VIDA Perkuat Keamanan Digital Sektor Kesehatan di Era AI

- Transformasi digital di bidang kesehatan menjadi prioritas global, dengan lebih dari 60 persen negara telah mengintegrasikan strategi digitalisasi layanan kesehatan ke dalam kebijakan nasional.
- Kerugian akibat penipuan berbasis sosial dan OTP mencapai lebih dari Rp2,5 triliun, dengan 97 persen organisasi di Indonesia pernah menjadi target social engineering.
Jakarta, IDN Times - PT Indonesia Digital Identity (VIDA) memperkuat perannya dalam menjaga keamanan dan kepercayaan digital nasional, khususnya di sektor kesehatan, di tengah meningkatnya ancaman kejahatan siber dan penyalahgunaan teknologi akal imitasi (artificial intelligence/AI).
Founder dan Group CEO VIDA, Niki Luhur mengatakan, kehadiran teknologi AI menuntut pendekatan baru dalam membangun kepercayaan digital.
“AI dapat menciptakan realitas palsu yang semakin sulit dibedakan. Identitas digital yang tervalidasi menjadi fondasi kepercayaan baru. VIDA hadir untuk membangun trust by design, mulai dari identitas hingga transaksi, memastikan setiap interaksi digital aman dan terpercaya dari ancaman AI,” ujarnya.
1. Lebih dari 60 persen negara integrasikan digitalisasi layanan kesehatan

Ia menjelaskan, transformasi digital di bidang kesehatan kini menjadi prioritas global. Menurut WHO (2023), lebih dari 60 persen negara telah mengintegrasikan strategi digitalisasi layanan kesehatan ke dalam kebijakan nasional.
"Di Indonesia, integrasi data pasien secara real-time tengah berlangsung seiring agenda digitalisasi layanan publik. Namun, setiap kemajuan digital juga membuka potensi risiko terhadap penyalahgunaan data dan identitas pribadi," ujarnya.
2. Kerugian akibat penipuan berbasis OTP capai Rp2,5 triliun

Ia menjelaskan, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK, 2024), kerugian akibat penipuan berbasis sosial dan OTP mencapai lebih dari Rp2,5 triliun.
Sementara itu, VIDA Fraud Intelligence Report 2025 menunjukkan, 97 persen organisasi di Indonesia pernah menjadi target social engineering. Kondisi ini menunjukkan bahwa metode penipuan tradisional masih menjadi ancaman serius, dan di era AI-powered phishing, mekanisme OTP yang dirancang tiga dekade lalu semakin rentan disusupi.
3. Teknologi AI digunakan untuk membuat identitas yang sulit dibedakan dengan yang asli

Berbagai fenomena terkini menandai munculnya bentuk kejahatan baru, yaitu generative fraud, di mana teknologi AI digunakan untuk membuat identitas atau dokumen palsu yang sangat sulit dibedakan dari aslinya.
Tidak hanya meniru dokumen, pelaku juga dapat menggunakan AI untuk voice cloning atau video impersonation, sehingga tampak seperti tenaga medis atau pejabat resmi. Kasus deepfake di Asia Pasifik meningkat hingga 1.550 persen dalam dua tahun terakhir (2022–2023), menunjukkan bahwa kemampuan teknologi ini bisa disalahgunakan untuk mengakses sistem kesehatan dan data sensitif secara ilegal.
"Dalam menghadapi generative fraud, keamanan digital tidak lagi cukup dengan mekanisme tradisional. Identitas digital yang tervalidasi dan sistem otentikasi berbasis teknologi terbaru menjadi fondasi utama untuk menjaga kepercayaan dan melindungi data sensitif,” tuturnya.

















