Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

[OPINI] Jangan Khawatir Jadi Minoritas, Banggalah Jadi Orang Bali

balikpapan.prokal.co

“Namanya siapa?,”

“Kenzu,”

paling kenken?,”

“Oh… Tidak isi nama Bali, biar nasional saja,”

Ada yang mengalir deras di dada saya ketika menyimak perbincangan mahmud, mama-mama muda. Rasanya ingin menggenggam tegas pundaknya, lalu menanyakan serius tentang arti nasionalisme itu. Lantas niat ini saya urungkan. Ya…

Anak-anak mereka. Merekalah yang berhak memberikan nama untuk buah hatinya itu. Soal nama, ada harapan dan doa. Tidak ada nama yang buruk. Semuanya baik, bergantung pada bakat lingkungan yang turut membesarkannya.

Bukan sekali ini saja saya menemukan seorang ibu muda yang menamakan anak mereka dengan sentuhan modern, tanpa mengikutsertakan identitas ke-Bali-an yang sudah termasyur.

Jika menengok sahabat di belahan timur Indonesia, mereka akan berbinar menyebut nama marganya terdahulu. Telenggen, Doken, Kogoya, lantas mereka menyebut namanya, Annike, Salomo, Dakus. Senyum sumringah merekah di bibir mereka masing-masing.

Baginya, ketika menyebut nama marga, mereka berharap menemukan nama marga yang sama, menemukan keluarga jauh, lalu memeluk erat, seolah menemukan sekandungnya.

Kebanggaan ini juga saya rasakan ketika berkunjung ke luar daerah. Meski telah mengenalkan diri atas nama Uci, kawan-kawan di pulau seberang lebih senang memanggil saya Komang. Terkesan seperti sedang di Bali, katanya memuji.

Hingga saya tegaskan, jika mereka tetap memanggil saya Komang sampai di Bali, maka ribuan pasang mata akan berbalik menoleh atas panggilan itu, bukan hanya saya. Namun, lagi-lagi mereka tidak peduli. Dengan jelas di kontak telepon selulernya di tulis “Komang Bali”.

Bagi saya, menjadi insan modern tidak lantas membuat saya harus meninggalkan identitas lokal ke-Bali-an yang justru jadi daya tarik tersendiri. Kemanapun saya melangkah, sejauh apapun itu, seseorang akan tahu bahwa saya berasal dari Bali, agama saya Hindu, dan dibesarkan di sebuah pulau yang katanya bak surga.

Keluarga akan cepat menemukan saya jika tersesat di luar negeri atau melakukan tindak kejahatan, semuanya akan sepakat berkata "Oh, orang Bali,".

Saya cukup paham atas kekhawatiran mahmud tadi terkait menjadi minoritas, ketika kelak anak-anak kesayangan mereka pergi meninggalkan Bali. Menuntut ilmu ke tanah luar, mencari kos-kosan, bahkan mencari pasangan seumur hidup, mungkin menemukan kendala dalam identitas sebuah nama.

Embel-embel Putu, Made, Komang, Ketut, bahkan Wayan balik akan memberikan rasa tak nyaman dan susah diterima dalam sebuah komunitas yang rentan membully minoritas. Lantas sampai kapan akan bersembunyi ketika menjadi minoritas?

Mari tunjukkan diri dengan merangkul setiap yang berbeda. Minoritas tidak boleh bersembunyi. Tidak ada waktu untuk memperdebatkan apa agamamu, apa yang halal atau haram bagimu. Arahkanlah waktu lebih banyak untuk ikut berkarya agar generasinya tidak dianggap gagap. Atau paling tidak ikut tepuk tangan menyaksikan negeri ini mulai berbenah.

Soal modernitas itu terletak pada pemikiran. Sama sekali tidak ada korelasinya dengan nama. Apalagi embel-embel kelokalan nama Bali. Jadi, jangan takut terlihat kuno atau takut mendapat perlakuan buruk hanya karena Putu, Made, Komang, dan Ketut. Jangan latah yang kebablasan.

Michael White, seorang warga asing berkewarganegaraan Australia akhirnya memilih nama Made Wijaya. Dia belajar Bahasa Bali dan Agama Hindu di Griya Kepaon. Saat itu juga, dia memutuskan untuk memilih Agama Hindu dengan mengikuti prosesi Suddhi Wadani.

Baginya, nama Made Wijaya serupa roh yang menyatukannya dengan Bali. Meski menggunakan embel-embel Made, pemikirannya tak terbatas, karya dan kecintaannya juga mendunia.

Jika nanti anak anda bertanya: “Ayah, Ibu, kenapa nama saya tidak isi Ketut, Komang, Made, atau Putu?,”, jawaban apa yang akan Anda beri?

Share
Topics
Editorial Team
Ni Nyoman Ayu Suciartini
EditorNi Nyoman Ayu Suciartini
Follow Us