Peru Tolak Teken Kesepakatan Pembelian Vaksin AstraZeneca, Kenapa?

Harga vaksin COVID-19 yang ditawarkan disebut terlalu mahal

Jakarta, IDN Times - Pemerintah Peru ogah menandatangani kesepakatan pembelian bakal vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca. Perdana Menteri Walter Martos mengatakan perusahaan farmasi asal Inggris itu gagal menyediakan data bakal vaksin yang diminta oleh pemerintah. Selain itu, AstraZeneca hanya bisa menyediakan vaksin COVID-19 lebih sedikit dibandingkan perusahaan farmasi lainnya. Belum lagi, harga jual vaksinnya yang ditawarkan ke Pemerintah Peru lebih mahal. 

"Mereka menawarkan kami pasokan vaksin dalam jumlah yang sangat sedikit bila dibandingkan dengan laboratorium yang lain. Sedangkan, laboratorium lain bisa menawarkan jumlah pasokan lebih banyak dengan harga yang lebih rendah," ungkap PM Martos yang dikutip dari laman Russia Today (RT) pada Minggu (25/10/2020). 

Selain itu, Martos juga mengklaim AstraZeneca mewajibkan adanya pembayaran uang muka di awal. Uang itu bisa saja hilang bila tidak memenuhi standar keamanan yang ditentukan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO). 

Pernyataan serupa sempat disampaikan oleh mantan Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, dr. Achmad Yurianto ketika berbicara kepada IDN Times melalui telepon pada Kamis, 22 Oktober 2020 lalu. Indonesia rencananya akan memesan 100 juta vaksin COVID-19 dari AstraZeneca. Namun, meski belum diputuskan secara resmi, pria yang akrab disapa Yuri itu mengatakan klausul serupa tertuang di dalam kontrak pembelian vaksin buatan AstraZeneca. 

Lalu, apa langkah Pemerintah Peru usai tak jadi memesan vaksin buatan AstraZeneca? Sebab, Peru menjadi satu dari beberapa negara tempat dilakukannya uji klinis tahap ketiga vaksin buatan AstraZeneca. 

1. Menkes Peru mengeluhkan AstraZeneca tak memberi laporan secara detail

Peru Tolak Teken Kesepakatan Pembelian Vaksin AstraZeneca, Kenapa?Ilustrasi vaksin atau jarum suntik (IDN Times/Arief Rahmat)

Pernyataan PM Martos itu disampaikan usai adanya keluhan dari Menteri Kesehatan Peru Pilar Mazzetti yang menyebut kurang memperoleh informasi mengenai pembuatan vaksin COVID-19 dari AstraZeneca. Bila itu yang terjadi, maka tidak bisa tercapai kesepakatan pembelian vaksin seperti yang diharapkan. 

Selain itu, Menkes Mazzetti juga menyoroti komplikasi yang dihadapi dalam uji klinis AstraZeneca di dua negara. Satu relawan dokter meninggal akibat terpapar COVID-19. Belakangan ia diketahui tidak menerima suntikan vaksin, melainkan hanya plasebo. 

Satu kasus lainnya menimpa relawan di Inggris yang mengalami penyakit yang tidak diketahui usai diimunisasi dengan vaksin COVID-19 buatan AstraZeneca. Meski sempat disetop sementara untuk dilakukan penyelidikan oleh komite independen, uji klinis tahap ketiga kembali dilanjutkan. 

Baca Juga: Indonesia Batal Beli Vaksin COVID-19 dari AstraZeneca, Kenapa?

2. Peru sempat menyepakati akan menjadi tempat untuk uji klinis AstraZeneca

Peru Tolak Teken Kesepakatan Pembelian Vaksin AstraZeneca, Kenapa?Perusahaan farmasi AstraZeneca pbs.org

Belum diketahui apakah penolakan pembelian vaksin AstraZeneca oleh Pemerintah Peru akan berpengaruh terhadap rencana uji klinis tahap ketiga vaksin tersebut. Stasiun berita CNN pada 4 September 2020 lalu melaporkan kesepakatan itu sempat diumumkan oleh Kementerian Luar Negeri Peru. 

Mereka mengatakan sudah berkomunikasi dengan AstraZeneca sejak Juli 2020 lalu. 

"Uji klinis yang akan dilakukan di Peru akan menjadi perpanjangan dari fase ketiga yang sedang dirampungkan di AS di mana mereka akan melakukan terhadap 30 ribu relawan," demikian pernyataan Kemenlu pada September lalu. 

Selain berkomitmen melakukan uji klinis dengan AstraZeneca, Peru juga menjadi tempat uji klinis untuk perusahaan farmasi Sinopharm dan Jonhson & Jonhson. 

3. Peru catatkan 34.095 pasien meninggal akibat COVID-19

Peru Tolak Teken Kesepakatan Pembelian Vaksin AstraZeneca, Kenapa?Ilustrasi virus corona (IDN Times/Arief Rahmat)

Berdasarkan data dari situs World O Meter per hari ini, Peru mencatat 886.214 warga telah terpapar COVID-19, di mana 34.095 pasien meninggal dunia. Selain itu, ada 803.846 pasien yang berhasil sembuh. Data itu menandakan Peru menjadi salah satu negara di Amerika Latin yang belum berhasil mengendalikan pandemik COVID-19.

PM Martos pun mengakui 35 persen dari populasi Peru sudah memiliki antibodi COVID-19. Artinya, mereka telah terinfeksi penyakit tersebut. 

Meski begitu, ia mendorong publik agar tidak cepat berpuas diri. Ia menjelaskan masih ada 60 persen hingga 65 persen warga yang rentan terpapar COVID-19. 

Sementara, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan, hingga kini hampir ada 180 kandidat vaksin untuk COVID-19. Tetapi, hingga kini belum ada yang menuntaskan uji klinis tahap ketiga dan memperoleh izin edar.

WHO sudah menyatakan, mereka memprediksi vaksin COVID-19 tidak akan bisa diedarkan pada tahun ini. Sebab, butuh waktu untuk memastikan keamanan dan kemanjuran vaksin tersebut sebelum diproduksi massal. 

Sementara, kelompok yang terdiri dari sembilan perusahaan farmasi yang sedang mengembangkan vaksin COVID-19 meneken sebuah kesepakatan bersejarah. Kesepakatan itu berisi janji dalam penemuan vaksin COVID-19, masing-masing perusahaan farmasi akan mengedepankan ilmu sains dan standar etik. 

Sembilan perusahaan farmasi itu yakni AstraZeneca, Johnson & Johnson, BioNTech, GlaxoSmithKline, Pfizer, Merk, Moderna, Sanofi, dan Novavax. Kesepakatan itu dicapai di tengah tekanan dari Presiden Amerika Serikat Donald J. Trump, yang menginginkan agar vaksin COVID-19 segera didistribusikan sebelum pemilu pada 3 November 2020. 

Baca Juga: Ironis! Relawan Vaksin AstraZeneca di Brasil Meninggal karena COVID-19

Topik:

  • Dwifantya Aquina

Berita Terkini Lainnya