Sempat Anggap COVID-19 Hoaks, Kini Kematian di AS Tertinggi Sedunia

Jakarta, IDN Times - Di awal-awal kemunculan virus corona, Presiden Amerika Serikat Donald Trump sempat menyangsikan musibah itu akan masuk ke negaranya. Bahkan, Trump sempat menyebut pandemi COVID-19 sebagai hoaks.
Tetapi, kini Negeri Abang Sam dihadapkan dengan fakta negaranya sudah menjadi episentrum baru virus corona. Bahkan, sejak Minggu (12/4), AS mencatat kematian tertinggi pasien akibat COVID-19. Angka kematian sudah menembus 20 ribu.
Berdasarkan data dari situs World O Meter per (13/4), angka kematian akibat COVID-19 tercatat sudah menembus angka 22.115 orang. Angka itu sudah melampaui tingkat kematian di Italia yakni 19.899 dan Spanyol 17.209.
Negara bagian New York menjadi penyumbang kematian tertinggi di Amerika Serikat dengan angka 9.385 orang. Apa yang menyebabkan tingkat kematian akibat COVID-19 di AS begitu tinggi? Padahal, negara itu selalu mengklaim memiliki fasilitas kesehatan terbaik di dunia.
1. Presiden Trump lambat mengambil tindakan dalam 6 minggu pertama usai virus itu masuk ke AS

Menurut catatan harian Inggris, The Guardian pada (28/3) lalu, Presiden Trump terkesan menyepelekan virus corona ketika ada laporan seorang warga AS sudah terinfeksi. Virus corona kali pertama terdeteksi masuk AS pada (20/1) lalu.
Adalah seorang pria berusia 35 tahun dan tinggal di Washington yang kali pertama terpapar virus itu. Ia baru saja kembali dari Wuhan, Tiongkok untuk mengunjungi keluarganya. Lalu, apa respons Trump ketika menerima laporan itu?
"Kita bisa kok mengendalikannya. Itu hanya satu orang yang baru tiba dari Tiongkok. Semuanya akan baik-baik saja," ungkap Trump ketika diwawancarai stasiun berita CNBC ketika itu.
Satu pekan usai pernyataan Trump itu, harian Wall Street Journal (WSJ) menerbitkan sebuah opini yang ditulis oleh mantan dua pejabat kesehatan di AS. Di dalam artikel berjudul "Bertindak Sekarang untuk Mencegah Epidemi di AS", dua pejabat yang diketahui bernama Luciana Borio dan Scott Gottlieb memaparkan secara detail apa saja yang seharusnya dilakukan oleh mogul properti itu.
Prioritas utama yang seharusnya dilakukan oleh Presiden Trump, menurut dua ahli itu, yakni bekerja sama dengan pihak swasta untuk membuat rapid test yang mudah untuk digunakan. Langkah serupa sudah dilakukan lebih dulu oleh Pemerintah Korea Selatan ketika mengetahui warganya juga terinfeksi virus itu.
Tetapi, saran itu baru dijalankan oleh Trump pada (29/2) lalu. Artinya, satu bulan usai artikel opini di WSJ terbit. Jeda empat pekan itu, menurut The Guardian akan tercatat dalam sejarah sebagai konsekuensi buruknya kualitas seorang pemimpin.
2. Pemkot New York melakukan pemakaman massal karena jumlah pasien yang meninggal membludak

Maka, AS pun kini kewalahan untuk mengatasi membludaknya pasien COVID-19 yang meninggal dunia. Mereka pun tidak memiliki tempat untuk memakamkan semua jenazah itu secara layak. Maka, dipilih lah sebuah pulau terpencil di Pulau Hart, New York sebagai tempat pemakaman.
Menurut pejabat berwenang di New York seperti dikutip stasiun berita BBC pada (12/4) lalu, jasad yang dimakamkan di sana merupakan pasien yang tidak lagi memiliki keluarga dekat. Area itu memang sudah digunakan selama 150 tahun terakhir untuk memakamkan jenazah yang tidak memiliki keluarga.
Menurut juru bicara Departemen Kehakiman, Jason Kersten biasanya hanya 25 jenazah yang dimakamkan di pulau yang berlokasi di Long Island Sound. Namun, sejak pandemik corona, angkanya melejit menjadi 24 jenazah yang dimakamkan setiap hari. Bahkan, setiap pekan ada 5 kali aktivitas pemakaman.
Biasanya petugas yang melakukan pemakaman adalah para napi dari Rikers Island. Tetapi, karena jumlah jenazah yang dimakamkan meningkat pesat, maka otoritas berwenang terpaksa harus menyewa dari kontraktor khusus.
Otoritas berwenang tidak memiliki data berapa banyak jenazah yang tidak memiliki keluarga dekat atau tak mampu membiayai sebuah pemakaman yang layak. Wali Kota New York, Bill de Blasio lebih memilih untuk langsung memakamkan mereka tanpa menunggu waktu lebih lama. Sebab, bila tidak dimakamkan, jenazah itu berpotensi akan menularkan virus.
Petugas yang memakamkan pun harus menggunakan pakaian hazmat suit lengkap agar tidak ikut tertular. De Blasio mengatakan mereka membutuhkan tempat sementara waktu untuk memakamkan jenazah itu.
"Tempat yang paling jelas yang sering kami gunakan sejak dulu di Pulau Hart," kata dia.
3. Reputasi Amerika Serikat sebagai negara adidaya terancam hancur di bawah kepemimpinan Trump

Dampak lainnya yang akan dirasakan oleh AS lantaran kegagalan Trump mengatasi pandemik virus corona yakni reputasinya sebagai negara adidaya akan hancur. Menurut penilaian ahli hubungan internasional dari Universitas Harvard, Professor Stephen Walt, respons awal yang menyebut wabah virus corona hoaks dikritik secara luas di dalam dan luar negeri.
Reputasi AS sebagai negara yang aman, terpercaya dan mitra internasional yang kompeten pun hancur.
"Ciri pemerintahan Trump yang fokus ke dirinya sendiri, serampangan, dan tuli terhadap respons (COVID-19), akan menyebabkan Amerika kehilangan triliunan dollar dan ribuan kematian yang sesungguhnya bisa dicegah," kata Walt seperti dikutip dari The Guardian.
Bahkan, kemampuan AS sebagai negara yang tahu bagaimana cara mengatasi segala sesuatunya dengan efektif turut hancur dari peristiwa pandemik virus corona ini. Bahkan, cara Trump yang tidak jujur dalam mengatasi pandemik virus corona dengan membajak pasokan masker bagi Jerman, turut membuat negara itu marah.
Kanselir Jerman Angela Merkel sempat ngamuk ketika 200 ribu masker pelindung bagi tenaga medis yang harusnya tiba di negaranya malah tiba-tiba menghilang di Thailand. Yang terjadi kemudian pengiriman masker itu malah dialihkan ke AS. Hingga saat ini memang belum ditemukan bukti, peristiwa tersebut didalangi oleh Trump. Tetapi, publik percaya ia mampu melakukan hal itu.