Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Benarkah Agama Adalah Candu? Ini Penjelasannya!

ilustrasi beribadah
ilustrasi beribadah (pexels.com/Rodolfo Clix)
Intinya sih...
  • Tan Malaka menempatkan agama sebagai kritik terhadap sistem yang menindas
  • Karl Marx dan pandangan tentang agama sebagai candu rakyat
  • Agama bisa menjadi sumber cahaya, bukan sekadar candu
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Bagi sebagian orang, kalimat “agama adalah candu” terdengar seperti tuduhan keras, bahkan bisa dianggap menghina keyakinan. Namun, di balik pernyataan itu terdapat refleksi mendalam tentang relasi manusia dengan sistem kepercayaan yang mereka anut. Dalam sejarah pemikiran Indonesia, kalimat ini menjadi simbol perdebatan antara iman, rasionalitas, dan kekuasaan. Tan Malaka, salah satu pemikir paling berani di masa kolonial, dalam salah satu karyanya berjudul Madilog, pernah mengucapkan kalimat ini bukan untuk menolak agama, melainkan untuk mengkritik cara agama digunakan dalam sistem sosial yang tidak adil.

Kata “candu” dalam konteks ini sejatinya adalah metafora (pemakaian kata atau kelompok kata bukan dengan arti yang sebenarnya). Ia tidak berbicara soal iman atau spiritualitas, melainkan tentang bagaimana ajaran agama yang seharusnya menuntun justru bisa membuat manusia berhenti berpikir kritis. Banyak orang mengikuti dogma tanpa pernah bertanya, apakah yang dilakukan benar-benar membawa mereka pada kebaikan atau justru menjauhkan dari kemanusiaan itu sendiri. Dari sinilah lahir perdebatan panjang tentang posisi agama dalam kehidupan modern: apakah agama masih menjadi cahaya, atau perlahan berubah menjadi candu yang meninabobokan kesadaran sosial? Berikut penjelasan lebih lanjut yang bisa membantu kamu memahami makna dan konteks di balik kalimat “agama adalah candu.”

1. Tan Malaka menempatkan agama sebagai kritik terhadap sistem yang menindas

Tan Malaka
Tan Malaka (commons.wikimedia.org/Kaliper1)

Tan Malaka tidak pernah menolak nilai-nilai spiritual. Ia justru melihat bahwa agama memiliki potensi besar untuk membebaskan manusia dari kebodohan dan penindasan, asalkan tidak digunakan sebagai alat politik. Dalam bukunya Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika), ia menegaskan bahwa masalah utama bukan pada agama itu sendiri, melainkan pada cara manusia memanfaatkannya. Saat agama dijadikan alat untuk membenarkan ketimpangan, maka fungsinya berubah dari pembebas menjadi penenang yang menumpulkan kesadaran sosial.

Kritik Tan Malaka terhadap penggunaan agama dalam politik berangkat dari realitas masyarakat kolonial yang saat itu hidup dalam kemiskinan dan kebodohan sistematis. Ia menyaksikan bagaimana penguasa menggunakan tafsir agama untuk menenangkan rakyat agar menerima penderitaan sebagai takdir. Kritik ini menunjukkan keberanian berpikir rasional, bahwa iman tidak boleh mematikan nalar. Bagi Tan Malaka, agama seharusnya membuat manusia sadar dan bergerak, bukan diam dan pasrah terhadap ketidakadilan.

2. Karl Marx dan pandangan tentang agama sebagai candu rakyat

Karl Marx
Karl Marx (commons.wikimedia.org/KOKUYO)

Kalimat “agama adalah candu” pertama kali dikenal luas melalui pemikiran Karl Marx, filsuf Jerman yang menulis kritik sosial terhadap kapitalisme. Marx melihat agama sebagai sarana pelarian bagi masyarakat miskin dari realitas pahit yang mereka hadapi. Ia menyebut agama memberi “kebahagiaan semu” yang menenangkan penderitaan tanpa benar-benar menyelesaikan akar masalah sosial. Pandangan ini kemudian banyak disalahpahami seolah Marx menolak keberadaan Tuhan, padahal kritiknya lebih diarahkan pada sistem sosial-ekonomi yang menindas manusia.

Bila dipahami secara kritis, pandangan Marx bukan ajakan untuk meninggalkan agama, melainkan seruan agar manusia berani menghadapi kenyataan hidup secara sadar. Ia ingin masyarakat sadar bahwa perubahan sejati tidak bisa lahir dari doa saja, melainkan juga dari tindakan nyata untuk memperbaiki sistem. Dalam konteks modern, pandangan ini relevan untuk melihat bagaimana sebagian orang menggunakan agama sebagai penghiburan pasif, tanpa diiringi kesadaran sosial dan moral yang aktif.

