New Normal atau Great Reset? Pemulihan Ekonomi Pasca COVID-19

Catatan Bayu Krisnamurthi 12 Juni 2020

Jakarta, IDN Times - Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi atau Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), awal Juni 2020, mengeluarkan perhitungan mereka atas prakiraan Kondisi Ekonomi Dunia (Global Economic Outlook) tahun 2020 yang sangat suram.

Pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan akan minus 6-7,6 persen dan perdagangan barang dan jasa akan turun minus 9-11 persen. Pembatasan mobilitas dan perjalanan yang harus dilakukan untuk merespons COVID-19 telah menyebabkan penurunan drastis dalam kegiatan ekonomi, sehingga terjadi ‘social-economic crisis causes by health crisis’.

Rantai pasok global terhenti, kesenjangan dan utang meningkat, dan tingkat kepercayaan ekonomi menurun. Diperkirakan negara Perancis, Inggris, Spanyol dan Italia akan menjadi negara dengan tingkat penurunan ekonomi terbesar, mencapai sekitar 11-14 persen. Ekonomi Amerika Serikat akan turun hingga 7-9 persen. Diingatkan juga bahwa penurunan ekonomi kali ini secara khusus akan sangat memukul kelompok pekerja muda.

Pembukaan kegiatan ekonomi secara terbatas akan membuat ekonomi kembali bergerak. Akan ada bentuk pemulihan model “V”. Tetapi, mengingat bisnis pariwisata, bisnis perjalanan darat dan udara, dan beberapa bisnis lain belum dapat berjalan, maka capaian pemulihan itu akan sangat terbatas. Ujung “huruf V” sebelah kanan akan lebih rendah dari sebelah kirinya (kondisi sebelum krisis).

Sekjen OECD, Angel Gurria, yang telah menjabat hampir 15 tahun, dalam konferensi persnya mengingatkan bahwa usaha pemulihan tidak seharusnya diarahkan untuk menuju ke keadaan normal. Menurutnya, apa yang disebut normal, jika itu artinya adalah keadaan sebelum COVID-19, adalah justru yang membuat krisis saat ini demikian berat.

Dia memberi contoh, polusi udara telah membunuh lebih dari 4 juta orang sebelum COVID-19 dan masalah-masalah yang timbul karena polusi itu pula yang telah membuat sebagian korban COVID-19 tidak terselamatkan. Demikian pula masalah krisis lingkungan dan kesenjangan yang masih tetap menjadi masalah antargenerasi paling serius yang harus ditangani selama dan setelah COVID-19.

Pemerintah seharusnya membuat pilihan agar penanganan krisis COVID-19 sekaligus juga memberi pengaruh positif pada penanganan krisis lingkungan dan kesenjangan itu. Pendeknya, respons terhadap krisis kali ini tetap harus mampu mengubah agar pertumbuhan ekonomi dapat lebih berdaya tahan (resilience), inklusif (inclusive), dan berkelanjutan (sustainable).

Sejalan itu, Prof Klaus Schwab, pendiri dan Ketua Eksekutif Forum Ekonomi Dunia (World Economic Forum), menawarkan “Great Reset” sebagai jawaban atas krisis multidimensi kali ini. Prof Schwab punya pengaruh besar dalam khazanah perdebatan pemikiran dan strategi. Salah satu yang pernah dia ajukan adalah Revolusi Industri 4.0 yang kemudian menjadi sangat popular dan dirujuk oleh sangat banyak pemikiran, diskusi, dan program di seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Tawaran “Great Reset” itu diperkirakan akan kembali punya pengaruh besar karena akan menjadi tema dari Pertemuan Tahunan Davos dari WEF awal tahun 2021. Dalam beberapa hari ini diskusi mengenai hal itu juga mulai meluas. IDN Times, multi-media platform berkedudukan di Jakarta, misalnya, telah membuat sejumlah diskusi “New Normal atau Great Reset” dengan menampilkan beberapa menteri, tokoh nasional dan orang-orang muda yang mendapat sambutan positif dari Millennial dan Gen-Z.

Kata “reset”, disama-artikan dalam Bahasa Indonesia, dengan “menganjak”, “atur ulang”, atau “memasang kembali”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “menganjak” artinya memindahkan, terutama untuk tanaman, termasuk memindahkan dari tempat persemaian ke kebun atau sawah; atau berarti 'bergerak', yang juga terkait dengan makna pada kalimat "anak itu telah 'beranjak' dewasa".

Tampaknya kita akan sepakat bahwa pemulihan sosial ekonomi kita harus dengan cara ‘menganjak’, memindahkan model dan gerak ekonomi menjadi lebih baik, bukan kembali ke “normal” yang sama dengan kondisi sebelum krisis.

Ekonomi harus lebih cerdas (smarter) dengan mendayagunakan teknologi bernilai tambah serta memperhitungkan kemungkinan adanya guncangan besar agar ekonomi menjadi lebih berdaya tahan (resilience). Ekonomi juga juga perlu lebih menyertakan seluruh pelaku mikro, kecil, menengah dan besar (inclusive) secara lebih adil (fairer). Dan jelas perlunya ekonomi menjadi lebih berkelanjutan (sustainable) dalam arti benar-benar diarahkan untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs).

Dalam pertanian, menganjak tanaman jelas bentuk kegiatan dan pergerakannya. Pada tanaman padi, setelah 21-25 hari, bibit harus dipindahkan dari persemaian ke sawah agar tanaman dapat tumbuh optimal dan produktif. Pada tanaman sawit proses menganjak berlangsung pada umur bibit 12-14 bulan. Jelas kegiatannya, jelas waktunya.

Namun untuk perekonomian hal itu sangat berbeda dan sulit. Apalagi pada ekonomi yang tengah mengalami hantaman hebat dan menurun sedemikian dalam. Kita bisa sepakat tidak memilih ‘kembali ke normal’ dan melakukan ‘great reset’, memilih untuk ‘menganjak’.

Tetapi bagaimana caranya? 

Penulis adalah Pakar Ekonomi Pertanian, Dosen IPB

Topik:

  • Umi Kalsum
  • Septi Riyani

Berita Terkini Lainnya