Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Akal Imitasi akan Menggantikan Peran Penerjemah, Yakin?

ilustrasi pembelajaran (pexels.com/Mikhail Nilov)
ilustrasi pembelajaran (pexels.com/Mikhail Nilov)
Intinya sih...
  • Akal imitasi hanya mampu menerjemahkan secara cepat, tanpa memperhatikan konteks sosial dan pragmatik yang penting dalam bahasa.
  • Kesalahan penerjemahan bisa berdampak besar terhadap hubungan internasional, seperti insiden mokusatsu yang memicu jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.
  • Mahasiswa bahasa adalah pelindung dan penerus kebudayaan manusia melalui sastra, yang tidak bisa tergantikan oleh mesin.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Mahasiswa bahasa saat ini hidup di zaman yang mulai tergantikan oleh akal imitasi yang punya kemampuan untuk menerjemahkan sesuatu secara cepat. Hal ini menumbuhkan pandangan sinis orang awam yang berpikir bahwa mahasiswa bahasa hanya membuang-buang waktu dan sekadar mengulang pelajaran bahasa yang sudah dipelajari ketika duduk di bangku sekolah. Stigma negatif ini akan memicu kekhawatiran mahasiswa bahasa bahwa dirinya akan sulit mendapatkan pekerjaan.

Namun, apakah benar demikian? Apakah benar lulusan bahasa khususnya para penerjemah benar-benar akan digantikan oleh akal imitasi?

1. Akal imitasi bisa menerjemahkan secara cepat, tetapi tidak dengan konteksnya

ilustrasi orang menulis kanji (pexels.com/Engin Akyurt)
ilustrasi orang menulis kanji (pexels.com/Engin Akyurt)

Penulis yang saat ini sedang menempuh program studi bahasa asing mendapat mata kuliah pengantar linguistik di semester dua. Di mata kuliah tersebut, terdapat dua materi yang sangat penting yaitu pragmatik dan sosiolinguistik. Dua materi tersebut menjelaskan bagaimana bahasa dapat diinterpretasikan oleh orang lain dan masyarakat sehingga meminimalkan kesalahpahaman oleh para pembicara.

Akal imitasi memiliki kemampuan untuk menerjemahkan suatu bahasa ke bahasa lain dengan cepat, tetapi memiliki kemungkinan besar untuk tidak menerapkan kesadaran sosial ketika sedang bekerja.

Di sosiolinguistik, pemilihan bahasa sangat bergantung kepada siapa lawan bicara kita. Jika lawan bicara kita adalah orang kaya, kita akan memilih kata-kata yang menunjukkan rasa hormat. Berlaku juga dengan teman akrab, kita akan cenderung memakai kata-kata sederhana dan jauh lebih umum digunakan yang bahkan kata-kata kasar pun kita gunakan. Kita ambil contoh, ketika fungsi penerjemahan akal imitasi digunakan untuk sosialisasi ke masyarakat yang hanya berpendidikan rendah, masyarakat tersebut akan kesulitan untuk memahami diksi-diksi yang digunakan oleh akal imitasi. Hal ini akan berbeda jika memakai juru bahasa manusia yang sudah berpengalaman, juru bahasa tersebut akan menginterpretasikan dengan diksi-diksi yang sederhana sehingga akan mudah untuk dipahami oleh masyarakat.

Manusia memiliki keunggulan daripada akal imitasi, yaitu menggunakan perasaannya untuk bisa memahami situasi dan konteks sosial yang lebih komprehensif dibandingkan akal imitasi.

2. Nasib hubungan internasional ada di tangan juru bahasa yang cakap

ilustrasi bendera dunia (pexels.com/Lara Jameson)
ilustrasi bendera dunia (pexels.com/Lara Jameson)

Jika kita memerhatikan para pemimpin dunia sedang berdiskusi di forum-forum dunia, kita bisa melihat dengan jelas ada orang ketiga di antara mereka yang sedang berkomunikasi. Orang tersebut memegang peranan yang sangat vital dalam menjaga hubungan. Andaikan juru bahasa salah memilih diksi, konsekuensinya bisa membuat dua negara tersebut saling bertengkar.

