Pidato Lengkap Presiden Prabowo di PBB, Dipuji para Kepala Negara!

- Presiden Prabowo Subianto menyampaikan visi terkait Indonesia dan PBB, membahas dinamika global, reformasi PBB, peran negara Global South, dan visi Asta Cita.
- Pidato Prabowo mendapat pujian dari sejumlah kepala negara seperti Donald Trump dan Recep Tayyip Erdogan karena dianggap mencerminkan aspirasi banyak negara.
- Prabowo menegaskan komitmen Indonesia terhadap Solusi Dua Negara di Palestina serta berkomitmen untuk menjadi bagian dalam mewujudkan visi tersebut.
New York, IDN Times - Presiden Prabowo Subianto telah menyampaikan visinya terkait dengan Indonesia dan PBB. Dalam pidatonya, Prabowo membawa beberapa isu dalam pidatonya, antara lain dinamika global terkini, reformasi PBB, peran negara Global South dan juga visi Asta Cita.
Menteri Luar Negeri RI Sugiono menuturkan, pidato Presiden Prabowo mendapatkan pujian dari sejumlah kepala negara. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, hingga Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, termasuk di antara tokoh yang menyampaikan apresiasi atas gagasan Prabowo.
Menurutnya, pujian tersebut datang baik secara langsung maupun melalui pesan elektronik. Pidato Prabowo diapresiasi karena isinya dinilai mencerminkan aspirasi banyak negara. Utamanya, mengenai peran PBB yang tetap relevan setelah 80 tahun berdiri.
Pidatonya juga diapresiasi, terlebih usai pidato Donald Trump yang hampir sejam dan berisi tentang sindiran kepada PBB serta narsisme si tuan negara. Disampaikan dengan Bahasa Inggris, Prabowo memang sangat berapi-api dalam menyampaikan pidatonya.
Berikut isi lengkap pidato Presiden Prabowo, versi Bahasa Indonesia:
Yang Mulia Tuan António Guterres, Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa;
Yang Mulia Nyonya Annalena Baerbock, Presiden Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa;
Yang Mulia Tuan Movses Abelian, Wakil Sekretaris Jenderal untuk Majelis Umum dan Manajemen;
Para Yang Mulia, Kepala Negara, Kepala Pemerintahan, Para Delegasi yang Terhormat;
Hadirin sekalian.
Merupakan suatu kehormatan besar bagi saya untuk berdiri di ruang Majelis Umum yang agung ini, di antara para pemimpin dan perwakilan yang mewakili hampir seluruh umat manusia. Kita berbeda dalam ras, agama, dan kebangsaan, namun hari ini kita berkumpul bersama sebagai satu keluarga manusia. Kita hadir di sini pertama-tama sebagai sesama manusia—masing-masing diciptakan setara, dianugerahi hak-hak yang tak dapat dicabut atas kehidupan, kebebasan, dan upaya meraih kebahagiaan.
Kata-kata dalam Deklarasi Kemerdekaan Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menginspirasi gerakan demokrasi di berbagai benua—termasuk Revolusi Prancis, Revolusi Rusia, Revolusi Meksiko, Revolusi Tiongkok, dan perjuangan serta perjalanan Indonesia menuju kemerdekaan. Deklarasi itu juga melahirkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang diadopsi PBB pada tahun 1948. “Semua manusia diciptakan setara” adalah keyakinan yang membuka jalan bagi kemakmuran dan martabat global yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Namun, di era kita sekarang—era dengan pencapaian ilmiah dan teknologi yang luar biasa, sebuah era yang seharusnya mampu mengakhiri kelaparan, kemiskinan, dan kerusakan lingkungan—kita justru terus menghadapi tantangan berbahaya dan ketidakpastian. Kebodohan manusia, yang dipicu oleh ketakutan, rasisme, kebencian, penindasan, dan apartheid, mengancam masa depan kita bersama.
