Ukraina Tepis Desakan AS Adakan Pemilu Usai Gencatan Senjata

- Penasehat Komunikasi Ukraina membantah desakan AS untuk pilpres setelah gencatan senjata, belum menilai keterangan tersebut.
- Presiden Ukraina menolak negosiasi langsung dengan Rusia, ingin melibatkan pemerintah Ukraina dalam perundingan.
- Pemilu di Ukraina akan masuk dalam perjanjian perdamaian dengan Rusia, tetapi hanya jika ada jaminan keamanan setelah peperangan berakhir.
Jakarta, IDN Times - Penasehat Komunikasi Ukraina, Dmytro Lytvyn, pada Minggu (2/2/2025), membantah adanya desakan Amerika Serikat (AS) untuk mengadakan pilpres setelah gencatan senjata. Ia mengaku belum dapat menilai secara penuh keterangan tersebut.
Sebelumnya, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy menolak keterangan dari Presiden AS Donald Trump soal negosiasi langsung dengan Rusia soal perang di Ukraina. Ia mengklaim bahwa negosiasi mengenai negaranya harus melibatkan pemerintah Ukraina.
1. Klaim rencana akan gagal jika hanya untuk mengintimidasi Putin
Lytvyn mengatakan, belum melihat secara penuh wawancara dari Perwakilan AS untuk Urusan Ukraina dan Rusia, Keith Kellogg. Ia menyebut bahwa rencana itu akan gagal jika hanya untuk mengintimidasi Presiden Rusia Vladimir Putin.
"Kami belum melihat wawancara Tn. Kellogg secara penuh, hanya melihat beberapa kata-katanya. Maka, sulit untuk dinilai posisinya. Namun, jika rencananya hanya mengenai gencatan senjata dan pemilu, maka rencana itu akan gagal karena Putin tidak akan terintimidasi dari dua hal itu. Moskow akan mencari cara untuk mengalihkan sanksi dan mendapatkan uang dari minyak dan menyerang negara tetangganya yang demokratik," terangnya, dikutip Ukrinform.
Ia menambahkan, Ukraina sangat mengharapkan pendekatan yang lebih mendalam dari rekan pentingnya, seperti AS. Ia pun menginginkan agar Trump bersedia menekan Putin dalam mengupayakan perdamaian di Ukraina.
2. Kellogg sebut pemilu masuk dalam perjanjian perdamaian Ukraina-Rusia

Sebelumnya, Kellogg sudah mengatakan bahwa Trump akan mampu mengakhiri perang di Ukraina dalam hitungan bulan. Ia mengungkapkan, pemilu di Ukraina akan masuk dalam perjanjian perdamaian dengan Rusia.
"Negara paling demokratik tentu tetap menyelenggarakan pemilu di tengah peperangan. Saya pikir ini mereka (Ukraina) juga harus melakukannya dan ini baik untuk demokrasi. Ini adalah sebuah demokrasi yang solid dan Anda harus memiliki lebih dari satu orang yang berkompetisi dalam pemilu," tuturnya, dilansir TVP World.
Presiden Zelenskyy sempat mengungkapkan bahwa Ukraina dapat menyelenggarakan pemilu pada akhir tahun ini. Namun, pemilu hanya dapat dilangsungkan setelah peperangan di Ukraina berakhir dan adanya jaminan keamanan.
Ia pun menyebut bahwa mayoritas rakyat Ukraina juga akan menolak ide penyelenggaraan pemilu di tengah berlangsungnya peperangan.
3. Rubio sebut rakyat Ukraina lebih bersatu di tengah peperangan
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan bahwa kedua belah pihak harus saling memahami dan berkompromi untuk mengakhiri peperangan dan bersedia melakukan negosiasi damai.
"Ini adalah sebuah kebohongan Ukraina dapat mengalahkan Rusia dan kembali kepada situasi sebelum 2014. Seluruh publik Ukraina diharuskan mempercayai pada informasi tersebut. Sementara, AS sudah ikut dalam mendanai pembekuan yang membuat Ukraina mundur 1 abad yang lalu," tuturnya.
Meski begitu, Rubio yakin bahwa Ukraina mampu bangkit usai gencatan senajta. Ia pun mengklaim bahwa negara Eropa Timur itu akan lebih kuat dibandingkan 10 atau 20 tahun lalu sebagai sebuah negara.
Ia menambahkan, pembangunan karakter nasional di Ukraina sebagai sebuah negara jauh lebih baik dibanding sebelumnya dan lebih bersatu. Ia menyebut, Ukraina saat ini jauh lebih bersatu dibanding ketika baru merdeka pada 1991.