Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Satu Orang Tertembak akibat Bentrok Polisi-Demonstran di Myanmar

Pengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.
Pengunjuk rasa menggelar aksi protes terhadap kudeta militer di Kota Yangon, Myanmar, Sabtu (6/2/2021). Mereka menuntut pembebasan pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi. ANTARA FOTO/REUTERS/Stringer/wsj.

Jakarta, IDN Times - Pasukan keamanan Myanmar mulai menggunakan pendekatan represif, untuk membubarkan gelombang demonstrasi yang terjadi di berbagai daerah. Sejumlah media asing melaporkan, polisi telah menembakkan peluru karet dan gas air mata pada Selasa, 9 Februari 2021.
 
Masyarakat sipil menentang kudeta militer yang diinisiasi Panglima Angkatan Darat Jenderal Min Aung Hlaing pada Senin, 1 Februari 2021. Aksi yang terjadi di banyak daerah menuntut militer kembali ke barak, sekaligus membebaskan tahanan politik dari Partai Liga Nasional Demokrasi, termasuk pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi.
 
Di Naypyidaw--ibu kota terpencil yang dibangun rezim militer, seorang saksi mengaku melihat polisi menembakkan peluru karet ke arah pengunjuk rasa, setelah sebelumnya membubarkan mereka dengan meriam air.
 
"Mereka melepaskan tembakan peringatan ke langit dua kali, kemudian mereka menembak (ke arah pengunjuk rasa) dengan peluru karet," kata seorang penduduk kepada AFP, dan menambahkan dia melihat beberapa orang terluka.

Sementara itu, dikutip dari Reuters, seorang dokter melaporkan perempuan yang tertembak di kepala dan kecil kemungkinan diselamatkan. Ada juga tiga orang lainnya yang masih mendapat perawatan, setelah mengalami tembakan peluru karet di tengah bentrokan antara polisi dengan massa.  

1. Berikut gambaran aksi di berbagai daerah

default-image.png
Default Image IDN

Di Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar, polisi menembakkan gas air mata untuk membubarkan pengunjuk rasa.
 
Di kotapraja San Chaung Yangon, sejumlah guru berbaris di jalan utama melambaikan salam tiga jari yang terinspirasi dari film Hunger Games, sebagai simbol pembebasan atas rezim diktator.
 
Aksi mogok kerja juga dilakukan tenaga kesehatan di lebih dari 70 rumah sakit yang tersebar di 30 kota. Mereka menolak tunduk terhadap rezim yang lebih mementingkan kepentingan politik dibanding kesehatan masyarakat di tengah pandemik COVID-19. Padahal, Myanmar tergolong salah satu negara dengan kasus virus corona terbanyak di Asia Tenggara.
 
"Kami telah memutuskan. Kami akan berjuang sampai akhir. Generasi berikutnya hanya bisa memiliki demokrasi jika kami mengakhiri kediktatoran militer ini,” kata Ye Kyaw, mahasiswa berusia 18 tahun, sebagaimana dilaporkan Channel News Asia, Minggu, 7 Februari 2021. 

2. Militer menjanjikan pemilu yang adil

default-image.png
Default Image IDN

Sepekan setelah melancarkan kudeta, Min Aung muncul di hadapan publik dengan menjanjikan pemilihan umum (pemilu) yang adil demi demokrasi yang kuat dan disiplin. Dia juga memastikan, rezim darurat yang ia pimpin saat ini akan berbeda dari rezim junta militer yang sempat menguasai Burma selama lima dekade.  
 
“Setelah tugas masa darurat selesai, pemilihan umum multipartai yang bebas dan adil akan diselenggarakan sesuai konstitusi,” ujarnya, dikutip dari The Bangkok Post.  
 
Janji seperti itu bukan pertama kali keluar dari mulut Min Aung. Ketika NLD menguasai pemerintahan, dia sempat berjanji mendukung reformasi konstitusi 2008 yang memberikan berbagai hak istimewa kepada militer pada ranah politik. Seperti jatah 25 persen di parlemen hingga otoritas untuk menunjuk sejumlah menteri.

3. Militer membatasi aspirasi masyarakat

default-image.png
Default Image IDN

Iming-iming transisi demokrasi disertai dengan ancaman. Menghadapi anti-kudeta yang semakin masif, pihak militer memperingatkan bahwa penentangan terhadap junta adalah pelanggaran hukum. Mereka menegaskan, tindakan tegas harus diambil terhadap aktivitas yang mengancam stabilitas dan ketertiban umum.
 
Militer juga sempat membatasi jaringan internet agar masyarakat tidak bisa menyebarkan atau menerima informasi melalui Facebook, media sosial yang paling banyak digunakan di negara ini. Sebelum menggelar aksi di jalanan, masyarakat telah memulai protes dengan menabuh panci dan pot di depan rumah, ritual yang diyakini mampu mengusir setan dan roh jahat.
 
Sebagai informasi, kudeta merupakan puncak dari ketegangan antara fraksi militer dengan pemerintahan sipil. Fraksi militer menuding NLD memenangi pemilu secara tidak adil atas bantuan 8,6 juta suara dari pemilih fiktif. Atas dasar itulah Min Aung berdalih kudeta militer adalah hal yang tidak dapat terhindarkan untuk melindungi negara.
 
Beberapa hari setelah kudeta, Suu Kyi dijerat pasal pidana atas tuduhan mengimpor alat komunikasi ilegal, sehingga dia harus dipenjara hingga 15 Februari. Upaya kriminalisasi juga dialamatkan kepada Presiden Win Myint atas tuduhan melanggar undang-undang kedaruratan, karena menggelar kampanye yang menyebabkan keramaian di tengah pandemik pada 2020.
 
Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres berjanji untuk mengerahkan segala cara untuk menggagalkan perebutan kekuasaan secara inkonstitusional ini.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us