Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Cerminan Realitas Politik dalam Serial Daredevil Born Again

cuplikan Daredevil: Born Again (dok. Marvel Studios/Daredevil: Born Again)
cuplikan Daredevil: Born Again (dok. Marvel Studios/Daredevil: Born Again)
Intinya sih...
  • Serial Daredevil Born Again menampilkan kembalinya Wilson Fisk, alias Kingpin, yang bebas dari hukumannya dan menjadi Walikota New York.
  • Kingpin membentuk pasukan khusus brutal dan korup yang terlibat dalam aksi kriminal, serta melakukan pembunuhan terhadap vigilante.
  • Episode terakhir menggambarkan realitas politik sayap kanan di dunia, dengan pesan bahwa perlawanan harus diorganisir untuk melawan kekuatan politik tersebut.
Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Setan pemberani, mungkin itu kata-kata yang tepat untuk menerjemahkan kata Daredevil, nama dari salah satu hero Marvel, yang memiliki kemampuan melebihi manusia biasa. Dengan kondisinya sebagai penyandang disabilitas, yaitu tuna netra, Matt Murdock, yang diperankan oleh Charlie Cox, mencoba melawan ketidakadilan berbekal kemampuan beladirinya, serta kemampuan inderawinya, yang spesial, hasil dari gabungan 4 indera miliknya, yang dilatihnya sedemikian rupa.

Pada cerita sebelumnya, di serial Daredevil, Wilson Fisk, alias Kingpin, yang diperankan oleh Vincent D’Onofrio, musuh utama Daredevil, berhasil dipenjarakan olehnya. Sementara, pada serial Daredevil Born Again, yang sudah tayang di Disney + Hotstar sejak 5 Maret 2025 ini, Wilson Fisk telah bebas dari hukumannya.

Tak menyia-nyiakan kesempatan dari kebebasan yang didapatnya, Wilson Fisk maju dalam pemilihan Walikota New York, yang kemudian dimenangkannya. Setelah menjadi Walikota New York, berbagai manuver politik dilakukannya, untuk memapankan kekuasaan yang dimilikinya.

Dengan dalih menjaga keamanan, Kingpin membentuk pasukan khusus yang terdiri dari para polisi brutal dan korup, yang selama ini tersingkir dari NYPD (New York Police Department). Ia menamai pasukan khusus ini dengan nama “Anti-VigilanteTask Force” (Satuan Tugas Anti-Vigilante).

Dalam kenyataannya, Satgas ini hanya berfungsi sebagai gerombolan polisi yang menjadi tukang pukul Fisk. Mereka terlibat dalam berbagai aksi kriminal, yang salah satunya adalah berupa pembunuhan terhadap salah seorang vigilante yang beroperasi dengan nama White Tiger, atau Macan Putih.

Kingpin juga dengan brutal membunuh Kepala NYPD, yaitu Commisioner Gallo, di depan Satgas Anti-Vigilante itu. Commisioner Gallo memang secara terang-terangan menentang arah politik Kingpin. Ia juga bersikap menolak keras penempatan para polisi korup dan brutal dalam Satgas bentukan Kingpin.

Bagaimana dengan Daredevil? Kemana saja dia? Dalam episode awal Daredevil Born Again, DD, si protagonis utama, sedang mengalami demoralisasi karena teman seperjuangannya, Franklin “Foggy” Nelson (Elden Henson), harus kehilangan nyawa, karena dibunuh oleh villain yang bernama Benjamin Poindexter alias Bullseye. Ia memang sempat menghajar dan melempar villain yang menyebabkan kematian temannya itu, dari sebuah gedung tinggi. Akan tetapi, Bullseye tetap tidak mati, bahkan sempat melakukan usaha percobaan pembunuhan terhadap Kingpin.

Belakangan Matt Murdock alias Daredevil mengetahui bahwa Vanessa, istri Kingpin yang menjadi dalang pembunuhan terhadap sahabatnya, Foggy Nelson tersebut. Matt mengonfrontasikan hal ini secara langsung pada Vanessa, saat berdansa dengan istri Kingpin tersebut, dalam sebuah pesta dansa, yang diadakan oleh Kingpin.

