Cerita Ramadhan: Nekat Puasa Penuh, Berujung Mokel di Bawah Meja!

Bulan Ramadan selalu menjadi momen spesial bagi mayoritas umat Muslim, termasuk aku. Kali ini, aku akan mengajak teman-teman kembali ke tahun 2005 atau 2006. Kala itu, aku masih duduk di kelas 2 SD.
Kewajiban berpuasa sudah dianjurkan oleh kedua orangtuaku sejak dini. Alih-alih disarankan puasa setengah hari, mamaku menyarankan untuk berpuasa satu hari full. Semua berjalan cukup mudah saat libur sekolah, tapi itu tidak bertahan lama.
Suatu hari, terik matahari di daerah Situ Gintung, Jakarta Selatan membuat rasa haus datang lebih cepat. Terlebih, aku membutuhkan waktu tiga puluh menit berjalan kaki dari rumah ke sekolah.
Sesampainya di sekolah, aku masih berhasil menahan godaan teman-teman yang makan di dalam kelas. Tapi semua godaan itu berhasil terpatahkan setelah pulang ke rumah dengan berjalan kaki selama tiga puluh menit. Terik matahari membuat tenggorokanku terasa kering.
Melihat kondisi rumah yang cukup sepi, aku mengambil segelas air dan menuntaskan rasa dahaga. Beruntung, kedua orangtua, kakek, nenek, bahkan adik-adikku tidak ada di sana. Kebiasaan ini aku lakukan selama beberapa hari. Kolong meja makan menjadi lokasi favoritku untuk menjalankan aksi ini. Sampai suatu hari, aksi tak terpuji ini disaksikan oleh mamaku.
Terbongkar jika kegiatan mokel alias membatalkan puasa di siang hari ini sudah kulakukan selama beberapa hari. Dengan sabar, walaupun sedikit kecewa, mamaku berkata jika perbuatan itu tidak baik. Saat itu, aku merasa bersalah dan berkata tidak akan mengulangi kegiatan mokel itu lagi.
Namun, perkataanku itu tidak bisa dipegang. Lagi-lagi aku memutuskan mokel di siang hari. Saat itu, aku kira tidak ada orang di lantai satu. Kedua orangtua dan adikku ada di lantai dua, sedangkan nenek, serta kakekku di dalam kamar.
Tiba-tiba, papaku turun ke bawah dan memergoki aksi mokel-ku. Karena aksiku itu, aku harus menerima hukuman berdiri di teras rumah dalam kondisi pintu di kunci. Saat itu, aku merasa tidak terima sampai menangis. Terlebih karena di luar sedang hujan deras.
Sekitar 30 menit aku menangis, sampai akhirnya kakekku membukakan pintu dan membiarkan aku masuk. Dengan sabar, kakekku berkata jika tindakan yang aku lakukan tidak terpuji. Hukuman berdiri di luar saat hujan membuatku jera dan tidak mau mokel lagi.
Statement soal nenek atau kakek yang tidak tega melihat cucunya menangis ternyata juga pernah aku alami. Saat menulis opini ini, aku teringat almarhum kakekku yang telah berpulang beberapa tahun lalu.
Alih-alih mokel, seharusnya aku bisa berterus terang jika belum kuat berpuasa full. Bukannya pura-pura melaksanakan puasa full sehari, tapi sebenarnya sudah melepas dahaga di bawah meja makan di siang hari.
Jika dipikir-pikir, kebiasaan puasa Ramadan full, bukan setengah hari sejak dinimembuatku terbiasa. Berkat itu, saat masih kecil, sebelum mendapatkan tamu bulanan, aku bisa menjalankan puasa Ramadan 30 hari full. Meski rasa lapar dan haus tetap datang.