Negara saya memahami penderitaan ini. Selama berabad-abad, bangsa Indonesia hidup di bawah penjajahan, penindasan, dan perbudakan. Kami diperlakukan lebih rendah daripada anjing di tanah air kami sendiri. Kami, orang Indonesia, tahu apa artinya ditolak keadilan, apa artinya hidup dalam apartheid, dalam kemiskinan, dan ditolak kesempatan yang sama. Tetapi kami juga tahu apa yang bisa dilakukan solidaritas. Dalam perjuangan kami untuk merdeka, dalam perjuangan melawan kelaparan, penyakit, dan kemiskinan, Perserikatan Bangsa-Bangsa berdiri bersama Indonesia dan memberi kami bantuan vital.
Keputusan-keputusan yang diambil di sini, berdasarkan solidaritas manusia—oleh Dewan Keamanan dan Majelis ini—memberikan legitimasi internasional atas kemerdekaan Indonesia, membuka pintu, dan mendukung pembangunan awal kami melalui kerja UNICEF, FAO, WHO, dan banyak lembaga PBB lainnya. Dan karena itu, Indonesia hari ini berdiri di ambang kemakmuran bersama serta kesetaraan dan martabat yang lebih besar.
Ibu Presiden, Yang Mulia,
Dunia kita digerakkan oleh konflik, ketidakadilan, dan ketidakpastian yang semakin dalam. Setiap hari kita menyaksikan penderitaan, genosida, serta pengabaian terang-terangan terhadap hukum internasional dan keluhuran martabat manusia. Menghadapi tantangan ini, kita tidak boleh menyerah.
Seperti dikatakan Sekretaris Jenderal PBB, kita tidak boleh menyerah. Kita tidak boleh mengorbankan harapan atau cita-cita kita. Kita harus semakin dekat, bukan semakin jauh. Bersama, kita harus berjuang mewujudkan harapan dan mimpi kita. PBB lahir dari abu Perang Dunia Kedua yang merenggut puluhan juta nyawa. PBB diciptakan untuk menjamin perdamaian, keamanan, keadilan, dan kebebasan bagi semua. Kami tetap berkomitmen pada internasionalisme, multilateralisme, dan setiap upaya yang memperkuat lembaga besar ini.
Hari ini, Indonesia semakin dekat untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dalam mengakhiri kemiskinan ekstrem dan kelaparan—karena bertahun-tahun lalu, ruang sidang ini memilih untuk mendengarkan dan menegakkan keadilan sosial dan ekonomi. Kami tidak akan pernah lupa. Dan hari ini, kita juga tidak boleh diam ketika rakyat Palestina ditolak keadilan dan legitimasi yang sama di aula ini.
Yang Mulia,
Thucydides pernah memperingatkan: “Yang kuat melakukan apa yang mereka bisa, yang lemah menderita apa yang mereka harus derita.” Kita harus menolak doktrin ini. PBB ada untuk menolak doktrin ini. Kita harus berpihak pada semua: yang kuat maupun yang lemah. Kekuatan tidak boleh menjadi kebenaran; kebenaranlah yang harus menjadi kebenaran.
Indonesia hari ini adalah salah satu kontributor terbesar pasukan penjaga perdamaian PBB. Kami percaya pada PBB. Kami akan terus mengabdi di mana pun perdamaian membutuhkan penjaga—bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata di lapangan. Jika dan ketika Dewan Keamanan serta Majelis Besar ini memutuskan, Indonesia siap mengerahkan 20.000 atau bahkan lebih putra-putri kami untuk membantu menjaga perdamaian di Gaza atau di tempat lain. Di Ukraina, Sudan, Libya—di mana pun perdamaian perlu ditegakkan dan dijaga—kami siap. Kami akan menanggung bagian dari beban itu, bukan hanya dengan putra-putri kami, tetapi juga dengan kontribusi finansial untuk mendukung misi besar PBB demi tercapainya perdamaian.
