Multilateralisme, Satu Hari Lagi

Perspektif Bayu Krisnamurthi 17 Juni 2022

Sidang tingkat Menteri WTO (World Trade Organization) Juni 2022 di Jenewa, Swiss diperpanjang satu hari. Sidang yang semula direncanakan berakhir 16 Juni, diperpanjang dan baru akan ditutup hari ini, Jumat 17 Juni 2022.

Banyak yang mengartikan hal itu sebagai sebuah tanda bahwa memang multilateralisme sedang bermasalah, atau bahkan sudah tamat.

Multilateral adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan hubungan internasional di antara banyak negara. Sebagai kontras adalah bilateral, yaitu hubungan antara dua negara. Dan keduanya saling berkaitan.

Banyak yang menggunakan kesepakatan multilateral sebagai basis untuk membangun hubungan bilateral, dan banyak yang menggunakan bilateral untuk mewujudkan (“mematerialisasikan”) apa-apa yang disepakati di multilateral.

Kesepakatan bilateral hampir selalu akan berhadapan dengan pertanyaan ‘bagaimana cara penyelesaian jika ada ketidak-sepahaman atau perselisihan dalam perjalanan kesepakatan?’ Jawaban terbaiknya ‘akan diselesaikan di forum multilateral’.

Atau jika ada pertanyaan ‘apa rujukan yang dipakai untuk membangun kesepakatan bilateral yang tentunya penuh dengan adu kepentingan diantara negara yang ingin bersepakat?’ Maka jawabannya ‘menggunakan ketentuan dalam kesepakatan multilateral’.

Pada pidato Pembukaan Konferensi Tingkat Menteri ke 12 (12th Ministerial Conference / MC12) Direktur Jenderal WTO, Ngozi Okonjo-Iweala, mengatakan pernah terpikir bahwa MC12 itu tidak akan terjadi. Bukan hanya karena Pandemi, tetapi juga karena berbagai permasalahan yang dihadapi dalam membangun dan menjaga semangat perundingan, serta keinginan untuk mencapai kesepakatan.

Dirjen WTO menegaskan MC12 adalah saat pembuktian bahwa multilateralisme bekerja dan berguna, memberi manfaat pada dunia.

Tetapi harapan Ibu Ngozi itu sungguh tidak mudah. Pertama, WTO menghadapi masalah besar yang menggunung, yang belum pernah mencapai setinggi saat ini dalam sejarah sebelumnya: ketidakpercayaan yang sangat besar di antara para anggotanya. Hampir semua anggota masih percaya bahwa multilateralisme itu penting dan perlu, tetapi kepercayaan atas struktur, kerangka dan perilaku WTO yang ada saat ini semakin rendah. WTO dipandang tidak berhasil menjalankan fungsinya, justru karena kerangka dan tatakelola WTO sendiri. Tatakelola dan ‘landscape’ pengaturan dalam proses pengambilan keputusan di WTO harus dirubah. WTO harus direformasi.

Kedua, permasalahan teknis-rinci dari beberapa isu yang dibahas di WTO memang pelik dan penuh dengan pertentangan kepentingan. Misalnya, soal subsidi atau domestic-support pertanian. Agenda yang telah dibahas bertahun-tahun ini belum juga dapat diselesaikan. WTO acap kali mengimbau agar subsidi pertanian yang bersifat distortif dikurangi menuju dihilangkan. Negera-negara berkembang diharapkan dapat mematuhi ‘kesepakatan’ itu.

Tetapi nyatanya negara-negara maju justru terus mempertahankan bahkan memperbesar subsidi pertaniannya, hingga mencapai nilai subsidi per petani atau per kilogram produk yang jumlahnya berlipat kali kemampuan negara berkembang memberikan subsidi kepada petaninya. Dan sangat jelas, hal tersebut adalah karena kepentingan politik domestik mereka sendiri. Sangat tidak adil.

Memang permasalahan di WTO bukan hanya soal subsidi. Dan memang telah ada beberapa kemajuan, setidaknya ditandai dengan beberapa ‘joint statement initiatives’ (JSI) yang dibuat beberapa negara. Di antaranya, tentang perdagangan dan pemberdayaan ekonomi perempuan, fasilitasi investasi, perniagaan elektronik, pengaturan domestik tentang jasa, dan tentang perdagangan bagi usaha mikro kecil. Juga telah ada inisiatif terkait perdagangan dan kelestarian lingkungan, perdagangan dan pengurangan polusi plastik, serta reformasi subsidi bahan bakar fosil.

Text draft kesepakatan terkait subsidi hingga penghapusan “illegal, unreported, unregulated’ (IUU) perikanan juga telah diedarkan. Demikian pula text draft kesekian dari kesepakatan perjanjian pertanian yang baru. Kesemuanya juga telah dikaitkan dengan usaha ‘mengembalikan ke jalurnya’ (back on the track) sekaligus mengakselerasi pencapaian SDGs serta sebagai bagian dari usaha pemulihan dari krisis akibat pandemi. Namun tampaknya belum ada perubahan fundamental yang berarti.

Di ujung waktu MC12, masih belum terasa harapan yang lebih besar selain dari semangat yang terus coba disebarkan Ibu Ngozi, perempuan dan orang Afrika pertama yang menjadi DG WTO.

Multilateralisme via WTO telah mendapat kesempatan satu hari lagi. Kita masih bersepakat bahwa multilateralisme dan WTO masih dibutuhkan. Tetapi bukan multilateralism yang ada sekarang. Bukan WTO yang tanpa reformasi.

Baca Juga: Reformasi WTO, Indonesia Dukung Perdagangan Multilateral

Topik:

  • Umi Kalsum

Berita Terkini Lainnya