Suara Helm Aneh saat Mudik Lebaran ke Bandung

Jakarta, IDN Times - Tahun 2018 jadi kali pertama saya merasakan mudik Lebaran. Sebab, per November 2017, saya merantau ke Jakarta untuk bekerja di salah satu media.
Ramadan untuk pertama kalinya saya lalui tak bersama orang tua. Tarawih kadang sendiri, buka puasa pun kadang tak jelas menunya apa, tetapi semua itu saya nikmati sebagai bagian dari perjalanan kehidupan.
Sampai akhirnya, momen Lebaran tiba. Tentu, saya yang saat itu masih lajang harus mudik. Apalagi, jarak Jakarta-Bandung juga tak terlalu jauh. Saat bingung memutuskan naik apa, rekan saya di kantor tiba-tiba menepuk bahu saya.
"San, bade uih sasarengan moal? (San, mau mudik bareng tidak?)" ujar orang itu, yang dikenal dengan nama Adhi Daryono di kantor.
"Walah, siap kang. Sae eta. Emang akang bade uih tumpak naon? (Waduh, siap kang. Mantep itu. Emangnya akan mau pulang naik apa?)" ujar saya yang terkejut dengan kehadirannya.
"Abi bade numpak motor, jadi ngkin Sandy ngarencangan abi dugi ka Bandung, ti Bandung ka Banjar abi nyalira (Saya mau naik motor, jadi Sandy nanti nemenin saya sampai Bandung, dari Bandung ke Banjar saya sendiri)," ujar Kang Adhi.
Wah ajakan menarik nih. Lalu, tentu saya tanya perkara ongkos kepadanya. Dengan enteng, Kang Adhi menjawab, "Tenang, ngan 30 rebu hungkul San udunanna ker bengsin (Tenang, cuma Rp30 ribu San patungannya, buat bensin)," ujar Kang Adhi.
Langsung saja saya mengiyakan ajakan tersebut. Kami pun bersepakat untuk mudik Lebaran 2018 bersama-sama, setidaknya sampai Bandung.
****
Tibalah hari yang ditentukan. Pada pukul 05.30 pagi WIB, kami bertemu di kantor yang berlokasi di Jatipadang, Pasar Minggu. Harusnya pukul 05.00 WIB, tetapi Kang Adhi kebablasan tidur setelah sahur.
"Hampura nya, San (maaf ya, San)," ujar Kang Adhi setibanya di kantor.
"Nya, kalem kang, teu nanaon (tidak apa-apa)," ujarku sambil menyeka wajah yang masih mengantuk. Terang saja, aku baru selesai piket malam saat itu.
Sesuai kesepakatan, Kang Adhi akan membawa motor sampai Karawang. Selepas itu, giliran aku membawa motor sampai ke Bandung. Jika dihitung, kami membagi porsi perjalanan kami setengah-setengah.
Dimulailah perjalanan kami. Kalibata, Pancoran, Tebet, kami lewati pagi itu. Namun, memasuki Kalimalang, aku merasa ada yang aneh dengan Kang Adhi. Dia membawa motor tersendat-sendat.
"Kenapa ya, ni orang?" gumamku dalam hati.
Coba kuintip sedikit ke depan, dan betapa kagetnya aku, melihat Kang Adhi sempat terlelap sebentar ketika membawa motor. Kondisi ini terus berlanjut saat kami lepas dari Kota Bekasi, masuk ke Tambun, lalu ke Cibitung.
Memasuki Cikarang, tepatnya depan Stasiun Lemahabang, segera kutepuk pundaknya. Dia pun tampak seperti orang sembuh dari kesurupan. Dia langsung tersadar.
"Di mana ieu, San? (Di mana ini, San?)," tanya Kang Adhi kepadaku.
"Alah siah, teu apal kang? Ieu geus di Cikarang (Waduh, akang tidak tahu? Ini sudah di Cikarang)," ujarku kepadanya sambil menepuk-nepuk pundaknya terus.
Buntutnya, saya pun menyarankan agar kami beristirahat di Indomaret terdekat. Kami menepi, membeli tisu basah untuk menyegarkan wajah. Saat menepi, saya melihat Kang Adhi memerhatikan tukang bubur dengan lekat.
"Rek buka kang? Sok teu nanaon da perjalanan jauh keneh atuh akang mah (Mau buka kang? Sok tidak apa-apa, perjalanan masih jauh buat akang)," tawarku kepadanya.
