Rusia Sebut Demonstran Ingin Lakukan Kudeta di Georgia

Jakarta, IDN Times - Rusia, pada Senin (2/12/2024), mengklaim demonstran pro-Barat di Georgia berniat mengkudeta pemerintahan Partai Georgian Dream. Moskow juga mengklaim petugas kepolisian di Georgia hanya menjalankan tugasnya.
Sebelum pemilu, Rusia sudah menyatakan dukungannya kepada Partai Georgian Dream untuk terus berkuasa di Georgia. Bahkan, Moskow menuding Amerika Serikat (AS) berniat memicu kerusuhan dan revolusi di negara Kaukasus Selatan itu usai pemilu.
1. Sebut demonstrasi di Georgia mirip peristiwa Maidan di Ukraina
Juru Bicara Kepresidenan Rusia, Dmitry Peskov, mengatakan bahwa perkembangan terkini di Georgia memiliki kesamaan dengan peristiwa Maidan di Ukraina pada 2014.
"Sebuah upaya jelas dilakukan untuk merusak stabilitas politik di Georgia, kami sudah melihat perkembangan seperti ini di beberapa negara. Aksi ini sama seperti peristiwa Maidan di Ukraina dan terlihat jelas adanya upaya mengadakan revolusi warna," tuturnya, dikutip Tass.
Ia menambahkan, pemerintah Georgia sedang mengupayakan dan mengambil kebijakan untuk menstabilkan situasi. Ia menyebut, Rusia tidak mengintervensi apapun terkait dan situasi saat ini adalah urusan internal Georgia.
Sementara itu, Kremlin masih melacak adanya penangkapan warga Rusia di tengah demonstrasi anti-pemerintah di Georgia. Ia menyebut warga Rusia tersebut sudah melanggar hukum dengan ikut demonstrasi dan menyerang kantor parlemen.
2. PM Kobakhidze sebut UE berusaha memeras negaranya
Menanggapi sanksi dari Uni Eropa (UE) dan AS, Perdana Menteri (PM) Georgia Irakli Kobakhidze mengatakan, pemerintahannya tidak menolak aksesi keanggotaan UE. Namun, penangguhan ini karena adanya upaya pemerasan dari UE.
"Georgia tidak menunda aksesi dan jika UE membuka dialog aksesi sekarang, maka saya akan menandatanganinya. Saya melihat adanya upaya dari Duta Besar UE di Georgia Pawel Herczynski yang melakukan pemerasan dan mendukung kampanye disinformasi terhadap oposisi radikal dan organisasi non-profit, serta media mereka," ungkapnya, dilansir Civil.
Dia juga mengatakan penangguhan kerja sama strategis dengan AS hanya berlaku sementara. Ia mengklaim pemerintahan Donald Trump berbeda dan akan berdialog dengan pemerintah baru di AS.
"Pemerintahan petahana berusaha meninggalkan warisan sulit bagi pemerintahan Trump, seperti yang suadh dilakukan di Ukraina. Sekarang mereka juga melakukannya di Georgia. Kami akan menunggu hingga pemerintahan baru di AS dan berbicara semuanya," tandasnya.
3. Negara Baltik jatuhkan sanksi kepada pejabat Georgia
Pada hari yang sama, negara-negara Baltik, meliputi Estonia, Latvia, dan Lithuania menetapkan sanksi kepada belasan pejabat Georgia. Sanksi ini termasuk kepada oligarki Georgia, Bidzina Ivanishvili karena memperbolehkan polisi melakukan kekerasan kepada demonstran.
"Rakyat Georgia harus mempertahankan haknya karena partai penguasa berbohong secara sistematis dalam waktu lama dan rakyat memiliki hak untuk menyuarakan perasaannya dalam demonstrasi. Kekerasan terhadap demonstran di Georgia adalah pelanggaran hak asasi manusia (HAM)," tutur Menteri Luar Negeri Estonia, Margus Tshakna, dilansir Politico.
Dalam beberapa hari terakhir, polisi anti-huru-hara di Georgia sudah mencoba membubarkan massa dengan gas air mata dan meriam air. Sejumlah jurnalis disebut menjadi target kekerasan dari polisi dan puluhan demonstran dipukul.
Tak hanya itu, lebih dari 200 demonstran sudah ditangkap dalam demonstrasi kali ini. Ombudsman Georgia mengatakan bahwa 80 persen orang yang ditangkap mendapatkan kekerasan dan perlakuan tidak manusiawi dari polisi.