Pembunuhan Foggy sebenarnya disebabkan oleh keberhasilannya membongkar sarang mafia, yaitu kawasan pelabuhan yang bernama Red Hook. Di situlah Vanessa menjalankan operasi bisnis gelapnya, menggantikan suaminya, Kingpin yang tengah menjalani hukuman penjara.

Serial Daredevil Born Again ini juga ditandai dengan kembalinya Frank Castle alias The Punisher (diperankan oleh Jon Bernthal), yang juga melawan kejahatan, tapi dengan metode yang berbeda dari Daredevil. The Punisher terkenal dengan sikap untuk tidak segan menghabisi lawan-lawannya, yaitu para villain atau penjahat, sementara Daredevil selalu berusaha sekuat tenaga untuk hanya melumpuhkan dan tidak membunuh lawan-lawannya.

Episode terakhir serial ini, secara tersirat sebenarnya menggambarkan bagaimana sikap dari penulis skenario cerita serial ini terhadap realitas politik terkini di banyak negara di berbagai belahan dunia. Kemenangan kekuatan politik sayap kanan, yang ptobisnis dan tidak prorakyat serta kemanusiaan, adalah realitas politik yang terjadi di berbagai negara beberapa tahun belakangan ini.

Salah satu realitas politik internasional terkini adalah kemenangan Donald Trump, yang salah satunya didukung oleh kelompok yang mengedepankan isu white supremacy (supremasi kulit putih). Berbagai kebijakan Trump, yang cenderung rasis dan proteksionis, adalah cerminan dari sikap berbagai kelompok sayap kanan, yang menjadi pendukungnya.

Kata-kata Daredevil pada Karen Page di akhir episode finale mungkin mewakili pandangan penulis skenario atau bahkan produser serial ini. "You're right. We can beat him. We're going to take this city back, Karen…. We need an army.” (Kamu benar, kita bisa mengalahkannya. Kita akan merebut kota ini kembali Karen…Kita butuh pasukan) (dikutip dari cbr.com, akses 19 Juni 2025).

Perjuangan melawan kekuatan politik sayap kanan yang telah berhasil merebut kekuasaan dan menguasai negara serta pemerintahan di sebagian besar negara, saat ini tidak bisa lagi dengan menggunakan wacana dan kata-kata belaka. Para buzzer yang berfungsi sebagai spin doctor dengan memutarbalikkan fakta kejahatan dari penguasa sayap kanan, akan mementahkan setiap wacana dan pandangan kritis serta protes dari kelompok-kelompok prorakyat, demokrasi, dan kemanusiaan.

Oleh karena itu, sepertinya berdasarkan dialog antara Daredevil dan Karen Page (Deborah Ann Woll) ini, cara yang tepat untuk melawan penguasa sayap kanan, adalah dengan membentuk pasukan perlawanan. Sepertinya season 2, serial Daredevil Born Again ini akan menggambarkan perang antara penguasa penguasa sayap kanan, atau Kingpin, dengan pasukan perlawana, yang dipimpin oleh Daredevil dan kawan-kawan.

Bagaimana dengan dunia nyata? Apakah juga akan bermunculan pasukan perlawanan terhadap penguasa sayap kanan di berbagai belahan dunia? Sepertinya hal tersebut bergantung pada kelompok-kelompok prorakyat, demokrasi, dan kemanusiaan, apakah mereka akan benar-benar melawan secara terorganisir, atau hanya sekedar kelompok protes musiman, yang muncul untuk menyikapi isu dan kebijakan kontroversial dari penguasa belaka.

Untuk kasus Indonesia, pemerintah yang sekarang ini, tidak bisa dengan mudah diberi stempel kanan maupun kiri. Latar belakang Prabowo Subianto, Presiden Indonesia saat ini, yang merupakan seorang Jenderal TNI AD (Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat), dan pernah menjabat sebagai Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Danjen Kopassus), pada era Orde Baru, yang dipimpin oleh Presiden Soeharto, mertua Prabowo saat itu, walaupun demikian, dengan semua latar belakang ini, tidak dengan serta-merta membuat Prabowo bisa dikategorikan sebagai penguasa sayap kanan. Mengapa demikian?

