Keputusan The Fed yang Bikin Susah Negara-Negara di Dunia

Belum lama berselang, Ketua FED Jerome Powell mengemukakan dalam suatu acara jumpa pers, bahwa dewan memutuskan mempertahankan suku bunga Fed saat ini sebesar 5,25 – 5,50 persen sampai waktu yang tidak diutarakan. Ini disebabkan sampai kini sasaran untuk mencapai laju inflasi 2 persen belum tercapai.
Tentu saja ini pengumuman yang tidak diharapkan dan tidak disukai pasar, utamanya pada negara-negara ekonomi berkembang, karena sudah beberapa waktu mereka harus bekerja keras menghadapi menguatnya US$ dengan langkah-langkah intervensi di pasar valuta asing. Intervensi jelas menyusutkan cadangan devisa, dan meningkatkan suku bunga perbankan. Bahkan sekutu AS, Jepang lebih menderita lagi karena Yen terpuruk nilainya terhadap US$. Di Indonesia hal tersebut juga dirasakan di pasar dan tentu saja juga menyibukkan Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valas dan menahan suku bunga yang sedianya sudah akan diturunkan untuk mendorong pertumbuhan.
Tampaknya kerja keras dari otoritas moneter negara-negara berkembang harus terus
dilakukan, sampai kapan belum diketahui. Penyebab utamanya dari aspek politik global jelas karena serang menyerang dengan misil dan drone antara Israel dan Iran yang terus
berjalan. Demikian pula serangan tentara Israel yang juga terus dilakukan terhadap Hamas di Gaza serta di Rafah, wilayah penyeberangan untuk masuk Gaza melalui Mesir. Kalau semua ini mengacaukan ekonomi keuangan negara-negara berkembang, bagaimana dengan dampaknya buat penduduk Palestina di Gaza, kesengsaraan terus menerus tanpa ada habisnya.
Buat negara-negara berkembang kerja keras otoritas moneter harus terus dilakukan. Tentu
buat negara-negara yang sebelumnya berhati-hati dalam pengelolaan ekonomi moneternya. Jika mempunyai cadangan devisa yang cukup ya lebih merasa aman, sedangkan yang tidak tentu lebih menderita.
Kerjasama yang rapi antara otoritas fiskal dan moneter harus dijaga. Sebagaimana telah pernah saya sebutkan dalam keuangan modern dengan berbagai piranti baru seperti ‘quantitative easing atau QE’ sampai batas tertentu otoritas moneter bisa membantu fiskal, tetapi tidak mungkin meggantikannya. Tugas Menkeu semakin berat, koper keuangan negara tidak boleh terkuras, penerimaan pajak harus terus ditingkatkan.
Karena itu tetaplah waspada, ‘be eclectic’ seperti diajarkan guru managemen, Peter Drucker, dan dipraktikkan para gubernur bank sentral yang bagus kerjanya, layaknya Allan Greenspan dan Ben Bernanke. Yang pasti, dalam dunia yang sarat risiko dan ketidakpastian pengelola ekonomi keuangan tidak bisa bersikap kaku, doktriner, hanya mengandalkan suatu jurus, melainkan harus pandai dan lentur, eklektik agar selamat.
Dalam situasi masih banyak berkecamuknya konflik dan pertikaian bersenjata seperti di Timur Tengah dan Ukraina, siapa tahu nanti kalau Rusia lebih nekat menyerang negara-negara Balkan. Ini tentu membuat rute shipping melalui Laut Merah yang terhenti karena
tidak aman penuh gangguan, Britist Petroleum dan Dannish Cargo Co Maersk tidak berani
melewati Laut Merah, dan memindahkan rutenya memutar melalui Cape of Good Hope di
ujung Afrik. Jarak pelayaran menjadi 5.000 mil lebih panjang dari lewat Laut Merah, yang tentu meningkatkan biasa shipping sangat tinggi. Indonesia yang mengandalkan impor energi, dan juga pupuk urea serta gandum dari Ukraina dan daerah sekitar, sangat menderita dengan semua ini.
Tanpa usaha diplomasi yang lebih gigih dari negara-negara besar semua ini tidak akan terselesaikan dan masalah yang terus berlarut berdampak sangat merugikan bagi banyak negara, termasuk Indonesia. Tidak ayal lagi semua terkait satu sama lain, dan dalam kondisi konflik seperti ini suatu upaya diplomasi yang terkoordinasi harus dilakukan untuk meredakan ketegangan, memungkinkan gencatan senjata dan akhirnya menghasilkan perdamaian. Di mana memungkinkan suatu bangsa seperti Palestina dan yang lain seperti Israel bisa hidup berdampingan dengan damai untuk masyarakat bersama yang sejahtera. Ya, ini lamunan, tetapi apa lagi yang bisa kita harapkan? Semoga.
Dalam beberapa hal dan dalam batas-batas tertentu, cara baru perdagangan yang
menggunakan mata uang nasional masing-masing bisa membantu semua yang bersedia
melaksanakan, minimal tidak tergantung dengan tersedianya US$. Negara-negara BRICS,
Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan telah berhasil melaksanakan hal inidan melaporkan bahwa akhir-akhir ini perdagangan mereka dengan cara ini mencapai US$260 miliar. Indonesia dan negara-negara ASEAN juga melaksanakan hal ini dengan Jepang, Korea Selatan dan China yang tentu mengurangi kebutuhan kita dalam devisa US$. Ya, untungnya di era modern ini terus berkembang teknik-teknik baru untuk mengatasi keterbatasan dengan hanya menggantungkan cara-cara lama dalam perdagangan.
Dengan keputusan The Fed yang tidak mengubah suku bunga ini yang juga sangat menderita adalah Jepang, karena Bank of Japan menerapkan suku bunga yang mendekati nol persen. Karena itu, Yen Jepang terdepresiasi sangat dalam sebagai implikasi dari kebijakan Fed. Karena itu otoritas moneter negara-negara berkembang harus senantiasi mengikuti secara saksama gerakan, atau perubahan kebijakan The Fed.
Saya belum membaca reaksi dari ECB maupun Bank of England mengenai hal ini, yang jelas semua harus selalu waspada, mengikuti kebijakan The Fed dan siap melakukan perubahan yang diperlukan. Itulah eklektisisme agar kita tidak kelabakan karena lengah dan penderitaan akan lebih besar. Tampaknya, meskipun dalam arti yang tidak positif, US$ masih mendominasi kondisi keuangan-moneter secara global, suka atau tidak suka, itu suatu kenyataan. Dradjad, 09/05/2024.
Guru Besar Ekonomi Emeritus FEBUI, Jakarta, dan Guru Besar Tamu Ekonomi Internasional, S. Rajaratnam School of International Studies (RSIS), Nanyang Technological University (NTU), Singapore.