Ibu Presiden, Yang Mulia,
Saya ingin mengajukan kepada majelis ini sebuah pesan harapan dan optimisme—yang berakar pada tindakan nyata. Hari ini, kita mendengar pidato Ibu Presiden Majelis Umum PBB. Benar apa yang beliau sampaikan: tanpa International Civil Aviation Organization, apakah kita bisa berkumpul di sini? Apakah kita bisa duduk di aula agung ini? Tanpa PBB, kita tidak bisa merasa aman. Tidak ada satu negara pun yang bisa merasa aman. Kita membutuhkan PBB, dan Indonesia akan terus mendukung PBB. Walau kami masih berjuang, kami tahu dunia membutuhkan PBB yang kuat.
Populasi dunia terus bertambah. Planet kita berada dalam tekanan. Ketidakamanan pangan, energi, dan air menghantui banyak negara. Kami memilih untuk menjawab tantangan ini secara langsung di dalam negeri, sekaligus membantu negara lain bila kami mampu.
Tahun ini, Indonesia mencatat produksi beras dan cadangan pangan tertinggi dalam sejarah kami. Kami kini swasembada beras dan mulai mengekspor beras ke negara-negara lain yang membutuhkan, termasuk menyediakan beras untuk Palestina. Kami membangun rantai pasok pangan yang tangguh, meningkatkan produktivitas petani, serta berinvestasi pada pertanian cerdas iklim demi memastikan ketahanan pangan bagi anak-anak kami dan anak-anak dunia. Kami yakin, dalam beberapa tahun mendatang, Indonesia akan menjadi lumbung pangan dunia.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, kami bersaksi di hadapan Anda bahwa kami sudah merasakan dampak langsung perubahan iklim, khususnya ancaman kenaikan permukaan laut. Permukaan laut di pantai utara ibu kota kami naik lima sentimeter setiap tahun. Bisakah Anda bayangkan dalam 10 tahun? Dalam 20 tahun? Karena itu, kami terpaksa membangun tanggul laut raksasa sepanjang 480 kilometer. Mungkin akan memakan waktu 20 tahun, tetapi kami tidak punya pilihan. Kami harus mulai sekarang.
Karena itu, kami memilih menghadapi perubahan iklim—bukan dengan slogan, tetapi dengan langkah nyata. Kami berkomitmen memenuhi kewajiban Perjanjian Paris 2015. Kami menargetkan mencapai emisi nol bersih pada tahun 2060, dan kami sangat yakin bisa mencapainya lebih cepat. Kami bertekad merehabilitasi lebih dari 12 juta hektare hutan terdegradasi, mengurangi kerusakan hutan, dan memberdayakan masyarakat lokal dengan pekerjaan hijau yang berkualitas untuk masa depan.
Indonesia dengan tegas beralih dari pembangunan berbasis bahan bakar fosil menuju pembangunan berbasis energi terbarukan. Mulai tahun depan, sebagian besar tambahan kapasitas pembangkit listrik kami akan berasal dari energi terbarukan. Tujuan kami jelas: mengangkat seluruh warga keluar dari kemiskinan dan menjadikan Indonesia pusat solusi ketahanan pangan, energi, dan air.
Ibu Presiden, Yang Mulia,
Kita hidup di masa ketika kebencian dan kekerasan seakan menjadi suara paling nyaring. Tetapi di balik kebisingan itu ada kebenaran yang lebih tenang: setiap orang mendambakan rasa aman, ingin dihormati, ingin dicintai, dan ingin mewariskan dunia yang lebih baik kepada anak-anak mereka. Anak-anak kita sedang memperhatikan. Mereka belajar kepemimpinan bukan dari buku, tetapi dari pilihan yang kita ambil.