Komposisi kabinet Prabowo yang cukup terbuka terhadap mantan aktivis mahasiswa era Orde Baru, serta para mantan anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), adalah salah satu alasannya. PRD merupakan satu-satunya partai politik yang berani melawan Orde Baru secara frontal. Tercatat ada 5 mantan anggota PRD yang diberi posisi setingkat menteri dalam kabinet Prabowo (suara.com, diakses 11/07/2025).

Selain itu, berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintahan yang sekarang ini, juga lebih cenderung prorakyat dibanding probisnis. Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG), pembebasan biaya izin pembangunan rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah, swasembada energi, dan swasembada pangan, adalah contoh konkret dari berbagai kebijakan prorakyat, pemerintahan yang sekarang ini (antaranews.com, diakses 11/07/2025).

Indonesia juga resmi bergabung ke BRICS, yang merupakan akronim dari Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan, pada 6 Januari 2025. Untuk diketahui BRICS adalah sebuah forum kerja sama ekonomi antarnegara berkembang, yang salah satu arah gerakannya, yaitu untuk mengurangi ketergantungan atas mata uang dollar AS (Amerika Serikat) (kompas.id, diakses 11/07/2025).

Secara umum, sebenarnya, bisa disimpulkan, bahwa pemerintahan Indonesia, yang sekarang, lebih cenderung ke kiri tengah dibanding ke kanan. Akan tetapi, Indonesia, sebagai salah satu negara yang cukup dirugikan dengan kebijakan proteksionis, tarif impor Trump (Trump Tariff), tentu saja tidak bisa bertahan di posisi kiri tengah, jika tidak mau dilindas oleh penguasa sayap kanan, Donald Trump. Untuk diketahui, emerintahan AS, di bawah Trump, awalnya menetapkan tarif impor produk Indonesia ke AS, tetap 32%. Trump sebenarnya juga memberikan opsi pembebasan tarif impor bagi Indonesia, jika mau membangun pabrik produk Indonesia di Amerika Serikat (tempo.co, diakses 11/07/2025). Akan tetapi, pada 22 Juli 2025, pemerintah Amerika Serikat mengumumkan penurunan tarif impor bagi Indonesia menjadi 19%, dengan berbagai syarat, salah satunya adalah tarif impor 0% bagi barang-barang produk Amerika Serikat untuk Indonesia. Hal ini terjadi setelah proses negosiasi antara pemerintah Indonesia dengan Amerika Serikat (tempo.co, diakses 25/07/2025).

Artinya, sikap Indonesia terhadap kebijakan Trump yang probisnis ini, akan menentukan apakah Indonesia akan tetap prorakyat, seperti halnya Daredevil dan kawan-kawannya, ataukah akan lebih probisnis, selayaknya Kingpin. Untuk itu, kalau boleh meminjam kata-kata Daredevil tadi, yaitu, “We need an army”, untuk melawan Kingpin, yang telah menguasai negara, maka Indonesia di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo, seharusnya mampu menggalang persatuan yang kuat, antarnegara-negara yang dirugikan, untuk melawan Amerika Serikat, di bawah Donald Trump. Bukan hanya sekadar bernegosiasi, yang hasilnya secara umum malah menguntungkan negara Amerika Serikat di bawah Donald Trump.

Dalam sejarah, satu-satunya Presiden Indonesia, yang berani melawan Amerika Serikat, hanya Soekarno. Hal yang sepertinya menjadi salah satu penyebab kejatuhan Soekarno dari puncak kekuasaan di Indonesia. Untuk itulah, pada masa sekarang ini, jika Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto berani melawan Amerika Serikat, maka hanya persatuan bangsa Indonesia yang solid, yang bisa menjamin kemenangan Indonesia melawan Amerika Serikat di bawah penguasa sayap kanan, Donald Trump.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Siantita Novaya
EditorSiantita Novaya
Follow Us