Berapa Nominal Uang Belanja Realistis untuk Jadi Istri yang Tepat?

- Harga pasar menentukan besar kecilnya uang belanja
- Jumlah anggota keluarga memengaruhi kebutuhan belanja
- Perbedaan lokasi tinggal membentuk standar pengeluaran
“Rp10 ribu di tangan istri yang tepat” menjadi topik hangat di media sosial setelah muncul video seorang ibu rumah tangga yang menunjukkan belanja dengan nominal tersebut. Ia membeli satu papan tempe dan satu ikat kangkung, lalu menyimpan sisa uangnya. Konten ini memicu perdebatan karena ternyata sang suami mengeluarkan Rp15 ribu per hari untuk rokok, jumlah yang lebih besar dari uang belanja keluarga.
Banyak warganet menilai kondisi ini tidak masuk akal, terutama karena sang ibu sedang mengandung dan harus mengatur gizi keluarga dengan dana yang nyaris tidak cukup untuk makan sehari. Fenomena ini memunculkan pertanyaan serius seberapa realistis uang belanja untuk kebutuhan rumah tangga di situasi ekonomi saat ini? Berapa sebenarnya nominal uang belanja realistis untuk jadi istri yang tepat di masa kini? Apakah mungkin keluarga bisa hidup layak dengan nominal yang sedemikian kecil? Berikut penjelasan lengkap yang dapat memberi gambaran lebih nyata tentang biaya hidup sekarang.
1. Kondisi harga pasar menentukan besar kecilnya uang belanja

Harga bahan makanan di Indonesia tidak lagi serendah dulu. Data rata-rata di pasar tradisional kota besar menunjukkan harga kangkung Rp3 ribu–Rp4 ribu per ikat, tempe Rp6 ribu–Rp8 ribu per papan, tahu putih Rp5 ribu per potong besar, sedangkan cabai rawit bisa mencapai Rp60 ribu per kilogram saat harga melonjak. Jika belanja dengan Rp10 ribu, ibu rumah tangga hanya mampu membawa pulang satu lauk nabati dan sayur sederhana, tanpa bumbu pelengkap yang juga memerlukan biaya tambahan.
Dalam kondisi ini, mengharapkan menu bergizi seimbang hampir mustahil. Seorang ahli gizi merekomendasikan kebutuhan protein hewani minimal 50–60 gram per orang per hari, yang tidak bisa dipenuhi hanya dengan tempe dan kangkung. Artinya, wacana “istri yang tepat” dengan uang Rp10 ribu per hari lebih menyerupai slogan kosong ketimbang saran realistis. Ini menyoroti betapa jauhnya konten tersebut dari kondisi harga di pasar yang sebenarnya.
2. Jumlah anggota keluarga memengaruhi kebutuhan belanja

Belanja untuk dua orang dewasa tentu berbeda dengan belanja untuk keluarga dengan anak-anak. Misalnya, keluarga kecil dengan dua orang dewasa bisa saja mengatur pengeluaran harian Rp30 ribu dengan menu sederhana berupa sayur bening, tempe goreng, dan nasi. Namun, bila ada satu anak kecil, biaya meningkat karena anak membutuhkan susu, buah, serta protein hewani untuk mendukung pertumbuhan. Harga telur ayam saat ini berkisar Rp28 ribu–Rp30 ribu per kilogram yang hanya cukup untuk 14 butir, sementara daging ayam potong mencapai Rp38 ribu–Rp42 ribu per kilogram.
Jika keluarga terdiri dari lima orang, kebutuhan belanja minimal bisa mencapai Rp60 ribu–Rp80 ribu per hari hanya untuk bahan masak sederhana. Itu belum termasuk minyak goreng, beras, garam, gula, dan gas elpiji yang juga rutin digunakan. Dengan demikian, klaim bahwa Rp10 ribu bisa mencukupi belanja keluarga bukan hanya tidak masuk akal tetapi juga mengabaikan kebutuhan dasar anggota keluarga lain yang seharusnya dipenuhi.
3. Perbedaan lokasi tinggal membentuk standar pengeluaran

