Pilunya Ramadan Pertama Tanpa yang Tersayang

"Semoga Natal dan Ramadan selanjutnya semakin dipenuhi kebahagiaan," itu harap saya, seorang anak yang tumbuh dalam keluarga multikultural.
Sejak kecil, saya terbiasa merayakan dua Hari Raya sekaligus, Natal dan Lebaran. Momen yang terpatri dalam memori adalah antusiasme pergi ke rumah Nenek untuk berlibur di saat Natal dan Ramadan. Nenek yang biasa saya sebut Mbah memang seorang muslim, sebabnya kami terbiasa dengan nuansa puasa dan Lebaran.
Namun, momen Ramadan dan Natal kali ini rasanya sangat berbeda. Biasanya saya menanti-nanti momen Natal yang ramai dan membawa sukacita.
Sayangnya, Natal kemarin membuat saya sedikit egois dengan meminta kebahagiaan pada Tuhan. Itu Natal pertama saya tanpa kehadiran bapak dan mbah (nenek).
Mereka berdua baru saja berpulang ke rumah Tuhan di bulan Oktober 2024 lalu. Ya, di bulan yang sama, tepatnya awal dan akhir bulan.
Kehilangan satu saja rasanya menyedihkan, apalagi dua. Saya pernah bercerita kepada seseorang dan bilang, "Kalau hati ini suatu objek. Maka, sudah pasti remuk gak berbentuk bukan lagi patah."
Sebagai seseorang yang pernah mempelajari ilmu psikologi, saya tahu betul ini adalah proses sangat panjang. Saya tahu akan ada fase-fase marah, denial, menyesal, dan banyak hal lain yang harus dilewati. Ironinya, saya gak tahu kalau ternyata proses ini sangat menguras emosi.
Ternyata, perasaan sedih dan hampa ini hadir lagi jelang Idul Fitri. Saya gak bisa mendeskripsikannya. Rasanya, saya cuma ingin waktu berhenti atau bertambah cepat. Kalau kata lagu, can we skip to the good part?
Ini Ramadan bertama saya tanpa orang-orang yang tersayang. Kalau ditanya rasanya, saya gak bisa menjawab. Saya bersyukur bisa berkumpul dengan keluarga dan teman tetapi ada kesedihan yang gak bisa dijabarkan dengan sempurna.
"Pada akhirnya, kita memang baru hidup pertama kali," kata saya.
Gak heran bila yang pertama rasanya belum tentu menyenangkan. Cukup berat tidak lagi merasakan Ramadan seperti yang sudah-sudah.
Tapi toh, mau tidak mau, setiap manusia akan ada di fase ini. Mungkin, ini giliran saya untuk merasakan patah hati yang luar biasa.
Kehilangan itu berat tapi saya tidak sendiri. Saya sedang belajar menyadari dan menerima bahwa mungkin ada orang-orang di luar sana yang jauh lebih pedih hatinya.
Untuk semua orang yang menjalankan Ramadan setelah kehilangan, gak papa untuk mengakui perasaan apa pun - sedih sekalipun - karena kamu tidak sendirian.
Buatmu yang sedang berduka, jangan memaksakan diri untuk mengikuti semua tradisi. Kamu punya ritme yang gak harus sama dengan orang lain. Kamu pasti akan menemukan cara-cara untuk bisa mengenang mereka dengan nyaman.
Bagi yang mendampingi, beri ruang dan waktu untuk mereka yang sedang berduka. Gak ada patah hati yang sembuh di satu dan dua hari, kan?
Jangan tanya bagaimana mereka bisa menjalani hari setelah kehilangan. Lebih baik sediakan diri untuk hadir dan menemani agar mereka gak lagi merasa sendirian.
Kepergian bapak dan mbah menjadi perenungan bahwa sebaik-baiknya manusia, tetaplah usia merupakan misteri dari Tuhan. Dalam hati saya berharap, kita bisa dipertemukan oleh Natal dan Ramadan lagi dengan hati yang lebih baik.
Salam hangat dari saya untuk siapa pun yang belum pulih hatinya. Gak papa, pelan-pelan saja belajar untuk menerima. Saya ingin berbagi satu quote yang diunggah oleh akun @grieftalk.id, saya suka sekali.
"Grief is not a straight path. Sometimes we sit with the pain, remembering what's lost. Other times, we move forward, embracing new roles and routines. Both are part of healing. It's okay to go back and forth. Because grief is a journey not a race. Take your time, you are not alone," - @grieftalk.id