3. Agama bisa menjadi sumber cahaya, bukan sekadar candu

ilustrasi lilin
ilustrasi lilin (pexels.com/Krizalid Daza)

Meski banyak kritik terhadap fungsi sosial agama, tidak dapat disangkal bahwa agama juga menjadi sumber kekuatan besar bagi banyak orang. Ia memberi arah moral, ketenangan batin, dan nilai kemanusiaan yang menjaga manusia dari kekosongan hidup. Mukti Ali, mantan Menteri Agama Republik Indonesia ke-11 yang tersohor dengan filosofinya mengatakan, "dengan ilmu hidup menjadi mudah, dengan seni hidup menjadi indah, dan dengan agama hidup menjadi terarah." Kalimat itu menandakan bahwa agama seharusnya menjadi pemandu, bukan pengekang.

Ketika ajaran agama dijalankan dengan kesadaran dan empati, ia justru melahirkan masyarakat yang beradab dan berkeadilan. Agama membantu manusia memahami batas antara kepentingan pribadi dan kebaikan bersama. Ia bukan candu yang meninabobokan, melainkan energi moral yang membangunkan. Perbedaannya terletak pada bagaimana manusia memaknai dan menjalankannya. Jika digunakan untuk memperkuat kemanusiaan, agama akan menjadi cahaya yang membebaskan.

4. Agama di era modern: antara spiritualitas dan konten media sosial

ilustrasi simbol tiga agama
ilustrasi simbol tiga agama (unsplash.com/Noah Holm)

Di zaman sekarang, agama tidak hanya menjadi panduan hidup, tetapi juga komoditas sosial. Fenomena ini tampak jelas dalam munculnya tren religius di media sosial, di mana spiritualitas sering dikemas sebagai gaya hidup. Banyak orang berlomba tampil saleh di dunia maya tanpa benar-benar memahami maknanya. Agama menjadi identitas visual yang dijual, bukan nilai yang dijalani. Hal ini membuat spiritualitas kehilangan kedalaman dan berubah menjadi simbol status sosial.

Kondisi tersebut memperlihatkan bahwa sebagian orang mabuk dalam simbol agama namun lupa menjadi manusia yang sebenarnya. Mereka sibuk menghakimi, merasa paling benar, dan lupa bahwa inti agama adalah kasih dan kebijaksanaan. Dalam situasi ini, istilah “agama adalah candu” terasa relevan kembali, bukan karena ajarannya salah, tetapi karena cara sebagian penganut mempraktikkannya menjauh dari substansi. Spiritualitas seharusnya menumbuhkan kesadaran, bukan gengsi rohani.

5. Keseimbangan antara rasionalitas dan iman adalah kunci

ilustrasi taat agama
ilustrasi taat agama (pexels.com/cottonbro studio)

Setiap kepercayaan, apapun bentuknya, membutuhkan keseimbangan antara nalar dan keyakinan. Ketika iman dijalani tanpa berpikir, maka ia berpotensi berubah menjadi fanatisme. Sebaliknya, ketika rasionalitas dijalankan tanpa nilai moral, ia bisa melahirkan keserakahan. Di titik inilah pentingnya memahami bahwa agama dan logika tidak perlu dipertentangkan. Keduanya bisa saling melengkapi dalam membentuk manusia yang utuh.

Tan Malaka melalui Madilog mencoba mengajak masyarakat berpikir dengan logika tanpa kehilangan moralitas. Ia tidak meminta orang meninggalkan agama, melainkan menempatkannya pada posisi yang sehat sumber etika, bukan alat politik. Agama yang sehat justru mendorong manusia bekerja, berpikir, dan berbuat adil. Ketika iman dan akal berjalan beriringan, manusia tidak akan terjebak pada “candu” yang menidurkan kesadaran sosial, melainkan pada keyakinan yang membangunkan kemanusiaan.

Pernyataan “agama adalah candu” seharusnya dipahami sebagai ajakan untuk introspeksi, bukan penghinaan terhadap keimanan. Baik Tan Malaka maupun Marx ingin manusia sadar bahwa keyakinan tanpa kesadaran bisa menjerumuskan. Agama sejatinya hadir untuk menghidupkan nurani, bukan mematikan nalar. Maka pertanyaannya, apakah kamu sudah menjalani agama sebagai sumber kesadaran atau justru terjebak dalam candu?

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Debby Utomo
EditorDebby Utomo
Follow Us

Latest in Opinion

See More

Benarkah Agama Adalah Candu? Ini Penjelasannya!

24 Okt 2025, 15:18 WIBOpinion
potret umat peziarah yang berziarah ke Gua Lourdes, Prancis (commons.wikimedia.org/Fabio Alessandro Locati)

Keajaiban Baru di Lourdes

24 Sep 2025, 10:34 WIBOpinion