"Ah henteu, San. Sok we hayu lanjut (Ah gak San, ayo lanjut)," ujarnya, sembari pandangannya masih tak teralihkan dari tukang bubur itu.
Sekarang, gantian saya yang membawa motor, tidak jadi di Karawang. Saya lekatkan tas di belakang punggung, agar bisa dipeluk Kang Adhi sewaktu-waktu dia mengantuk. Jadi, dia bisa tidur untuk sementara.
Saya pacu motor dengan cepat. Kondisi saat itu pukul 08.00 WIB, motor melaju membela Kedunggedeh, kemudian bergerak mendekati perbatasan Bekasi-Karawang. Saya menikmati betul perjalanan ini.
Akhirnya, terasa sudah bagaimana rasanya jadi pemudik. Saya mengedarkan pandangan sembari kagum, ternyata Cikarang punya atmosfer yang sehidup ini. Saya kira, Cikarang itu hanya berisikan pabrik-pabrik saja.
Tak lama, kami memasuki Karawang. Kami tidak masuk kota, melainkan masuk ke Jalan Lingkar Tanjungpura, Karawang. Di sinilah, saya merasa ada suara helm yang aneh.
Saat saya sedang menggeber motor, tampak ada suara tok-tok-tok di belakang helm saya. Awalnya, saya kira itu suara motor bermasalah, entah dari CVT atau dari ban motor (sekadar informasi, kami pakai Vario).
Rupanya, setelah saya menoleh ke belakang, saya sadar bahwa itu adalah suara helm Kang Adhi yang mematok helm saya. Sontak saya tertawa, dan itu sempat membangunkan Kang Adhi. Ketika itu, kami masih di Jalan Lingkar Karawang.
"Kang, tibra sarena? (Kang, nyenyak tidurnya?)," godaku ke Kang Adhi.
"Aduh, aduh, hampura San. Kasarean duh (Aduh, aduh, maaf San. Ketiduran nih)," jawabnya.
Tak lama terbangun, ternyata dia tertidur lagi, dan suara tok-tok-tok itu masih berlanjut. Kali ini kudiamkan, dan suara mengganggu itu terus berlanjut sampai kami masuk Cikampek, Purwakarta, Cikalongwetan, bahkan jelang Padalarang.
****
Jelang memasuki Padalarang, saya menengok ke arah Kang Adhi. Masih tidur rupanya dia. Untung tidak terjerembab ke belakang. Kuhitung, total dua jam setengah dia tidur dari Karawang hingga ke Padalarang.
Kini, giliran mata saya yang agak mengantuk. Tepat sebelum masuk Stasiun Padalarang, saya menepikan motor dan membangunkannya.
"Kang Adhi, hudang euy. Gantian lah urang nu tunduh ayeuna (Kang Adhi, bangun dong. Gantianlah sekarang saya yang ngantuk nih)," ujar saya.
Tak lama kemudian, dia terbangun. Sambil celingukan, dia bertanya kepada saya sudah sampai mana kami. Saya sebut, hampir masuk Padalarang. Dia langsung terkesiap, turun dari motor, dan mencuci muka dengan air mineral.
"Aduh San, hampura deui euy kalah tibra sare (Aduh San, maaf lagi eui, malah nyenyak tidur saya)," kata Kang Adhi.
"Teu nanaon kang, sok gantian we buru (Gak apa-apa kang, ayo cepat gantian)," ujar saya.
Kini, giliran Kang Adhi yang ada di balik kemudi. Saya pun sempat turun dan meluruskan kaki dulu. Pegal juga membawa motor sambil menahan satu kardus dan satu tas di depan.
Setelah itu, kami melaju lagi. Saya hanya terhenyak untuk sementara, tidak tertidur pulas, dan akhirnya selang satu setengah jam dari situ, kami sampai di Cicaheum, Bandung.
Saya pun beranjak pulang. Lalu, saya sempat menawarkan Kang Adhi untuk singgah, tetapi dia memilih melanjutkan perjalanan. Dari Cicaheum, masih butuh empat sampai lima jam lagi menuju Banjar.
****
Mudik memang kerap menyajikan cerita unik. Ada yang pakai Bajaj, ada yang pakai sepeda, dan ada juga yang pakai kendaraan unik lainnya. Cerita inilah yang berbuah pengalaman unik.
Nah, bagi saya, mudik bersama Kang Adhi inilah yang paling berkesan. Selain perdana merasakan mudik, saya baru tahu, ternyata tidur sambil memeluk tas selama perjalanan di motor itu enak betul ya.