Hari ini, situasi bencana di Gaza masih berlangsung di depan mata kita. Saat ini juga, orang-orang tak bersalah menangis meminta pertolongan, menangis untuk diselamatkan. Siapa yang akan menyelamatkan mereka? Siapa yang akan menyelamatkan orang-orang tak berdosa? Siapa yang akan menyelamatkan orang tua dan perempuan? Jutaan orang menghadapi bahaya saat kita duduk di sini. Mereka menghadapi trauma, kerusakan permanen pada tubuh mereka, bahkan mati kelaparan. Apakah kita akan tetap diam? Apakah tidak akan ada jawaban atas teriakan mereka? Apakah kita akan mengajarkan bahwa keluarga manusia tidak mampu menghadapi tantangan ini?
Ibu Presiden,
Kita harus bertindak sekarang—banyak pembicara sudah mengatakan itu. Kita harus memperjuangkan tatanan multilateral di mana perdamaian, kemakmuran, dan kemajuan bukanlah hak istimewa segelintir orang, melainkan hak semua orang. Dengan PBB yang kuat, kita bisa membangun dunia di mana yang lemah tidak “menderita sebagaimana harus mereka derita,” melainkan hidup dengan keadilan yang pantas mereka terima.
Mari kita lanjutkan perjalanan besar kemanusiaan menuju cita-cita—aspirasi tanpa pamrih yang melahirkan PBB. Mari kita gunakan ilmu pengetahuan untuk membangun, bukan untuk menghancurkan. Mari bangsa-bangsa yang bangkit membantu yang lain untuk bangkit pula.
Saya yakin para pemimpin peradaban besar dunia—peradaban Barat, peradaban Timur, Utara, Selatan, pemimpin Amerika, Eropa, India, Tiongkok, dunia Islam, seluruh dunia—saya yakin mereka akan bangkit menjawab peran yang dituntut sejarah. Kita semua berharap para pemimpin dunia akan menunjukkan kenegarawanan, kebijaksanaan, pengendalian diri, kerendahan hati, mengatasi kebencian, mengatasi kecurigaan.
Ibu Presiden, para delegasi terhormat,
Kami sangat terinspirasi oleh peristiwa dalam beberapa hari terakhir ketika negara-negara besar dunia memilih berpihak pada sejarah, memilih berada di sisi yang benar dari sejarah—jalan moralitas, jalan keadilan, jalan kemanusiaan; menolak kebencian, mengatasi kecurigaan, dan menghindari penggunaan kekerasan. Kekerasan hanya akan melahirkan kekerasan. Tidak ada satu negara pun yang bisa mengintimidasi seluruh komunitas keluarga manusia.
Kita mungkin lemah secara individu, tetapi rasa tertindas, rasa ketidakadilan, telah terbukti dalam sejarah umat manusia sebagai kekuatan yang mampu menyatukan dan mengalahkan penindasan serta ketidakadilan itu.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan kembali dukungan penuh Indonesia terhadap Solusi Dua Negara di Palestina. Kita harus memiliki Palestina yang merdeka, tetapi kita juga harus mengakui, menghormati, dan menjamin keselamatan serta keamanan Israel. Hanya dengan itu kita bisa mencapai perdamaian sejati—perdamaian tanpa kebencian dan tanpa kecurigaan. Satu-satunya solusi adalah ini: Solusi Dua Negara.
Dua keturunan Nabi Ibrahim harus hidup dalam rekonsiliasi, damai, dan harmoni. Arab, Yahudi, Muslim, Kristen, Hindu, Buddha—semua agama—kita harus hidup sebagai satu keluarga manusia. Indonesia berkomitmen untuk menjadi bagian dalam mewujudkan visi ini. Apakah ini sebuah mimpi? Mungkin. Tetapi inilah mimpi indah yang harus kita wujudkan bersama.
Mari kita bekerja menuju tujuan mulia ini. Mari kita lanjutkan perjalanan kemanusiaan menuju harapan—perjalanan yang dimulai oleh para pendahulu kita, perjalanan yang harus kita tuntaskan.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Shalom,
Om santi santi santi om,
Namo Buddhaya.
Terima kasih banyak.
Semoga Tuhan memberkati kita semua. Semoga damai tercurah kepada kita.
Terima kasih banyak.