Ribuan Anak Direkrut Jadi Mesin Pembunuh di Kolombia

- Penembak calon presiden Kolombia mengaku tidak bersalah
- Kelompok bersenjata rekrut anak-anak dengan janji palsu atau pemaksaan
- Upaya pemerintah Kolombia atasi kekerasan terhadap anak
Jakarta, IDN Times - Penembakan brutal terhadap senator Kolombia dan calon presiden Miguel Uribe Turbay pada 7 Juni telah mengejutkan dunia. Namun, identitas tersangka jauh lebih mengejutkan karena pelakunya adalah seorang remaja laki-laki berusia 15 tahun.
Kasus ini mengingatkan kembali pada sejarah kelam kekerasan di Kolombia, yang banyak melibatkan perekrutan anak-anak oleh kelompok bersenjata untuk melakukan tindak kejahatan, baik dari organisasi narkoba, gerilyawan sayap kiri, pasukan paramiliter, maupun kelompok kriminal bersenjata.
1. Penembak calon presiden Kolombia mengaku tidak bersalah
Kasus penembakan Senator Turbay, yang kini masih dalam kondisi kritis, hanyalah satu dari banyak kasus yang melanda Kolombia sejak dahulu. Setelah remaja berusia 15 tahun itu ditangkap, ia berteriak, "saya melakukannya demi uang untuk keluarga saya," dan mengaku tidak merasa bersalah atas tindakannya.
Saat ini, pihak berwenang tengah memburu pelaku sebenarnya yang menjadi dalang percobaan pembunuhan terhadap Senator Turbay, jika perkataan remaja itu terbukti benar. Insiden ini terjadi di tengah peningkatan perekrutan anak-anak oleh kelompok bersenjata.
Dilansir BBC, kantor ombudsman Kolombia melaporkan bahwa setidaknya terdapat 409 anak-anak dan remaja yang direkrut oleh kelompok bersenjata, meningkat dari 342 kasus pada 2023.
Namun, angka tersebut mungkin jauh lebih tinggi, mengingat surat kabar Kolombia, El Tiempo, pernah melaporkan bahwa terdapat 1.953 anak di bawah umur yang hilang pada 2024 dan banyak yang belum ditemukan.
Selama puluhan tahun, ribuan anak di Kolombia menjadi korban kekerasan dan perekrutan oleh kelompok bersenjata dan kriminal. Setidaknya dilaporkan terdapat 16.900 kasus perekrutan anak di Kolombia sejak 1962. Kebanyakan anak-anak tersebut berusia antara 12 dan 17 tahun dengan jumlah12.950 kasus, yang terdiri dari 49,7 persen pelajar dan 26,6 persen adalah anak perempuan.
2. Kelompok bersenjata rekrut anak-anak dengan janji palsu atau pemaksaan
Meski anak-anak yang direkrut kerap berasal dari latar belakang yang serupa, terdapat perbedaan metode perekrutan antara perkotaan dan pedesaan. Banyak remaja perkotaan yang bergabung secara sukarela karna terpikat dengan janji palsu kelompok bersenjata untuk meningkatkan status sosial dan ekonomi.
Sementara itu, remaja pedesaan direkrut melalui paksaan atau karena kurangnya akses informasi dan pendidikan, sehingga membuat mereka mudah bergabung dengan kelompok bersenjata.
Geneva International Centre for Justice (GICJ) juga mengungkap faktor lain yang membuat anak-anak bergabung, seperti kekerasan di rumah, kekerasan seksual, keinginan membela kampung halaman, serta tidak adanya peran pemerintah sehingga daerah tersebut dikuasai oleh kelompok bersenjata.
Menurut Max Yuri, direktur Institut Studi Politik di Universitas Antioquia, kelompok bersenjata banyak merekrut anak-anak di bawah umur karena mereka adalah tenaga kerja yang murah dan mudah digantikan. Selain itu, mereka juga mudah dibentuk atau dipengaruhi, sehingga sering ditugaskan dalam kejahatan teror.
Yuri menambahkan, mereka juga dilibatkan dalam berbagai kegiatan kriminal, mulai dari logistik senjata, peredaran narkoba, pemerasan, hingga pembunuhan bayaran.
3. Upaya pemerintah kolombia atasi kekerasan terhadap anak
Kekerasan dan perekrutan paksa terhadap anak-anak di Kolombia telah berlangsung selama 60 tahun, yang banyak disebabkan oleh konflik berkepanjangan. Oleh sebab itu, perdamaian antara pihak negara dan kelompok bersenjata non-negara merupakan cara terbaik untuk mengurangi kekerasan terhadap anak-anak.
Upaya utama dari pemerintah Kolombia adalah Perjanjian Damai 2016 dengan Angkatan Bersenjata Revolusioner Kolombia, yang menghasilkan Yurisdiksi Khusus untuk Perdamaian untuk mengadili kejahatan perang, termasuk perekrutan anak di bawah umur.
Pemerintah juga mengubah pendekatannya dengan mengakui anak-anak yang direkrut sebagai korban konflik bersenjata, bukan pelaku kejahatan, serta memulihkan mereka dengan program demobilisasi dan reintegrasi dari Institut Kesejahteraan Keluarga Kolombia.
Meski sudah diperkuat dengan hukum nasional dan konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa, tantangan kekerasan terhadap anak di bawah umur masih menghampiri Kolombia, karena kelompok-kelompok bersenjata baru terus melanjutkan perekrutan yang akan menghambat terwujudnya perdamaian.