Tinggal di kota besar dengan harga pangan tinggi membuat pengeluaran lebih berat dibandingkan di desa. Di Jakarta, cabai rawit saat musim paceklik bisa mencapai Rp80 ribu per kilogram, bawang merah Rp40 ribu–Rp45 ribu per kilogram, dan tomat Rp12 ribu–Rp15 ribu per kilogram. Di kota kecil atau daerah pedesaan, harga cabai mungkin hanya Rp40 ribu–Rp50 ribu per kilogram dan sayuran bisa lebih murah karena pasokan langsung dari petani lokal.
Selain harga, pilihan tempat belanja juga berpengaruh. Keluarga di perkotaan lebih sering berbelanja di minimarket atau supermarket karena alasan praktis, namun harganya lebih tinggi daripada pasar tradisional. Jadi, uang belanja Rp50 ribu yang terasa cukup untuk membeli bahan makan sehari di desa bisa terasa sangat terbatas di kota besar. Ini menunjukkan bahwa wacana “istri yang tepat” tidak dapat dilepaskan dari konteks geografis yang memengaruhi biaya hidup.
4. Kebiasaan konsumsi rumah tangga berperan besar dalam pengeluaran

Bukan hanya harga yang memengaruhi, tetapi juga kebiasaan keluarga dalam mengonsumsi makanan. Keluarga yang terbiasa memasak sendiri di rumah dapat menghemat biaya dibandingkan keluarga yang sering membeli makanan jadi. Namun, untuk memasak sendiri pun tetap memerlukan modal bahan yang tidak sedikit, terutama jika ingin menu bergizi lengkap.
Sebagai contoh, memasak sendiri sayur sop dengan wortel, kentang, kol, dan sedikit ayam bisa menghabiskan sekitar Rp25 ribu untuk empat porsi. Jika semua anggota keluarga makan tiga kali sehari, setidaknya dibutuhkan variasi lauk agar tidak bosan, yang berarti biaya bertambah. Sebaliknya, bila sering makan di warteg atau pesan makanan, satu kali makan per orang bisa mencapai Rp20 ribu di kota besar. Untuk keluarga empat orang, biaya makan tiga kali sehari bisa menembus Rp240 ribu. Ini memperlihatkan bahwa pengaturan gaya hidup lebih menentukan besar kecilnya biaya, bukan sekadar menuntut istri untuk pandai mengatur uang belanja kecil.
5. Prioritas keuangan suami istri mencerminkan keseimbangan rumah tangga

Ketika nominal uang belanja harian jauh lebih kecil daripada anggaran rokok, pulsa, atau hobi, muncul tanda bahwa kebutuhan rumah tangga belum menjadi prioritas. Dalam kasus viral tadi, uang rokok Rp15 ribu sehari lebih besar daripada uang untuk makan keluarga, yang memicu reaksi warganet. Situasi ini memperlihatkan bahwa masalah bukan pada kemampuan istri mengatur belanja, melainkan pada pembagian prioritas keuangan di dalam rumah tangga.
Pasangan suami istri sebaiknya menyepakati pengeluaran yang adil dengan mendahulukan kebutuhan pokok seperti bahan makanan bergizi, perlengkapan dapur, dan tabungan darurat. Menjadi istri yang tepat bukan berarti sanggup memeras uang belanja sekecil-kecilnya, tetapi tercapainya keseimbangan peran dan kesadaran bersama untuk mendahulukan kebutuhan keluarga. Ketika kesepakatan ini tidak terwujud, perempuan sering kali yang paling terbebani secara mental maupun finansial.
Membicarakan nominal uang belanja realistis untuk jadi istri yang tepat perlu melihat kondisi nyata, bukan sekadar viral. Kenaikan harga bahan pokok hingga pola konsumsi memberi dampak besar terhadap kebutuhan belanja harian. Klaim bahwa Rp10 ribu cukup untuk makan keluarga tidak hanya tidak logis tetapi juga berpotensi menormalkan ketidakadilan finansial dalam rumah tangga. Pada akhirnya, yang dibutuhkan adalah kesadaran bersama untuk menetapkan prioritas keluarga secara adil, bukan menuntut perempuan berhemat di luar batas wajar.