Daya Beli Melemah, Target Ekonomi 5,4 Persen pada 2026 Terancam Gagal

- Konsumsi rumah tangga harus dijaga jangan sampai tertekan
- Fokus pada kebijakan fiskal yang memberikan efek berganda ke ekonomi
Jakarta, IDN Times - Target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026 dinilai akan sulit tercapai jika pemerintah pusat dan daerah tidak bergerak selaras. Hal itu terutama dalam menjaga daya beli masyarakat yang saat ini dinilai melemah.
Kondisi di lapangan menunjukkan kekhawatiran yang kian nyata. Pasar tradisional dan pusat perbelanjaan di sejumlah kota besar tampak lengang, bahkan pada akhir pekan dan hari libur nasional. Fenomena ini mengindikasikan daya beli masyarakat sedang mengalami tekanan serius.
"Saat ini, kondisi lapangan menunjukkan bahwa daya beli masyarakat sedang rapuh, pasar tradisional dan pusat perbelanjaan cenderung sepi meski di hari libur," ujar
Pengamat Ekonomi dari Universitas Andalas (Unand), Syafruddin Karimi, Senin (18/8/2025).
1. Konsumsi rumah tangga harus dijaga jangan sampai tertekan

Dalam situasi seperti ini, kata dia, kebijakan sejumlah pemerintah daerah yang menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) tidak sejalan dengan upaya pemulihan ekonomi. Kenaikan PBB, ujar dia, bersifat kontraktif karena menekan pengeluaran konsumsi rumah tangga yang selama ini menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi nasional.
“Konsumsi rumah tangga menyumbang lebih dari 50 persen terhadap PDB. Jika konsumsi tertekan, maka pertumbuhan ekonomi juga pasti melambat. Kenaikan PBB saat ini bukan hanya keliru momentum, tapi juga kontra terhadap semangat pemulihan ekonomi,” ujar dia.
Dengan demikian, pemerintah pusat diminta untuk segera mengeluarkan (surat edaran) yang menunda kebijakan penyesuaian PBB serta mendorong inovasi pendapatan lain yang tidak membebani rakyat secara langsung.
2. Fokus pada kebijakan fiskal yang memberikan efek berganda ke ekonomi

Selain menjaga daya beli, Syafruddin juga menyoroti pentingnya orientasi kebijakan fiskal ke depan agar benar-benar bersifat propertumbuhan (pro-growth) dan memiliki efek pengganda (multiplier effect) yang tinggi terhadap ekonomi lokal.
“Program prioritas seperti transfer ke daerah dan belanja sosial produktif harus dipastikan berjalan optimal. Ini penting agar aktivitas ekonomi tidak hanya tumbuh di daerah kaya sumber daya, tetapi merata ke seluruh wilayah,” kata dia.
Dia mengatakan, ketimpangan fiskal antardaerah selama ini menjadi hambatan besar bagi pertumbuhan inklusif. Pemerintah pusat pun diharapkan dapat memperluas ruang fiskal bagi daerah tertinggal agar bisa membangun basis ekonomi yang berkelanjutan.
3. Butuhkan keterlibatan masyarakat untuk wujudkan ekonomi yang inklusif dan berkualitas

Menurut dia, target pertumbuhan ekonomi sebesar 5,4 persen hanya akan tercapai jika disertai dengan partisipasi masyarakat yang luas dalam proses pembangunan. Pemerintah dinilai perlu menghadirkan kebijakan ekonomi yang lebih demokratis dan inklusif.
“Rakyat perlu merasa dilibatkan, bukan hanya sebagai objek kebijakan, tetapi juga sebagai pelaku dalam rantai pasok pembangunan. Ini dapat diwujudkan melalui forum konsultasi publik, transparansi belanja negara, hingga skema pelibatan UMKM lokal dalam proyek-proyek pemerintah,” kata dia.
Keterlibatan publik secara aktif akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap arah pembangunan nasional. Hal ini tidak hanya penting untuk membangun legitimasi sosial, tetapi juga untuk memastikan bahwa manfaat pertumbuhan ekonomi benar-benar dirasakan secara merata.
Pemerintah masih akan mengandalkan konsumsi rumah tangga sebagai motor utama dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen (year on year) pada 2026. Oleh karena itu, berbagai program perlindungan sosial seperti PKH, Kartu Sembako, PIP, KIP Kuliah, dan PBI JKN akan terus diperkuat, khususnya untuk kelompok miskin dan rentan berdasarkan Data Tunggal Sosial dan Ekonomi Nasional (DTSEN).
Selain itu, kebijakan subsidi energi, pelaksanaan program MBG, serta dukungan terhadap UMKM melalui insentif fiskal dan akses pembiayaan juga akan diperluas guna menjaga kelangsungan usaha dan mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK).