memakai masker saat merekam.

2. Italia memberikan pelajaran pentingnya respons yang cepat

Pekerja membersihkan jembatan dengan cairan desinfektan sebagai upaya menghentikan penyebaran COVID-19 di Venesia, Italia, pada 13 Maret 2020.  ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri
Pekerja membersihkan jembatan dengan cairan desinfektan sebagai upaya menghentikan penyebaran COVID-19 di Venesia, Italia, pada 13 Maret 2020.  ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri

#DiRumahAja versi Italia adalah mengarantina diri sendiri sebab pemerintah memberlakukan lockdown nasional. Kampus, sekolah, pusat hiburan, taman, dan restoran ditutup. Mereka yang keluar rumah harus membawa dokumen yang menyatakan mereka akan ke mana dan apa alasannya. Jika ditemukan berbohong, hukuman siap menanti.

Mattia Ferraresi, jurnalis Italia, menyebut awalnya pemerintah dan publik tidak memahami alasan di balik mengarantina diri (self-quarantine).

"Saya dan banyak warga Italia lain tidak tahu pentingnya mengubah kebiasaan kami untuk suatu ancaman yang tak bisa kami lihat," tulis Ferraresi di The Boston Globe.

"Italia sudah ditutup sejak 9 Maret; butuh beberapa minggu setelah virus pertama kali muncul di sini untuk menyadari langkah-langkah ketat mutlak diperlukan," lanjutnya.

"Sebelum wabah melanda negara saya, saya kira saya sudah bersikap rasional karena saya menyeleksi dan memproses banyak informasi soal epidemi itu," lanjutnya lagi.

"Namun, pengetahuan saya yang baik tak membuat saya rasional. Saya kurang apa yang Anda bisa sebut sebagai 'pengetahuan moral' dari masalah ini. Saya tahu soal virus itu, tapi persoalan itu tak berdampak terhadap saya dalam cara signifikan atau personal," tambahnya.

Apa yang dimaksud Ferraresi adalah dampak keputusan pribadinya dan warga Italia terhadap sistem medis nasional.

"Perlu sebuah dilema etika yang sangat buruk yang dihadapi para dokter di Lombardy untuk membuat saya sadar," tulisnya, merujuk pada wilayah yang jadi episentrum COVID-19 di Italia.

3. Rumah sakit kewalahan menerima pasien sehingga harus memilih mana yang wajib diselamatkan lebih dulu

Penjual sayuran memakai masker pelindung untuk mencegah penyebaran COVID-19 di Venesia, Italia,pada 13 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri
Penjual sayuran memakai masker pelindung untuk mencegah penyebaran COVID-19 di Venesia, Italia,pada 13 Maret 2020. ANTARA FOTO/REUTERS/Manuel Silvestri

Ia mengutip pemberitaan koran nasional Il Corriere della Sera pada 9 Maret tentang nasib sistem kesehatan Italia yang di ujung tanduk. Seorang dokter mengatakan kepada koran itu bahwa pasien Unit Perawatan Intensif (ICU) di salah satu rumah sakit sudah melebihi kapasitas.

Ia juga mengungkap bahwa para dokter dipaksa membuat pilihan sulit yaitu menerima orang yang sangat membutuhkan alat bantu pernapasan berdasarkan usia, harapan hidup, dan faktor-faktor lainnya.

Ferraresi melaporkan saat jumlah pasien positif COVID-19 melonjak dan membuat Italia sebagai negara di luar Tiongkok dengan total kasus terbanyak, berbagai rumah sakit di negara itu terpaksa memakai kontainer kargo di depan pintu masuk untuk menyeleksi pasien.

"Beberapa orang yang tak bisa mendapatkan perawatan medis meninggal di rumah mereka," tulisnya.

Asosiasi anesthesiologis Italia sampai membuat panduan baru bagi dokter yang mengalami dilema etika. Saat sebelumnya siapa datang pertama itulah yang dilayani, kini prinsip itu tak berlaku di tengah pandemik.

Dalam panduan itu, dokter harus memilih pasien berdasarkan pertimbangan tingkat keberhasilan untuk sembuh. Bagi yang harapan hidupnya singkat atau berusia lanjut, maka pasien itu akan jadi pilihan terakhir untuk diselamatkan. Terbatasnya fasilitas dan sumber daya juga jadi alasan mengapa yang penyakitnya sangat parah tak jadi prioritas.

"Kita tentu saja tak bisa menghentikan munculnya virus mematikan yang sebelumnya tak diketahui," tulis Ferraresi.

Namun, melihat ke belakang, ia menilai ada yang bisa dilakukan agar tidak sampai ke situasi seperti saat ini. "Kita bisa tinggal di rumah saja," tegasnya.

Kini, kembali ke kondisi di Indonesia yang masih membebaskan orang beraktivitas semaunya. Apakah kita bisa menahan ego sesaat untuk nongkrong di mal atau berlibur ke luar kota (bahkan ke luar negeri) demi mencegah terlantarnya orang-orang yang positif COVID-19 dan penyakit lain karena rumah sakit tidak sanggup menghadapi bencana medis?

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rosa Folia
EditorRosa Folia
Follow Us