[OPINI] Inovasi Kuliner untuk Lansia: Menggugah Selera, Bermartabat

Makanan bukan sekadar kebutuhan jasmani, melainkan juga bisa jadi sebuah jembatan kenangan dan sumber kebahagiaan. Namun, bagi para lansia atau penyandang disabilitas menelan (disfagia), menikmati hidangan favorit bisa menjadi tantangan besar. Di tengah masyarakat yang semakin menua, inovasi kuliner yang ramah bagi mereka menjadi isu penting–bukan hanya di Hong Kong, seperti yang diangkat dalam sebuah artikel pada koran Oriental Daily News Hong Kong edisi 30 April 2025, tetapi juga bisa jadi sangat relevan bagi Indonesia.
Di Hong Kong, sebuah restoran meluncurkan menu dim sum dan makanan Barat dalam bentuk soft meal–makanan dengan tekstur lembut, namun tetap mempertahankan rasa, warna, dan bentuk aslinya. Inovasi ini tidak hanya mengembalikan kenikmatan makan bagi para lansia dan penyandang disfagia, tetapi juga menjaga martabat mereka. Bayangkan, seseorang yang selama ini hanya bisa mengkonsumsi bubur hambar, kini dapat menikmati siomay atau ayam panggang versi lembut yang tetap lezat rasanya.
Fenomena ini seharusnya menjadi inspirasi bagi industri kuliner Indonesia. Dilansir dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah lansia di Indonesia terus meningkat setiap tahunnya, menjadikan kebutuhan akan makanan yang ramah lansia semakin mendesak. Sayangnya, opsi makanan lembut yang tetap menjaga cita rasa dan estetika masih sangat terbatas. Di rumah sakit atau panti jompo, makanan lembut seringkali identik dengan bubur polos atau sup encer yang membosankan. Padahal, makanan adalah bagian dari kebahagiaan hidup, bahkan bisa menjadi terapi psikologis tersendiri.
Inovasi seperti soft meal bukan sekadar soal tekstur, tetapi juga penghormatan terhadap hak lansia dan difabel untuk menikmati hidup. Dengan teknologi kuliner modern, makanan bisa diolah sedemikian rupa sehingga mudah ditelan, namun tetap kaya rasa dan tampilan. Di Jepang, konsep serupa sudah lama diterapkan dan menjadi bagian dari budaya merawat lansia. Indonesia, dengan keragaman kulinernya, punya potensi besar untuk mengembangkan varian soft meal lokal–dari gudeg, rendang, hingga soto–yang bisa dinikmati siapa saja, tanpa terkendala usia atau kondisi fisik.
Tentu, tantangannya tidak kecil. Diperlukan riset, edukasi, dan kolaborasi antara ahli gizi, chef, hingga pelaku industri makanan. Namun, jika restoran di Hong Kong berani berinvestasi tanpa memikirkan cost, mengapa kita tidak? Pemerintah dan swasta seharusnya mulai melirik peluang ini, bukan hanya sebagai sebuah bisnis, tetapi juga sebagai bentuk tanggung jawab sosial.
Jika dilihat lebih jauh, inovasi ini bisa menjadi gerakan sosial: menghapus stigma bahwa lansia hanya pantas makan makanan hambar. Dengan soft meal, mereka tetap bisa ‘ikut makan enak’ di tengah keluarga, tanpa merasa terasing. Ini bukan sekadar soal makanan, tetapi tentang merawat martabat dan kebahagiaan mereka yang telah lebih dulu menapaki kehidupan.
Sudah saatnya Indonesia berinovasi, menghadirkan kuliner ramah lansia dan difabel yang tetap lezat, indah, dan penuh cinta. Karena setiap sendok makanan yang mereka nikmati, adalah bentuk penghormatan kita pada perjalanan panjang hidup mereka.
Dengan dukungan data yang kuat dan inovasi kuliner yang tepat, kita bisa mewujudkan masyarakat inklusif yang menghargai setiap fase kehidupan dengan penuh rasa hormat dan perhatian.
--
Referensi:
- 東方日報 (Oriental Daily News Hong Kong). (2025年4月30日). 點心西式美饌 變身色香味軟餐 [Inovasi Soft Meal untuk Lansia dan Penyandang Disfagia]. 第11頁。
- Badan Pusat Statistik. (2024). Statistik Penduduk Lanjut Usia Indonesia.