WHO: Ada Risiko Lonjakan Kasus Demam Berdarah di Myanmar

- Risiko penyebaran penyakit demam berdarah di Myanmar pascagempa.
- WHO mengerahkan bantuan dan tim medis ke wilayah yang dilanda gempa.
- Gempa yang terjadi pada 28 Maret menewaskan ribuan orang.
Jakarta, IDN Times – Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperingatkan terkait risiko penyebaran penyakit demam berdarah di Myanmar pascagempa yang terjadi sebulan lalu.
Berbicara dalam jumpa pers pada Jumat (25/4/2025), perwakilan WHO untuk Myanmar, Thushara Fernando, mengatakan bahwa tren ini bisa muncul karena musim hujan di kawasan pengungsian. Ia khawatir karena ribuan orang masih berada di pengungsian saat ini.
"Risiko wabah penyakit menular meningkat tajam. Dengan semakin dekatnya musim hujan, ancaman demam berdarah dan malaria menjadi kenyataan," kata Fernando saat di Jenewa, Swiss, dilansir dari Anadolu Agency.
1. Kondisi terburuk di pengungsian dikhawatirkan akan terjadi

Puluhan ribu warga Myanmar kini masih dalam kondisi yang rentan pascagempa. Banyak di antaranya tinggal di tenda-tenda yang terbuat dari lembaran plastik, berdiri di samping genangan air tanpa kelambu atau sanitasi yang memadai.
"Saat hujan, mereka tidak bisa tidur. Saat hujan berhenti, mereka takut angin akan menghancurkan satu-satunya tempat berlindung mereka," tambah Fernando.
Ia mengatakan bahwa beberapa penyakit telah diidentifikasi berada di kawasan pengungsian. Salah satunya adalah diare akut yang mengidap sebagian besar warga.
Tanpa intervensi segera, kata Fernando, kondisi terburuk bisa saja terjadi.
2. WHO telah kerahkan 170 ton bantuan darurat
WHO sejauh ini telah mengerahkan sekitar 170 ton bantuan ke wilayah yang dilanda gempa berkekuatan 7,7 magnitudo tersebut. Selain itu, 22 tim medis darurat juga telah dikerahkan dan kampanye pencegahan demam berdarah termasuk 6,2 ton larvasida dan 500 kelambu tenda berinsektisida juga telah disebarkan.
Meski begitu, WHO merasa hal tersebut belum cukup. WHO meminta dana sebesar 8 juta dolar AS (Rp134 miliar) untuk mempertahankan operasi dan mencegah munculnya krisis kesehatan sekunder.
"Keadaan darurat masih jauh dari selesai. Kita punya tanggung jawab untuk menyamakan kekuatan rakyat Myanmar dengan komitmen kita sendiri, bukan hanya untuk merespons, tetapi juga untuk memulihkan," kata Fernando.
3. Gempa susulan diprediksi masih berlanjut

Dilansir dari UN News, gempa yang terjadi pada 28 Maret tersebut menewaskan sedikitnya 3.700 orang, melukai 4.800 lainnya, dan menyebabkan 129 orang masih hilang. Pekerja kemanusiaan memperkirakan jumlahnya kemungkinan jauh lebih tinggi karena kurangnya pelaporan.
Lebih dari 140 gempa susulan telah mengguncang wilayah tersebut sejak gempa awal. Kondisi ini memperburuk dampak psikologis, terutama pada anak-anak dan keluarga pengungsi.
“Gempa susulan yang kuat dan sering terjadi terus mengguncang wilayah tengah Myanmar hampir setiap hari, meningkatkan ketakutan dan ketidakpastian,” kata Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA).
OCHA menambahkan bahwa ada kekhawatiran gempa susulan mungkin akan terus berlanjut selama berbulan-bulan setelah gempa besar tersebut. Hal ini mengingat Myanmar berada di wilayah yang secara tektonik sangat aktif.