Salah satu insiden kesalahan penerjemahan yang akhirnya memicu jatuhnya bom atom di Hiroshima dan Nagasaki adalah insiden mokusatsu. Pada tahun 1945, di penghujung Perang Asia Timur Raya, Jepang mendapat surat ultimatum yang diberikan oleh Sekutu melalui Deklarasi Potsdam yang isinya tuntutan agar Jepang segera mengibarkan bendera putih tanpa syarat. PM Jepang Suzuki Kantarou akhirnya mengeluarkan pernyataan bahwa pemerintah Jepang akan mokusatsu. Penggunaan kata mokusatsu inilah yang kemudian diterjemahkan sebagai kata "tidak memedulikan" yang kemudian dianggap sebagai sebuah penolakan. Namun, akhirnya kata mokusatsu memicu perdebatan di kalangan akademisi apakah bermaksud untuk menolak atau lebih diartikan sebagai "kami menahan dulu untuk tidak berkomentar" yang menjadi ambiguitas pragmatik.

Insiden ini menjelaskan bagaimana kesalahan sedikit saja dalam memilih kata bisa memengaruhi alur sejarah. Insiden tersebut mendorong manusia untuk berhati-hati dalam memilih setiap kata. Berbeda dengan akal imitasi yang lebih cenderung untuk mengartikan setiap kata secara harfiah tanpa memperhatikan pragmatik. Bahasa bisa menjadi pisau bermata dua tergantung siapa yang menggunakannya.

3. Pada akhirnya, kita menulis dan belajar bahasa karena kita adalah umat manusia

ilustrasi membaca buku (pexels.com/Andrea Piacquadio)
ilustrasi membaca buku (pexels.com/Andrea Piacquadio)

Penulis teringat salah satu kutipan paling terkenal di film Dead Poets Society, ketika John Keating mengatakan ke murid-muridnya bahwa alasan kita menulis puisi karena pada dasarnya kita adalah umat manusia. Sastra menjadikan kita sebagai manusia yang sesungguhnya, manusia yang hidup melalui kata-kata dan menggunakannya untuk mengumpulkan berbagai hal yang indah di seluruh dunia.

Sastra sudah hidup dan menjadi bagian dari kebudayaan manusia bahkan sejak zaman aksara ditemukan. Manusia lahir dan hidup untuk sastra. Jepang punya Osamu Dazai, Miyazawa Kenji, Haruki Murakami, dan Akutagawa Ryunosuke. Indonesia punya Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, dan Andrea Hirata. Mereka adalah manusia hebat dalam sejarah yang mampu menuliskan berbagai hal yang ada di dunia ini hanya dengan melalui karya-karya yang tidak ternilai harganya.

Dari uraian di atas, jelas bahwa mahasiswa bahasa tidak bisa dianggap remeh begitu saja, mereka adalah pelindung dan penerus utama dari kebudayaan umat manusia. Bahasa tidak cukup hanya dipelajari saja, tetapi juga perlu dilestarikan dan dibanggakan oleh kita sebagai manusia yang merupakan entitas yang dibekali akal untuk berbahasa. Akal imitasi memang bisa berbahasa, tetapi manusia punya keunggulan yang tidak bisa tergantikan oleh mesin, yang tidak lain adalah kemauan untuk memperindah dunia.

Referensi:

  • Walsh, Brian P. (2025). Mokusatsu Revisited: Kazuo Kawai and Japan’s Response to the Potsdam Declaration. Pacific Historical Review, 94(1), 1–35. Diakses Juli 2025.
  • Worst Translation Mistake in History. (2023, 24 Juli). Pangeanic Blog. Diakses Juli 2025.
This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us

Latest in Opinion

See More

[OPINI] Kenapa Masih Ada Orang Tone Deaf saat Negara sedang Kacau?

31 Agu 2025, 08:28 WIBOpinion
Bendera Merah Putih.png

Rasa Itu...

11 Agu 2025, 15:01 WIBOpinion